Advertorial

Cerita Unik Suku Boti dari Pedalaman NTT: Pencuri Tak Pernah Dihukum Tapi Justru Dimodali agar Tak Mencuri Lagi

Ade S

Editor

Di sebuah desa di Nusa Tenggara Timur ini, pencuri tak pernah mendapatkan hukuman. M mereka malah diberikan modal agar berhenti mencuri.
Di sebuah desa di Nusa Tenggara Timur ini, pencuri tak pernah mendapatkan hukuman. M mereka malah diberikan modal agar berhenti mencuri.

Intisari-Online.com -Apa yang terjadi jika seorang pencuri tertangkap tangan? Kemungkinan terbesarnya adalah dihakimi masa sampai babak belur atau yang paling 'aman' dibawa ke kantor Polisi.

Namun, khusus di sebuah desa di Nusa Tenggara Timur ini, pencuri tak pernah mendapatkan hukuman.

Bahkan mereka malah diberikan modal dengan harapan dia tidak akan mencuri lagi di lain waktu.

Berikut ini kisahnya seperti dilansir daritribunnews.com:

Baca Juga: Rekaman Langka Perlihatkan Suku Awa, Salah Satu Suku Indian Asli di Hutan Hujan Amazon yang Keberadaannya Terancam

Ketika ditanya nama Boti, warga Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) biasanya langsung mengernyitkan dahi.

Mereka lantas menyebut, Boti adalah kawasan terpelosok nan terisolir di Pulau Timor.

Namun dari Boti juga, sangat masyhur Raja Boti yang terkenal penuh kewibawaan.

Sebagian besar warga Kupang maupun warga di Kabupaten lain di Pulau Timor, tahu tentang Boti.

Baca Juga: Berusia Lebih dari 2.000 Tahun, Begini Praktik Menggantungkan Peti Mati di Tebing oleh Suku Igorot

Boti adalah nama suku keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu.

Wilayah Boti terletak sekitar 40 km dari kota kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), So’e. Secara administratif kini menjadi Desa Boti, Kecamatan Kie.

Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, Desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman.

Suku ini memiliki bahasa Dawan sebagai bahasa daerahnya.

Baca Juga: Kisah Bengis Suku Pemburu Kepala di Kalimantan, Jadikan Kepala Sebagai Mas Kawin

Berbukit

Akhir pekan lalu, Tribunnews berkesempatan mendatangi kawasan Boti hingga bertemu Raja Boti,Nama Benu.

Untuk mencapai Desa Boti, dibutuhkan perjalanan yang cukup melelahkan. Total waktu empat jam dari Kota Kupang untuk mencapai Desa Boti.

Tiga jam ditempuh dengan mobil dan 1 jam menumpang ojek.

Desa terluar untuk menuju Boti yakni Desa Oeleu Utara, Di Oeleu Utara itu mobil terpaksa diparkir lantas berganti Ojek sepeda motor.

Jalanan menuju Desa Boti berbukit selebar empat meter. Jalanan hanya tanah berdebu yang sebagian dilapisi batu putih.

Sepanjang perjalanan yang dilintasi adalah hutan. Tanaman paling dominan yakni kayu putih. Sisanya tanaman perdu dan tanaman-tanaman liar dan perdu.

Terkadang masih terlihat babi hutan di hutan. Rumah warga yang terlihat, sebagian masih rumah tradisional yakni rumah bulat yang bentuknya bulat tertutup seluruhnya oleh ilalang yang ditempel di seluruh bagian dinding hingga atap rumah.

Baca Juga: Seorang Wanita Pembuat Film Dipuji Karena Aksi Beraninya Menghentikan Pembunuhan dalam Konflik Suku di Kongo

Sungai Putih

Semakin mendekati Desa Boti, jalanan semakin kecil dan hutan makin lebat. Jalanan sekitar 3 dan 2 meter. Bahkan di beberapa titik, jalanan hanya 50 cm, cukup untuk dilintasi ban sepeda motor dan pengendara.

Untuk mencapai Desa Boti bagian atas, sepeda motor wajib menyeberangi Sungai Putih yang lebarnya sekitar 100 meter.

Akhir pekan lalu Sungai Putih sedang kering. Makanya sepeda motor bisa turun ke sungai dan justru melintas membelah sungai.

Dasar sungai yang terlihat hanya batu ukuran kecil hingga besar. Hampir semuanya berwarna putih. "Makanya disebut sungai putih," ujar Ansel, warga Boti yang mengantar Tribunnews.

Kepala Sekolah SD GMIT di Boti, Mikel Selan yang berada di paling tinggi mengatakan, jika air sungai Putih sedang tinggi, maka kawasan Boti menjadi terisolasi.

"Saya tinggal di Boti. Sebelumnya saya mengajar di SDN Nuntio. Setiap hari harus menyeberang sungai Putih. Tapi kalau sedang air tinggi, kita tidak bisa pergi. Terpaksa menunggu sungai surut baru bisa pergi," jelas Mikel

Setelah menyusuri Sungai Putih sejauh 500 meter, kendaran sepeda motor terus naik ke perbukitan mengarah SD GMIT Boti.

Jalanan semakin sepi dan mengecil. Lebar jalan hanya sekitar 2 meter, itu pun berupa tanah dan selebihnya membelah hutan.

Terkadang terlihat lagi rumah warga yang sebagian masih berupa rumah Bulat atau rumah adat asli Timor yang berbahan kayu dan tertutup rapat ilalang dari atas hingga bawah.

Dari Sungai Putih menuju SD GMIT Boti yang berada di kawasan paling tinggi, dibutuhkan waktu sekitar 20 menit.

Terkadang penumpang sepeda motor harus turun lantaran jalanan menanjak tajam serta kondisinya hancur serta sempit.

Baca Juga: Ibu Hamil dan Anak-anak Jadi Korban Pembantaian Suku di Papua Nugini, Tubuh Terpotong-potong, Rumah pun Terbakar

Rumah Raja

Tribunnews bersama rombongan 1000 Guru dan KFC berkesempatan berkunjung ke Rumah Raja Boti. Rumah Raja Boti jika dari Oeleu Utara, belum sampai ke Sungai Putih. Sehingga tidak perlu menyeberang sungai.

Sebelum memasuki rumah raja, terpasang gerbang pintu ala kadarnya. Di atasnya tertulis desa Boti.

Halaman luas terhampar di kawasan komplek rumah raja. Terdapat pohon Kayu Putih berukuran besar dengan daun meranggas.

Berkat izin Raja, seluruh tamu dipersilakan masuk ke kawasan Rumah Raja. Tak seperti rumah warga biasa, jalan menuju Rumah Raja dibuat berundak menurun dengan susunan batu yang rapi.

Kanan kiri dipasang pagar dan tanaman. Di sekitar pagar, terdapat beberapa rumah besar.

"Itu rumah untuk kerabat Raja. Kalau ada tamu mau menginap, bisa menginap di rumah untuk tamu," jelas Yabes, warga Kupang yang ikut mengantar ke Boti.

Tak seperti kawasan Boti lainnya, rumah Raja terbilang sejuk. Pohonan besar merindangi rumah beratap daun ilalang tersebut.

Memasuki teras Rumah Raja, lantai terpasang keramik. Kursi-kursi tersusun di teras. Biasanya Raja menerima tamu di teras rumah yang cukup sejuk.

Dua kursi besar untuk Raja dan calon penerusnya diletakkan di teras.

Saat Tribunnews datang, Raja mengenakan baju warna cokelat dan kain yang menutupi celana selutut warna cokelat.

Tatapan matanya teduh dan berbicaranya tenang.

Raja Boti selalu tersenyum saat menyalami tamu yang jumlah belasan orang.

Ketika ditanya siapa penerusnya, Raja Boti menunjuk anak lelaki kecil berusia sekitar 4 tahun yang duduk di sampingnya. "Dia penerus saya," ujar Boti yang kini berusia 47 tahun.

Raja Boti yang berambut panjang namun di konde itu juga mengaku belum menikah. Para tamu yang datang dilayani dengan baik oleh adik-adik kandung Raja yang menyiapkan makanan dan minuman teh untuk tamu.

Setiap tamu yang datang juga dijamu sirih dan kapur. Namun tamu yang tak berkenan makan sirih, tetap dihargai Raja.

"Raja baru mengizinkan kita berfoto setelah kita minum teh habis, Ayo habiskan tehnya agar bisa berfoto dengan raja," pinta Yabes.

Baca Juga: Tradisi Suku Kreung, Ketika Ayah Buatkan ‘Gubuk Cinta’ Agar Anak Gadisnya Berhubungan Intim dengan Pria Berbeda Tiap Malam

Tak Ada Pencuri

Kepada Tribunnews, Ansel menjelaskan bahwa di Boti tak ada pencuri. Hewan ternak yang tak diberi kandang pun tak pernah ada yang mencuri.

"Tak hanya sapi, kambing, kendaraan milik warga di jalanan pun tak ada yang mencuri," jelas Ansel.

Saat bertemu Raja Boti, Tribunnews menanyakan perihal pencuri di Boti. Dengan bahasa Dawan, Raja Boti, membenarkan bahwa di Boti tidak ada pencuri.

"Kalau ada yang mencuri kambing, kita beri mereka kambing agar sama dengan warga lain," jelas Raja Boti dengan nada tenang penuh wibawa.

Sedangkan jika ada warga yang mencuri hasil kebun, maka pencuri tersebut diberikan tanah agar bisa berkebun dan memiliki hasil sendiri.

"Kita berikan tanah agar bisa berkebun sendiri," ujar Raja Boti yang memiliki rambut panjang di konde ini.

Raja Boti juga melarang warga berburu burung di perkampungan. "Kalau berburu hewan atau burung, kami di hutan. Kalau berburu di kampung, hewan akan punah," jelas Ansel.

Untuk mengajarkan nilai kebaikan tersebut, Raja Boti setiap tanggal 9 membuat pertemuan dengan rakyatnya. Di pertemuan itulah Raja menyampaikan pesan dan arahan agar masyarakat berbuat baik, bercocok tanam, serta membuat kerajinan.

Hasilnya, di kawasan Rumah Raja dibangun satu rumah untuk menjual hasil kerajinan warga Boti. Ada gelang dari kuningan, perunggu hingga gelang dari akar tanaman di Boti serta souvenir lain.

Baca Juga: Terkenal dengan Peradabannya yang 'Modern', Ini 7 Tradisi Aneh Suku Maya, Salah Satunya Mabuk-mabukan dari Anus

Bertani

Kepala Sekolah SD GMIT Boti, Mikel Selan menjelaskan, hampir seluruh warga Boti berprofesi sebagai petani. Mereka menanam Jagung, ubi dan kacang.

Karena hujan hanya paling lama 3-4 bulan, petani hanya bisa menanam jagung sekali dalam setahun.

"Makanan pokok di Boti yaitu Bose (nasi jagung)," jelas Mikel Selan.

Untuk mencukupi kebutuhan air bersih, setiap musim kemarau seperti sekarang, warga harus berjalan kaki sekitar 2 kilometer menuju mata air. Atau sebagian mengambil air dari aliran sungai Putih yang masih mengalir kecil.

Untuk menambah penghasilan, warga memelihara sapi dan babi. Agar sapi dan hewan peliharaan tidak kabur ke hutan, di ujung kampung biasanya dipasang pagar mirip gerbang dan diberi pintu.

"Kalau kita lewat, buka dulu pintu lalu tutup lagi. Agar hewan tidak keluar atau hewan liar tidak masu ke kampung," jelas Ansel.

Selain bertani dan berkebun, para laki-laki di Boti juga berburu hewan di hutan. "Di hutan banyak babi hutan. Kita berburu babi untuk dimakan," jelas Ansel, Warga Boti yang baru tahun ini tamat SMA.

Sedangkan aktifitas perempuan Boti yakni mengurus anak dan membersihkan rumah. Mereka juga membuat kain tenun khas Timor.

(Yulis Sulistyawan)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mengintip Kehidupan Suku Boti: Pencuri Malah Dimodali Raja agar Tak Mencuri Lagi.

Baca Juga: Disambut Busur Panah, Ini Kisah Wanita Pertama yang Melakukan Kontak dengan Suku Sentinel yang Terkenal Sadis

Artikel Terkait