Di antaranya terdapat banyak orang dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Daeng) yang membalik turut berjuang di pihak Mangkubumi.
Mereka masing-masing dikumpulkan menjadi satu pasukan tersendiri, yang terdiri dari orang-orang Bugis atau Daeng, serta merupakan suatu kesatuan tempur sendiri.
Setelah damai orang-orang itu ingin tetap tinggal ditanah Jawa.
Konon pasukan Wirabraja juga terdiri dari serdadu-serdadu Belanda yang telah menyerah dan tertawan, dan kemudian dijadikan semacam “stoottroep" atau pasukan tempur.
Tempat-tempat kediaman masing-masing pasukan itu kemudian disebut Wirabrajan Daengan, Ketanggungan, Patang Puluhan dan Bugisan.
Jadi akhiran “an” di sini menunjukan tempat.
Tiga pasukan diberi tempat tinggal di sebelah Selatan beteng kraton, masing-masing Mantrijero, Jagakarian dan Pawiratama.
Jadi tempat kediaman mereka disebut Mantrijeron, Jagakarian dan Pawirataman.
Dua pasukan lainnya ditempatkan di sebelah Timur sungai Code, yaitu pasukan Nyutra dan Surakarsan.
Semua anggauta pasukan itu diperkenankan tinggal di tempat masing-masing dengan sanak keluarganya hingga turun-temurun.
Enggan nama baru
Nama-nama baru yang kedengarannya tak cocok untuk telinga orang Jogya, umumnya tak laku.
Sebagai contoh misalnya Jl. Pangurakan (dari urak = surat perintah bergiliran piket di Keraton) yang diganti dengan nama Jl. Trikora.
Meskipun papan namanya dipancang sampai sekarang, namun tak seorang tukang becak yang tahu, di mana jalan itu.
Tetapi kalau orang mengatakan Jl. Pangurakan, maka tukang becak tak akan keliru.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR