Pria yang memiliki nama asli Tjie Tjin Hoan ini mengaku bisa merasakan firasat bahwa masalah finansial Thailand pada pertengahan 1997 berpotensi menyeret Indonesia dalam pusaran krisis.
Namun, kala itu Ciputra belum terlalu khawatir karena proyek-proyek yang dimilikinya tengah disambut hangat oleh pasar. Dalam buku berjudul 'Ciputra: The Entrepreneur-The Passion of My Life' terungkap dirinya percaya diri karena tak mungkin terpuruk dengan hadirnya bisnis perbankan yang dimilikinya.
"Kami tidak mungkin tidak bisa membayar utang. Kala itu kami juga sudah memiliki bisnis perbankan, Bank Jaya, Bank Ciputra, dan perusahaan asuransi bernama Ciputra Allstate. Tiga perusahaan yang kami yakini akan berkembang baik," imbuh Ciputra.
Namun, firasat berubah jadi kasatmata, gangguan terhadap bisnis dimulai ketika nilai tukar rupiah terjungkal dari Rp2.000 per dolar AS menjadi lebih dari Rp17.000 per dolar AS.
Baca Juga: Jangan Salah, Ada Bedanya Influenza dan Batuk-Pilek ‘Biasa’, Bahkan Bisa Sebabkan Kematian
Kondisi itu membuat Ciputra cemas karena sebagian utang perusahaan dalam bentuk dolar AS, tak tanggung-tanggung mencapai US$100 juta. Otomatis nominal utang menggelembung jadi hampir lima kali lipat.
Di sisi lain, semua pendapatan lini bisnis Ciputra dalam bentuk rupiah, sehingga tak mampu menutupi pembengkakan utang.
Hal paling menyedihkan, lanjut dia, dua bank dan satu perusahaan asuransi yang dimilikinya harus ditutup pemerintah. Utang grup bisnis yang tadinya bisa dibayar sekitar Rp245 miiar tiba-tiba melambung jadi Rp1 triliun.
Situasi semakin buruk ketika terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, disertai penurunan daya beli masyarakat. Dampaknya, situasi pasar properti menjadi tidak kondusif sehingga mengakibatkan nilai pemasaran penjualan (sales marketing) merosot drastis.
Source | : | Fotokita.id |
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR