Advertorial
Intisari-Online.com - Presiden Jokowi dikabarkan tak libatkan KPK dan PPATK dalam pemilihan menteri untuk periode 2019-2014.
Masinton Pasaribu, Politisi PDI Perjuangan pun ikut berkomentar.
Dia mengatakan bahwa pemilihan menteri merupakan hak prerogatif presiden.
Dilansir dari Kompas.com, Masinton mengatakan, Jokowi selaku presiden tentu memiliki banyak instrumen untuk melacak rekam jejak calon-calon menteri untuk diangkatnya.
"Jadi, secara formal tidak ada masalah kalau Presiden tidak melibatkan KPK dan PPATK karena presiden punya banyak instrumen untuk melakukan tracking atau rekam jejak terhadap masing-masing anggota kabinetnya nanti," ujarnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua PPATK Dian Ediana Rae mengatakan bersedia membantu jika diminta, begitu juga KPK.
Selanjutnya, Masinton menilai, pada tahun 2014 Jokowi sudah melibatkan KPK dalam menelusuri calon-calon menteri yang akan diambilnya.
Namun, terkait dengan pilih memilih para menteri ada yang unik dengan cara presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Waktu itu, Golkar menjadi single majority sehingga Soeharto tidak mengenal kata kompromi dalam membentuk kabinet.
Lantas bagaimana cara Soeharto memilih jajaran menter-menterinya?
1. Tidak Banyak Meminta Saran dari Wapres
Soeharto tidak banyak meminta saran dari wakilnya.
Meski memilih presiden memang hak prerogatif presiden, sikap Soehartoyangtak mau mendengarkan masukan, sangat disayangkan Habibie.
2. Mengandalkan Orang-orangnya yang Terpercaya
Soeharto biasa mengandalkan mereka yang berasal dari TNI dan Partai Golkar.
Baru setelah itu, dia mengandalkan kalangan profesional.
3. Melibatkan Intelijen
Presiden Soeharto diketahui menggunakan jasa intelijen untuk merekrut para menterinya.
Oleh karena itu, Soeharto sangat mengetahui detail kehidupan calon menteri-menterinya.
Siapa saja calon yang ingin menjabat, data dan latar belakangnya pasti diketahui dengan rinci oleh Soeharto.