Advertorial

Lebih Lama dari Hiroo Onoda, Serdadu Jepang Ini 30 Tahun Bergerilya Sendirian di Hutan Morotai, Tinggal di Gubuk yang Siap Dijadikan Kuburannya Sendiri

Ade S

Editor

Selama 30 tahun, Teruo Nakamura bergerilya seorang diri di pedalaman Morotai. Kisah kesetiannya serupa dengan Hiroo Onoda.
Selama 30 tahun, Teruo Nakamura bergerilya seorang diri di pedalaman Morotai. Kisah kesetiannya serupa dengan Hiroo Onoda.

Intisari-Online.com -Masih ingat dengan kisah Hiroo Onoda, seorang serdadu Jepang yang menolak menyerah kepada sekutu?

Dia memilih untuk tetap bergerilya di hutan Filipina selama 29 tahun karena tidak tahu bahwa Perang Dunia II telah usai.

Satu perintah penting yang terus dipegang teguh oleh Onoda adalah tidak boleh menyerah. Lebih baik bunuh diri jika memang harus tertangkap.

Kalau bukan karena seorang pimpinan yang sudah pensiun mendatanginya, Onoda mungkin akan mati sendirian di hutan Filipina.

Baca Juga: Hiroo Onoda, Mata-mata Jepang yang Tak Sudi Menyerah kepada Tentara Sekutu Meski Harus Sampai Ajal Menjemput

Nah, kisah tentang kesetiaan yang serupa dengan Onoda ini ternyata juga terjadi di Indonesia, khususnya di Morotai.

Seorang serdadu bernama Teruo Nakamura setia bergerilya di pedalaman Morotai selama 30 tahun.

Bahkan, dirinya tak percaya saat diberitahu bahwa perang dunia II telah usai.

Berikut ini kisahnya.

Baca Juga: Berawal dari Lelucon Kotak Daging Masa Perang Dunia I, Inilah Julukan Paman Sam bagi Amerika Serikat Berasal

Duduk bersimpuh, seorang pemuda meletakkan surat wasiat di lantai. Ia kemudian melepaskan pakaian dan mengambil pedang katana untuk dihunjamkan ke sisi perut, lalu terdiam dalam posisi itu sampai mati.

Betul, itu adalah penyederhanaan prosesi harakiri atau seppuku—bunuh diri khas Jepang—yang lebih sering dilakukan para samurai. Biasanya orang yang memilih seppuku telah kehilangan kehormatan akibat melakukan kejahatan, aib, atau merasa gagal menjalankan tugas.

Pada akhir Perang Dunia II harakiri juga menjadi pilihan bagi tentara Jepang, sebagai pasukan yang kalah perang. Mereka merasa lebih baik mati terhormat—berdasarkan budaya Jepang—daripada menjadi tawanan musuh atau pulang dengan kekalahan.

Namun, hal itu tak dilakukan Teruo Nakamura, prajurit Jepang yang berperang di Morotai, Maluku Utara. Pulau ini merupakan salah satu tempat strategis yang diperebutkan Jepang dan Sekutu selama Perang Dunia II.

Pada 15 September 1944 pasukan Sekutu menyerang tentara Jepang di Morotai. Singkat cerita, dengan jumlah pasukan yang lebih banyak, Sekutu menaklukkan Jepang dan menjadi penguasa baru di sana.

Saat itu, Nakamura memilih kabur dan berlindung di pedalaman hutan Morotai. Selama 30 tahun sesudahnya, dia tidak tahu bahwa rezim dan zaman sudah berubah. Bahkan dia tidak tahu bahwa Perang Dunia II telah lama usai.

Konon menurut cerita warga setempat, Nakamura tinggal di gubuk kayu beratap rumbia ukuran 2x2 meter persegi. Ia tidur beralaskan kayu melengkung yang rencananya juga akan dia gunakan untuk membakar diri bila sudah merasa benar-benar tak berdaya di tengah hutan.

“Gubuk itu lokasi persembunyian Nakamura, “ ujar Muhlis Eso yang sehari-hari mencari benda-benda peninggalan Perang Dunia II di Morotai ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (10/11/2016).

Keberadaan Nakamura baru terungkap pada akhir 1974. Warga Desa Pilowo bernama Luther Goge, melaporkan keberadaan Nakamura kepada kepolisian setempat. Namun, saat hendak dipulangkan ke Jepang, terungkap bahwa Nakamura bukan warga negara Jepang.

Baca Juga: Fakta Kaisar Hirohito, Sang Tenno Heika Jepang Masa Perang Dunia II yang Tak Boleh Dipandang oleh Mata Rakyat Jelata

Nakamura ternyata asli orang Taiwan yang saat Perang Dunia II dimasukkan ke Unit Sukarela Takasago dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.

Mungkin juga itu alasan kenapa Nakamura tidak melakukan harakiri layaknya prajurit Jepang yang kalah berperang.

Jadi lekat dengan Morotai

Kisah nyata Nakamura tak berhenti pada 1974. Pelarian dan persembunyiannya justru menginspirasi banyak orang. Belakangan, Nakamura malah jadi salah satu ikon wisata Morotai.

Untuk mengenang kisah di atas, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai membangun Monumen Teruo Nakamura di Desa Deheglia. Wisatawan pun bisa menelusuri jejak pelarian Nakamura dengan mengunjungi monumen itu.

Namun, bila ingin merasakan sensasi lebih, Anda bisa berkunjung ke air terjun Nakamura. Lokasinya masih berada di Desa Deheglie, tapi di tengah hutan. Di sana Anda bisa membayangkan perjuangan Nakamura bertahan dan menjalani hidup.

“Kalau tempat istirahat Nakamura ada di batu alam yang bernama Kokota Rifer. Posisinya ada di atas air terjun dan dia sering bakar udang dan ikan di situ.” papar Muhlis Eso.

Tak cuma tempat istirahat, Muhlis pun kembali bercerita, Kokota Rifer adalah bukti dahsyatnya serangan tentara Sekutu di Morotai.

Baca Juga: Bersama Kedipan Genit, Tahanan Perang Nazi Itu Berikan Strudel Apel Spesial untuk Perawat Militer Amerika, Kisah Cinta Terlarang Masa Perang Dunia II

“Dua lubang di Kokota Rifer itu adalah dampak penyerangan besar-besaran tentara Sekutu ke Jepang selama tiga hari berturut-turut,“ ujar Muhlis.

Menurut Muhlis, selain Nakamura diduga ada juga tentara Jepang asal Taiwan yang ikut bersembunyi bersamanya. Nama prajurit itu adalah Murita.

“Sampai saat ini keberadaanya belum ditemukan. Ada kabar tapi belum terbukti kebenarannya kalau dia sudah meninggal,” kata Muhlis.

Tentu saja, keindahan air terjun Nakamura tak cuma karena nama yang disematkan. Pola aliran air dari atas ke bawah yang tak beraturan membuat objek wisata alam itu terlihat unik dan mempesona.

Belum lagi kondisi air yang jernih dan menyegarkan seakan menggoda para wisatawan untuk menceburkan diri ke dalam air. Air terjun tersebut juga merupakan sumber pasokan air bersih Morotai.

Selain Monumen Teruo Nakamura dan air terjun Nakamura, Morotai masih punya objek wisata alam historis lain. Contohnya, Pulau Zum Zum dengan Monumen Jenderal MacArthur—panglima pasukan perang Sekutu.

Lalu, ada pula Pulau Dodola, Kolorai, dan Matita, yang punya pemandangan bawah laut laiknya museum.

Perairan laut ketiga pulau itu memiliki spot-spot diving bernuansa Perang Dunia II. Di sana tersimpan bangkai peralatan dan kendaraan tempur sisa perang tersebut.

Sementara itu, dari segi wisata bahari pulau paling utara di Indonesia malah punya beberapa pulau kecil dan pantai berpasir putih yang menarik bagi wisatawan.

Baca Juga: Jasad Pahlawan Perang Dunia II Terbengkalai di Ladang, Setelah 77 Tahun Baru Bisa Dikuburkan dengan Benar

Berbenah menyambut tamu

Dengan berbagai potensi wisata yang dimiliki Morotai, Pemerintah memasukkannya ke dalam sepuluh destinasi prioritas. Menteri Pariwisata Arief Yahya pun yakin Morotai akan berkembang pesat.

“Saya yakin, tidak lama lagi Morotai akan hidup dan menjadi salah satu destinasi kelas dunia yang bisa diandalkan untuk menarik wisatawan mancanegara (wisman),” jelas Arief seperti dimuat Kompas.com, Rabu (1/6/2016).

Adapun untuk mewujudkan keinginan itu pemerintah melalui PT Morotai Jababeka akan mengembangkan kawasan bisnis secara bertahap di sana. Rencananya, sejumlah perumahan kelas menengah dan hotel akan dibangun pada tahap awal.

Setelah itu, pemerintah juga berencana membangun tempat pariwisata beserta infrastrukturnya dan sekolah untuk memasok sumber daya alam di sana. Jababeka berencana menggandeng investor asal Taiwan untuk memuluskan rencana ini.

“Nantinya Pulau Morotai bisa dikembangkan menjadi Singapura-nya kawasan Timur Indonesia,” papar advisor pengembang Jababeka Morotai, Basuri T Purnama, seperti dikutip Kompas.com, Rabu (1/6/2016).

Pokja 10 Top Destinasi Prioritas Pulau Morotai, Arie Suhendro menambahkan, pengembangan transportasi udara di sana sudah terlihat dampaknya. Peningkatan frekuensi penerbangan ke Morotai menjadi bukti.

“Dari tidak ada penerbangan ke Morotai, sejak 27 April 2016 frekuensi penerbangan menjadi dua kali per hari dengan kapsitas 72 seat. Adapun Wings Air sebagai maskapai yang digunakan,” ujar Arie.

Tak hanya sampai di situ, lanjut Arie, pemerintah memikirkan pula pengembangan bandara. Menurut dia, Morotai wajib punya bandara internasional dengan panjang runway—landasan pacu—minimal 3.000 meter, untuk menjadi destinasi kelas dunia.

Baca Juga: Senjata Berat hingga Senapan Mesin, Ini 8 Senjata Paling Mematikan dalam Perang Dunia I

Bersamaan, sejumlah BUMN dan instansi juga akan fokus mengembangkan beragam sektor lain, termasuk listrik, air, pemukiman, dan telekomunikasi. Beberapa sektor itu merupakan prioritas teratas pembangunan di Morotai.

“PLN telah memaparkan rencana memenuhi listrik di Morotai saat rapat dengan Komisi X DPR di Ternate pada 27 Mei 2016. Untuk air dan pemukiman, Ditjen Cipta Karya telah survei ke Morotai pada 26 Mei 2016 dan ditindaklanjuti dengan rakor di Ternate pada 27 Mei 2016. Adapun untuk telekomunikasi sedang dilakukan peningkatan jaringan di Morotai,” papar Arie.

Tentu saja, semua upaya itu tak akan serta merta menghadirkan wisatawan, apalagi dari mancanegara. Butuh dukungan dan uluran tangan semua kalangan, termasuk Anda, untuk menjadikan Morotai dan destinasi wisata Indonesia benar-benar mendunia.

Nah, bagi Anda yang mau turun tangan, bagikan saja kisah-kisah perjalanan wisata Anda ke destinasi nasional, misalnya lewat media sosial. Jangan lupa memasang tanda pagar (tagar) atau hashtag #ceritadestinasi pada setiap unggahan cerita tersebut.

(Mikhael Gewati)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Untung Nakamura Tidak Harakiri di Morotai".

Baca Juga: Dijatuhi 165 Bom Raksasa Selama Perang Dunia II, Masih Ada 10 Bom Tertanam di Bawah Tanah Pompeii yang Kini Lokasi Wisata

Artikel Terkait