Realitas ini menurut Suryani, berbeda dengan yang dialami oleh orang-orang Barat yang belajar menari di Bali.
Mereka tak memiliki perasaan semacam itu. Usai pergelaran cuma perasaan senang dan puas semu yang mereka rasakan. Tapi kalau penari Bali puasnya tak terlukiskan.
Bahkan, dalam tarian keagamaan di pura, kepuasan itu berwujud ketenangan batin yang masih berlangsung sampai tiga hari.
Suryani memperkirakan penabuh gamelan Bali yang mengiringi suatu tarian atau sendratari melakukan hipnoterapi (terapi untuk membuat seseorang kesurupan) pada si penari.
Perangkat gamelan mereka jadikan salah satu media untuk mengekspresikannya.
Bisa jadi, ini pula yang terjadi pada pertunjukan debus atau kuda lumping.
Pertunjukan debus yang dipimpin seorang syeh juga disertai alunan alert musik sederhana untuk mengiringi para pezikir yang selalu menyanyikan lagu puji-pujian kepada Tuhan.
Demikian pula pada kuda lumping yang diiringi seperangkat tetabuhan dan disertai seorang "dukun" sebagai penanggung jawab atas keselamatan pemain.
Irama musik pengiring kedua bentuk kesenian ini sama-sama monoton "Jadi apa diarahkan terhadap seseorang pada dasarnya mampu menjadikan kesurupan," ungkap Suryani.
Selain untuk keperluan dunia seni, trance ternyata banyak pula manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kemampuan itu, seseorang mampu mempergunakan indera keenamnya dengan sempurna, sehingga dia bisa membaca maksud orang lain tanpa harus mengatakannya.
Bahkan, tak sedikit yang tahu suatu peristiwa yang bakal terjadi.
Dengan trance, katanya, seseorang juga bisa mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara singkat dengan hasil maksimal.
Lewat trance seseorang mampu membaca pikiran guru sebelum guru itu menerangkan: "Seandainya kaum intelektual di Indonesia ini mau memahami dunia trance, lalu mengkaji secara ilmiah dan menggabungkannya dengan dunia logika, mungkin kehidupan ini akan bertambah bagus," harapnya.
Penulis | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR