Sebetapa pun seluruh musik diaransemen Djaduk — paling-paling dibantu satu dua nama lain — orang-orang sepertinya kurang rela untuk memberi acungan jempol pada musik kreasinya.
Orang-orang masih membayangkan nama besar bapaknya. Seolah-olah merupakan kerja yang wajar dan biasa-biasa saja sekalipun sesungguhnya hasil ciptanya bisa dibilang dahsyat.
Tapi, siapa sih bapaknya?
Namanya: Bagong Kusssudiardja, seniman serba bisa. Ya pelukis, ya penari sekaligus koreograf, ya juga peracik musik karawitan.
Bahkan boteh dibilang, sang bapak termasuk pelopor senilukis batik modern.
Kawinkan semua unsur
"Kalau diperhatikan benar, pasti terlihat perbedaannya", sergah Djaduk mengomentari pendapat yang menyamakan musik garapannya dengan garapan bapaknya.
Mungkin, untuk memilah perbedaan, itu urusan kritikus. Namun, nampaknya, Djaduk membuktikan ucapannya.
Pemanggungannya di Gedung Senisono dan pelataran depan Bentara Budaya bisa dijadikan bukti.
Di dua tempat ini, bersama-sama konconya ia membawa panji Kelompok Musik Wathathitha.
Ada unsur senirupa dalam pentasnya, di samping humor.
Dalam sebuah pentas, ketika kelompoknya melantunkan lagu akhir, tiba-tiba ia mengisyaratkan agar seluruh alat musik berhenti dimainkan. Begitu mendadak.
Sebagai gantinya, di panggung terpampang tulisan gede-gede "Lho". Penonton pun ribut. Lima menit kemudian tulisan ganti "Apa?". Penonton kembali riuh.
Beberapa saat muncut tulisan "Nah", dan musik serentak menghentak. Kini, penonton tepuk tangan.
"Partisipasi" penonton menjadi bagian dari musik dan pagelaran musiknya. Itu terjadi awal tahun 1981.
Source | : | Majalah HAI |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR