Advertorial
Intisari-Online.com – Jika Anda membuka Twitter pada hari Senin tanggal 10 Oktober 2019 ini, maka Anda akan melihat trending topic nomor 1 di Indonesia adalah #HUT263Jogja.
Ya, hari ini memang Hari Ulang Tahun kota Yogyakarta yang ke-263 tahun.
Seperti yang kita tahu, Yogyakarta merupakan salah satu kota yang penuh sejarah dan wisata.
Dari sekian banyak sejarah dan wisata, ada satu tempat yang selalu menjadi favorit. Ia adalah Jalan Malioboro.
Namun tahukah Anda bahwa nama Jalan Malioboro berasal dari nama penjajah Inggris?
Jika tidak, mari kita simak tulisan Soemadirdja,Jalan Malioboro Asalnya dari Marl Borough, yang pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Agustus 1973 berikut ini.
Kalau orang bepergian ke Yogyakarta dan menjelajah jalan-jalan dan kampung-kampungnya, maka orang akan menjumpai jalan serta kampung yang khas Jawa.
Kebanyakan nama-nama itu memakai akhiran “an" (yang menunjukkan tempat), kecuali di daerah Kota Baru, yang dulu didiami oleh orang-orang Belanda.
Di situ terdapat nama-nama jalan yang menggunakan nama-nama gunung dan sungai.
Tetapi berhubung dengan adanya revolusi, jalan-jalan di Kota Baru itu sekarang sudah hampir semua diganti dengan nama-nama orang yang gugur dalam pertempuran di daerah tersebut pada permulaan revolusi tahun 1945.
Ketika itu rakyat berusaha melucuti tentara Jepang yang bermarkas di sana.
Begitu pula sementara jalan di bagian kota lama ada juga yang diganti dengan nama-nama baru, yaitu mengambil nama-nama para pejuang kemerdekaan, pahlawan Revolusi atau nama-nama raja Mataram yang tersohor, tetapi tidak menggunakan akhiran “an" tadi.
Kraton diapit 2 sungai
Setelah P. Mangkubumi pada tahun 1755 oleh Kumpeni Belanda diakui sebagai raja dan mendapat separo dari kerajaan Mataram dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Isebagai hasil perjuangan beliau yang gigih melawan Kumpeni Belanda, maka beliau segera memerintahkan untuk membangun sebuah kraton di bekas “Pabringan" yang letaknya diapit oleh 2 batang sungai, sungai Code disebelah Timur dan sungai Winongo disebelah Barat.
Sementara itu Sultan Hamengku Buwono I masih tinggal di “Ambarketawang" yang terletak kurang lebih 5 km sebelah Barat Yogyakarta sekarang, dengan para kerabat dan laskarnya.
Setelah selesai pembangunannya, diperingati dengan sebuah “Sangkalan memet", berwujud gambar dua ekor naga yang masing-masing saling berkaitan (kawin).
Artinya “Dwi Naga Rasa Tunggal" (Dwi = 2 ; Naga = 8 ; Rasa = 6 ; Tunggal = 1) jadi merupakan angka 2861 dan kalau dibalik 1682, yaitu tahun Jawa.
Kini Sri Sultan Hamengku Buwono berkenan “boyong" (pindah) dari Ambarketawang ke kratonnya baru, yang kemudian dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Jadi hingga sekarang kraton itu sudah genap 224 tahun dan sebentar lagi 225 tahun (1905).
Sri Sultan boyong
Waktu Sri Sultan boyong, seluruh kerabat, para hamba dan rakyat dan anggaota-anggota laskarnya yang turut berjuang selama kurang lebih enam tahun melawan Kumpeni Belanda (dari 1749-1755), turut hijrah dari Ambarketawang ke Yogyakarta.
Terutama bekas anggauta laskarnya P. Mangkubumi yang terdiri dari beberapa “bendera" (pasukan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang adipati, diberi tempat kediaman khusus sendiri-sendiri, di sebelah Barat, Selatan serta Timur beteng Keraton.
Maksudnya sekaligus untuk menanggulangi musuh, kalau-kalau ada musuh yang mendatangi, terutama dari sebelah Barat. Dari sebelah Timur tak begitu dikhawatirkan.
Oleh karena itu disebelah Barat kali Winongo ditempatkan lima dari bekas pasukannya, yaitu masing-masing : Wirabraja, Daeng, Ketanggung, Patangpuluh dan Bugis.
Dalam peperangan melawan Kumpeni Belanda, banyak tentara Kumpeni yang ditawan atau dibunuh.
Mereka terdiri dari serdadu-serdadu bayaran, yang berasal dari Bali, Madura, Sulawesi Selatan dan Ternate selain serdadu-serdadu berkulit putih.
Mereka yang menyerah hidup-hidup dan ingin mengabdi kepada Sang Pangeran, mendapat pengampunan serta diberi kesempatan untuk bekerja sama.
Kebanyakan bahkan turut membantu berjuang melawan Kumpeni Belanda.
Di antaranya terdapat banyak orang dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Daeng) yang membalik turut berjuang di pihak Mangkubumi.
Mereka masing-masing dikumpulkan menjadi satu pasukan tersendiri, yang terdiri dari orang-orang Bugis atau Daeng, serta merupakan suatu kesatuan tempur sendiri.
Setelah damai orang-orang itu ingin tetap tinggal ditanah Jawa.
Konon pasukan Wirabraja juga terdiri dari serdadu-serdadu Belanda yang telah menyerah dan tertawan, dan kemudian dijadikan semacam “stoottroep" atau pasukan tempur.
Tempat-tempat kediaman masing-masing pasukan itu kemudian disebut Wirabrajan Daengan, Ketanggungan, Patang Puluhan dan Bugisan.
Jadi akhiran “an” di sini menunjukan tempat.
Tiga pasukan diberi tempat tinggal di sebelah Selatan beteng kraton, masing-masing Mantrijero, Jagakarian dan Pawiratama.
Jadi tempat kediaman mereka disebut Mantrijeron, Jagakarian dan Pawirataman.
Dua pasukan lainnya ditempatkan di sebelah Timur sungai Code, yaitu pasukan Nyutra dan Surakarsan.
Semua anggauta pasukan itu diperkenankan tinggal di tempat masing-masing dengan sanak keluarganya hingga turun-temurun.
Enggan nama baru
Nama-nama baru yang kedengarannya tak cocok untuk telinga orang Jogya, umumnya tak laku.
Sebagai contoh misalnya Jl. Pangurakan (dari urak = surat perintah bergiliran piket di Keraton) yang diganti dengan nama Jl. Trikora.
Meskipun papan namanya dipancang sampai sekarang, namun tak seorang tukang becak yang tahu, di mana jalan itu.
Tetapi kalau orang mengatakan Jl. Pangurakan, maka tukang becak tak akan keliru.
Begitu pula dengan jalan Judanegaran, yang sejak adanya Dwi Komando rakyat (Dwikora) diganti dengan nama tersebut.
Para pengemudi becak tahunya hanya Jl. Judanegaran, dan tak ada orang yang menawar becak misalnya seperti, “ke jalan Dwikora berapa, Pak?"
Ada pula jalan yang telah diganti dengan nama seorang pahlawan revolusi terkenal.
Tetapi tak ada orang yang pernah menyebut nama jalan baru itu.
Akhirnya nama baru itu dicabut dan digunakan untuk memberi nama jalan di Kota Baru dan nama jalan yang lama itu dibiarkan.
Umumnya rakyat kebanyakan jarang-jarang pergi ke Kota Baru.
Hanya beberapa nama baru saja yang dapat diterima dengan segera oleh rakyat.
Misalnya Jl. Tugu Kidul yang diganti dengan Jl. P. Mangkubumi, Tugu Kulon dengan Jl. P. Diponegoro, Gandalayu dengan Jl. Jendral Sudirman dan sebagainya, meskipun tidak menggunakan akhiran “an", tetapi nama itu merupakan nama khas Jawa, jadi didengar sudah enak, lagi pula nama-nama itu asalnya juga dari situ.
Ada sebuah jalan yang diganti dengan nama seorang pahlawan revolusi dan yang segera dapat diterima oleb rakyat, yaitu Pacinan diganti dengan Jl. Jendral A. Yani.
Kalau dulu mestinya nama itu menjadi A. Yanen.
Adapun jalan Malioboro yang menjadi tersohor itu, dulu berasal dari namanya seorang bangsa Inggris, ketika tanah air kita diduduki oleh Inggris dari tahun 1811 - 1813, yaitu Marl Borough.
Karena mengucapkan nama tersebut sukar sekali bagi orang-orang Jawa, maka kemudian diambil gampangnya saja menjadi Malioboro.
Selain itu semua ada juga kelompok-kelompok orang asing yang diberi tempat kediaman tetap, seperti sayid dan orang-orang Cina, dan nama tempat tinggal mereka disebut Sayidan dan Pacinan.
Yang akhir tadi sudah diganti nama baru.
Orang-orang Belanda yang menetap di daerah Yogya juga tidak sedikit. Buktinya ada beberapa kampung yang disebut dengan nama seperti: Ngebaraman dari nama Bram, Nglamersan dari Lamers, Kleringan dari Klering, dan Ledok Ratmakan dari ledok (lembah) tempat tinggalnya Ratmakers.
Begitu masih banyak lagi.