Advertorial
Intisari-Online.com – Dunia kartunis sedang berduka. Tadi pagi (22/8) sekitar pukul 03.14 WIB, Dwi Koendoro, dipanggil menghadap Sang Khalik.
Anda mungkin tidak mengenalnya? Tapi, Anda pasti mengenal sosok Panji Koming, kartun ciptaannya yang selalu hadir di harian Kompas Minggu, inilah karya Dwi Koendoro, yang sampai sekarang masih kita nikmati.
Seperti apa sih sosok Dwi Koen, sapaan Dwi Koendoro, yang kartunnya selalu mencerminkan kritikan terhadap penguasa itu?
Mari kita simak dari tulisan Seno Gumira Ajidarma berikut ini yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2007, dengan judul asli Dunia Para Kartunis: Dwi Koen, Humor yang Menggugat, Panji Koming Semula Hanya Sambilan.
Baca Juga: GM Sudarta: Menjadi Kartunis Itu Sering Terjebak dalam Kepahitan Hidup
Apakah sumbangan seorang kartunis itu hanya dagelan? Sebetulnya, meski kelihatannya hanya untuk memancing tawa, kartun yang mana pun, sekadar humor maupun karikatur politik, memiliki dimensi serius.
Bukan sekadar karena dalam teks apa pun terdapat konotasi ideologis, tetapi juga karena setiap gelak tawa dapat ditafsirkan sebagai pelecehan.
Padahal, terhadap pelecehan, siapa pun bisa menjadi sensitif. Humor ternyata potensial dalam mengundang bahaya!
Sekali lagi, ini berarti profesi seorang kartunis sebetulnya merupakan profesi riskan, yang juga berarti harus dihargai lebih dari sekadar tukang melucu.
Baca Juga: 15-an Kartunis Seluruh Dunia Mengilustrasikan Perasaan tentang Donald Trump yang Jadi Presiden AS
Apalagi jika seorang kartunis memang telah memilih untuk tidak sekadar melucu melainkan juga bersikap kntis.
Nah, kritis kepada siapa? Selain kepada penguasa, yakni pemerintah yang mewakili negara; juga kepada masyarakat yang boleh dianggap mewakili bangsa.
Jika sikap kritis terhadap negara clan bangsa itu disetujui merupakan kontribusi sosial, tentunya sumbangan seorang kartunis bukan hanya dagelan.
Salah seorang kartunis yang karyanya dianggap penting dalam penyadaran sosial dan politik, sehingga sering menjadi bahan penelitian ilmiah dalam bidang llmu-ilmu humaniora adalah Dwi Koendoro Brotoatmodjo, yang lebih populer sebagai Dwi Koen sahaja.
Baca Juga: Hoax Kartun yang Dikaitkan Meninggalnya 700 Petugas KPPS pada Pemilu 2019 Akhirnya Terbongkar
Ini tentu berhubungan dengan dua hal: Pertama, bahwa karyanya bukan hanya dikenal sebagai kritis, melainkan juga keras; kedua, bahwa kartun seri Panji Koming tersebut dimuat harian Kompas yang merupakan koran dengan oplah besar, yang terutama memang beredar di kalangan kelas menengah, yang juga diandaikan sebagai kritis.
Ini membuat Panji Koming bagaikan ikan yang mendapatkan kolamnya.
Humor & kajian ilmiah
Maka, sejauh terlacak oleh Intisari akan ditemukan topik kajian ilmian semacam Setting Cerita Zaman Majapahit dalam Kartun Editorial dan Refleksi Realitas di Baliknya (Pramana Sukmajati, 1998), Kampanye Pemilihan Umum 1999 dari Sudut Ketopraktun Kompas (Ignas Seta Dwiwardhana, 2001), Representasi Akbar Tanjung dalam Kartun Panji Koming di Harian Kompas Sepanjang Tahun 2003 (Dewi Kurniawati, 2004), maupun yang sudah terbit sebagai buku, yakni Menakar Panji Koming: Tafsiran Komik Karya Dwi Koendoro pada Masa Reformasi Tahun 1998 (Muhammad Nashir Setiawan, 2002).
lni baru sebagian, dan supaya tidak seperti pameran judul, kita akan menengok isinya, yang tentu tidak perlu diulas, melainkan sekadar membagi kesimpulannya kepada Pembaca yang Budiman.
Pramana Sukmajati menuliskan, sebelum kartun Panji Koming lahir pada 1979, terdapat kondisi represif di berbagai bidang kehidupan, termasuk yang digeluti Dwi Koen yang aktif sebagai pembuat film.
Dicatatnya bahwa Dwi Koen melihat kondisi ini sebagai bagian usaha rejimentasi Orde Baru. Semua ini membentuk akumulasi citra pemermtah, yang di mata Dwi Koen melakukan praktik otoritarianisme.
Wah, serern ya? Maka Dwi Koen menggambarkan latar "Majapahit" yang maksudnya tentu Indonesia, lengkap dengan feodalisme Jawa yang mewarnai pemerintahan, yang menurut Dwi Koen telah mencerabut "nilai luhur" kebudayaan Jawa itu sendiri.
Dengan latar "Majapahit" itu, Dwi Koen merasa leluasa mengungkapkan kedongkolannya kepada penguasa, yang artinya merupakan kritik tak langsung, meski tetap saja dikenali— dan ternyata disukai—pembacanya.
Ignas Seta Dwiwardhana melakukan analisis semiotik (ilmu tentang tanda-tanda) yang ketat terhadap seri kartun Pailul Ketopraktun, karya Dwi Koen yang khusus menanggapi masa Pemilihan Umum 1999.
Peneliti ini berhasil memberi makna berbagai anekdot yang menjadi ilustrasi seri kartun tersebut.
Mulai dari fanatisme lerhadap partai masing-masing, adanya pihak yang hanya mengambil keuntungan dari masa kampanye, keterkejutan budaya atas percepatan perubahan politik secara drastis yang tidak dirasakan selama masa Orde Baru, sampai kepada penerimaan atas yang dianggap sebagai kebangkitan demokrasi di Indonesia.
Dewi Kurniawati membatasi penelitiannya kepada sosok Akbar Tanjung, yang disebutnya selalu bisa lolos dan jerat hukum, sebanyak sepuluh kartun yang mewakili duapuluh edisi Panji Koming, yang melalui negara "Majapahit"- nya Dwi Koen tetap saja sampai sebagai pembongkaran realitas Indonesia.
Disebutnya, dengan itu Panji Koming merupakan cermin masyarakat yang sarkastis tetapi kritis, menunjukkan fungsi pers sebagai pilar keempat dalam demokrasi, sebagai gambar menguatkan kritik sosial teks karena lebih leluasa melempar kritik, dan mencerahkan pikiran dalam situasi anomali yang membingungkan sesudah reformasi.
Sedangkan buku Muhammad Nashir Setiawan, sebetulnya berasal dan tesis strata-dua yang membahas Panji Koming sebagai wacana visual, sesuai dengan sifatnya sebagai kajian seni rupa.
Dirumuskan, terdapat penggunaan metafora pikiorial untuk menggambarkan tokoh maupun situasi aktual, tokoh tetap dan berkelanjutan memungkinkan konsistensi watak, digunakan anakronisme (bahwa "Majapahit" dan bukan Indonesia) dalam teknik penceritaan, serta diangkat pandangan dominan yang hidup di tengah masyarakat.
Baca Juga: Catat! Film Kartun Tak Selalu Cocok dan Baik Buat Anak-anak Kita
Dengan kata lain, situasi masa reformasi yang melahirkan anomali berhasil dijelaskan kepada khalayak melalui wacana visual.
Segenap perumusan di atas barulah sebagian dari kajian ilmiah atas karya Dwi Koen. Terbukti, seorang kartunis lernyata tidak sekadar menyumbangkan dagelan, sebaliknya gambar humor (comic) alias kartun ini telah mengundang banyak kajian serius.
Apa yang disebut kritik itu tampaknya memang seperti disampaikan dengan cara yang selugas-lugasnya, tetapi latar "Majapahit" telah berhasil membuatnya tidak terlalu langsung, yang memang diperlukan, jika mengingat potensi bahaya yang selalu menginngi kartun dalam media massa.
Jadi, yang semula seperti dagelan, sebetulnya adalah suatu seni (meng)-kritik. Ternyata "seni"-nya ini memancing segala bentuk perbincangan ketat yang disebut kajian ilmiah, bukan sekadar untuk menangkap pesan, tetapi membongkar maknanya.
Bukankah ini merupakan kontribusi sosial?
Baca Juga: GM Sudarta: Menjadi Kartunis Itu Sering Terjebak dalam Kepahitan Hidup
Sambilan dan penghargaan
Namun bagaimana pendapat Dwi Koen sendiri? Apakah beliau sama serius seperti para peneliti tentang dirinya? Jika menengok riwayat lahirnya kartun seri Panji Koming, para Pembaca yang Budiman janganlah kiranya terlalu kecewa jika semula Panji Koming ini bagi Dwi Koen ternyata hanyalah semacam sambilan.
Memang benar secara formal Dwi Koen belajar pada jurusan Ilustrasi Grafis di Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI pada 1963-1964, yang sekarang terleburkan ke dalam Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta, tetapi bidang pergulatan utamanya adalah film.
Dwi Koen adalah seorang produser dan sutradara yang bukan saja telah melahirkan banyak film iklan, dokumenter, dan animasi, dalam pengabdian selama 25 tahun (1976-2001), melamkan juga telah mendapat banyak penghargaan, termasuk Piala Citra untuk Film Dokumenter dalam Festival Film Indonesia tahun 1981.
"Sejak melihat film-film Walt Disney, cita-cita saya hanya satu, yaitu bikin film animasi," ujarnya kepada Intisari.
Sebagai pemuda kelahiran 1941, tentu belum ada sekolah film, apalagi animasi, pada saat tiba waktunya masuk perguruan tinggi. Maka ketika ditekuninya "pelajaran menggambar", tentulah karena kedekatannya dengan animasi tersebut.
Kemudian, dalam situasi kacau semasa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, kebetulan Dwi Koen mendapat tawaran bergabung dengan Televisi Eksperimen di Surabaya, yang merupakan proyek bersama TVRI, Angkatan Laut, dan Institut Teknologi Surabaya.
Tentu ia menyambutnya dengan bergairah, dan di sana segera dipelajarinva segala sesuatu yang berhubungan dengan teknik dan bahasa audio visual.
Baca Juga: Mengapa Banyak Tokoh Kartun Berwarna Kuning? Ini Dia 3 Alasannya
"Jadi dalam dunia film saya belajar secara autodidak," katanya, "film animasi saya perhatikan gambarnya per-frame dari seluloid, untuk mempelajari cara menggambarnya." Bukan main!
Tentu saja ini menjelaskan ketekunan Dwi Koen, dan nanti juga produktivitasnya, ketika kelak ke mana pun ia pergi untuk shooting harus berbekal kuas, tinta. pensil, karet penghapus, dan kertas, agar Punji Koming terjamin tidak absen.
Kenapa bisa begitu? "Saya pernah menjadi sutradara suatu proyek, dan begitu asyiknya sehingga tidak merasa perlu menggambar Panji Koming sampai dua minggu berturut-turut. Ternyata kemudian terjadi kegegeran, karena banyak pembaca yang mengeluh kepada redaksi Kompas," kisahnya.
Sejak itu kepada Dwi Koen diajukan semacam "kontrak" selama hayat dikandung badan, bahwa Panji Koming akan terus hadir di Kompas hari Minggu.
Baca Juga: Lucu! Foto-foto di Dunia Nyata Ini Sangat Mirip dengan Adegan dalam Film Kartun Terkenal! Kebetulan?
Riwayat munculnya Panji Koming di Kompas sendiri memang berbau sambilan. Ketika sedang sibuk-sibuknya menjadi manajer produksi di Gramedia Film, datang tawaran yang juga berbau iseng.
"Bisa menggambar kan? Bikin kartunlah!" Begitu kira-kira ajakan redaksi Kompas. "Mula-mula saya ajukan Pailul," kisahnya lagi, "tapi katanya terlalu Jawa, jadilah Panji Koming, yang lantas dianggap singkatan Kompas Minggu. Ya sudahlah!"
Namun yang semula hanya seperti mengisi ruang kosong dan waktu luang, setelah berjalan bertahun-tahun sejak 1979, kini menjadi ruang waktu yang dihayatinya dengan penuh kesungguhan.
"Saya kena stroke dan dianjurkan tidak terlibat produksi film lagi," ujar Dwi Koen, yang lantas berbisik dengan geli, "ternyata dokternya ingin melihat Panji Koming jalan terus."
Ini berarti pengamatan atas hiruk pikuk sosial politik negeri ini baginya tidak merupakan sambilan lagi.
Perhatikan pula betapa eksistensi Panji Koming tidak merupakan usaha Dwi Koen seorang, melainkan juga pengukuhan oleh masyarakat yang menghargainya.
Panji Koming menjadi milik orang banyak.
Menurunkan ilmu
Kini usia Dwi Koen sudah 66 tahun. Dalam dunia para kartunis, anggota dewan penasehat International Journal of Comic Art sejak 2006, bersama dengan tokoh-tokoh kelas dunia seperti Art Spiegelman dan Jerry Robinson itu, telah dianggap sebagai "Mbah" yang menjadi tempat bertanya para kartunis muda.
Sadar tak mungkin terus-menerus menjawab secara tatap muka, diturutinya anjuran sebuah penerbit untuk membuat buku Yuk, Bikin Komik yang sungguh menguji kemampuannya untuk mengajak, menjelaskan, dan merangsang para calon kartunis dan komikus muda, secara ringan dan gampang dicerna.
"Ini tugas yang sulit," katanya. Maklumlah, sikap menggampangkan persoalan tampaknya bukan watak Dwi Koen. la telah menolak tawaran agar tokoh Panji Koming menjadi bagian iklan sebuah produk, yang tentu saja lidak titawarkan tanpa imbalan.
Kepada Intisan, Dwi Koen menyampaikan intisari llmu "ngartun" dari segenap pengalamannya sebagai berikut: (1) observasi dan (2) oriental, yakni pengamatan secara mendalam atas dunia di sekitar kita; (3) ilummasi, yang dimaksudnya sebagai peningkatan kreativitas; (4) verifikasi, tentang bagaimana suatu karya akan diterima oleh masyarakat; (5) manajemen, yang bagi Dwi Koen ditekankan kepada manajemen waktu dan manajemen suasana hati atau mood, yang dalam hal dirinya dapat direkayasa melalui musik.
Baca Juga: Yuk, Berkenalan Dengan El Rey Magnum, Seekor Kuda yang Mirip Seperti Kuda Dalam Kartun Disney
("Seniman 'kan suka bilang 'lagi enggak mood", sehingga kerja terbengkalai," jelasnya), dan (6) konsistensi, karena keyakinan untuk tetap bertahan sangat diperlukan, kalau mau terus.
"Yang terakhtr ini saya dapatkan dari almarhum Pak Oyong," katanya, memberi kredit salah seorang pendiri Kelompok Kompas Gramedia tersebut. "dan memang benar, kalau lidak bagaimana Panji Koming bisa bertahan selama 28 tahun? lngat, sampai sekarang pun saya masih mengerjakannya di sela-sela pekerjaan lain."
Mudah-mudahan menjadi lebih jelas sekarang, bahwa kontribusi seorang kartunis bukanlah sekadar membuat orang lain cengengesan, melainkan bermakna penting dalam berlangsungnya kebudayaan – kehidupan kita-kita juga!.
Baca Juga: Anda Penyuka Kartun Popeye dan Olive? Inilah Sweethaven Village, Desa Popeye di Kehidupan Nyata