Advertorial
Intisari-Online.com - Istri Ridwan Kamil, Atalia Kamil yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Barat, menyarankan agar orangtua tidak membiarkan anaknya bermain ponsel secara berlebihan.
Hal tersebut dilakukan agar anak-anak tidak sampai kecanduan seperti ratusan anak yang sudah mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa alias RSJ Provinsi Jawa Barat.
Seperti diketahui, sejak tahun 2016, RSJ Provinsi Jawa Barat telah menangani ratusan pasien yang kecanduan bermain ponsel, baik itu bermain game, browsing internet dan bermain aplikasi yang lainnya.
Bahkan sebagian pasien di RSJ Provinsi Jawa Barat tersebut ada yang harus dirawat inap.
"Gadget ini sebetulnya untuk anak bisa menjadi hal positif dan negatif, sehingga orangtua harus mempertimbangkan terkait usia anak dan kebutuhannya," ujar Atalia Kamil saat ditemui di Kompleks Perkantoran Pemkab Bandung Barat sebagaimana dilansir Tribunnews.com, Rabu (16/10/2019).
Namun tahukah Anda jika memberikan ponsel ke anak sama seperti memberinya segram kokain?
Hal itulah yang diungkap seorang terapis kecanduan dari Inggris.
Waktu yang dihabiskan seseorang untuk mengirim pesan di aplikasi percakapan atau membalas komentar di media sosial bisa menyebabkan kecanduan pada anak remaja, seperti halnya narkoba dan alkohol.
Mandy Saligari, spesialis kecanduan dari klinik rehabilitasi Harley Street London, mengatakan bahwa kecanduan gadget seharusnya juga diatasi seperti halnya kecanduan narkoba.
"Saya selalu mengatakan, saat Anda memberikan tablet atau ponsel ke anak, itu seperti memberikan mereka sebotol wine atau segram kokain. Apakah kita siap membiarkan mereka dengan benda itu di balik pintu?" katanya.
Ia menjelaskan, penggunaan gawai yang berlebihan memiliki dampak yang sama pada otak seperti halnya obat-obatan terlarang.
"Saat membicarakan perilaku kecanduan, biasanya orang langsung melihat pada zat berbahaya. Padahal, pola perilaku itu bisa mewujud dalam berbagai bentuk, misalnya obsesi pada makanan, melukai diri, atau mengirim teks bernuansa seks," katanya.
Di kliniknya, Saligari, mengatakan bahwa dua pertiga pasiennya adalah remaja berusia 16-20 tahun.
Ia menyebut peningkatannya sangat dramatis dalam 10 tahun terakhir.
Dalam survei terbaru yang melibatkan 1.500 guru di Inggris terungkap, dua pertiga responden mengaku sadar murid mereka berbagi konten bernuansa seksual, dan sekitar 1 dari 6 anak sudah melakukannya sejak usia SD.
"Banyak pasien saya yang baru berusia 13-14 tahun dan melakukan sexting menganggap itu adalah hal yang normal," katanya.
Perilaku sexting itu bukan hanya mengirimkan kata-kata bermuatan seks tapi juga mengirimkan foto diri telanjang.
Hal itu dianggap normal jika orangtua atau orang dewasa tidak mengetahuinya.
Menurut Saligari, jika anak sejak kecil sudah diajarkan untuk menghargai dirinya, perilaku mengeksploitasi diri seperti itu tidak mungkin terjadi.
"Ini adalah isu menghargai diri dan identitas diri," katanya.
Baca Juga: Anak Kedua Lebih Sulit Diatur Dibandingkan Anak Pertama, Benarkah?