"Yang seharusnya bertanggung jawab mengusulkan garam ke dalam kebutuhan pokok dan barang penting ini adalah adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perdagangan, dengan pertimbangan dari Kementerian Perindustrian dan BPS," terang Agung, Jumat (12/7/2019).
Menurut Agung, dengan dikeluarkannya garam dari barang kebutuhan pokok dan barang penting, tidak berpengaruh besar terhadap inflasi.
Akan tetapi hal tersebut justru mengganggu industri dan garam petani menjadi tak terserap.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, harga garam yang anjlok di pasaran karena faktor impor garam yang berlebihan.
Dengan melimpahnya stok garam dalam negeri, mengakibatkan garam yang diproduksi petani lokal harganya anjlok.
“Persoalan harga jatuh adalah impor terlalu banyak dan bocor. Titik. Itu persoalannya,” ujar Susi di kantornya, Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Menurut Susi, jika garam impor yang masuk ke dalam negeri di bawah 3 juta ton, maka harga garam di tingkat petambak tidak akan anjlok seperti saat ini.
“Kalau diatur impornya di bawah 3 juta ton kayak tempo hari kan harga di petani masih bisa Rp 2.000, Rp 1.500. Persoalannya impor terlalu banyak dan itu bocor,” kata Susi.
SUMBER: KOMPAS.com (Farida Farhan, Tresno Setiadi, Sakina Rakhma Diah Setiawan, Akhdi Martin Pratama, Sigiranus Marutho Bere)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Asinnya Industri Garam di Negeri Ini, Harga Terjun Bebas hingga Impor Terlalu Banyak".
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ade S |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR