Dijelaskan dalam artikel Wall Street Journal, 2 Oktober 2012; hampir semua orang menampilkan citera yang melebihi diri asli di Facebook.
Ketika mendapat tanggapan positif, misalnya dalam bentuk “like”, ego kita pun naik dan kontrol diri menurun.
Wilcox mengatakan, anggap itu seperti efek perizinan: Anda merasa senang dengan diri Anda sendiri sehingga merasa memiliki hak.
Lantas untuk melindungi pandangan yang meningkat itu, beberapa orang kemudian membalas dengan keras terhadap orang-orang yang tidak sependapat.
2. Aksesibilitas
Selain kontrol diri yang rendah, aksesibilitas media sosial dari mana saja dan kapan saja juga membuat kita rentan mengunggah hal-hal yang tidak bijak hanya karena emosi sesaat, ujar Craig Blewett, dosen senior edukasi dan teknologi di University of KwaZulu-Natal Dalam artikelnya di The Conversation, 11 Januari 2017, Blewett menulis bahwa pada zaman pre-teknologi, seseorang yang ingin meluapkan kemarahannya harus mencari alamat koran lokalnya, menulis surat dan mengirimkannya.
Dalam jeda waktu tersebut, bisa jadi kemarahannya memudar. Hal ini jelas tidak sama dengan media sosial yang bersifat instan.
“Teknologi baru dengan aksesnya di mana-mana telah mengubah kita, sebagian besar tanpa kita sadari, dari konsumen konten pasif menjadi produser konten aktif.”
“Banyak orang secara siap berasimilasi dengan manfaat akses permanen ke sebuah platform publikasi, tetapi tidak cukup cepat untuk menyadari tanggung jawab yang menyertai peran sebagai penerbit konten,” tulisnya.
3. Tidak ada reaksi dari orang lain
Blewett juga berkata bahwa di dunia nyata, keberadaan fisik orang lain sering kali menjadi pembatas akan apa yang ingin kita katakan.
Nah, ketika hanya berhadapan dengan gadget, muncul ruang spasial antara pengunggah dan audiens yang membuat seseorang menjadi lebih berani untuk berekspresi.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR