Advertorial
Intisari-Online.com - Perfilman Selandia Baru yang begitu maju bukan cuma karena keindahan alamnya yang mendukung.
Industri kreatifnya serta lokakaryanya juga begitu unggul dan telah memenangkan berbagai penghargaan internasional.
Peter Jackson, sutradara film asal Selandia Baru yang menjelaskan serba-serbi lokasi syuting film trilogi The Lord of The Ring dan The Hobbit yang diadaptasi dari karya J.R.R. Tolkien itu dalam film dokumenternya.
Salah satunya, movie set yang indah rupanya dihancurkan setelah syuting berakhir.
Hobbiton yang menakjubkan
Namun, Hobbiton Movie Set dibiarkan permanen seperti sedia kala.
Cerita berdirinya Hobbiton Movie Set bermula ketika tim Peter Jackson mencari lokasi yang mirip dengan The Shire.
Jika kamu lupa, The Shire adalah daerah tempat tinggal makhluk berukuran kecil yang mirip manusia alias hobbit dalam cerita karangan Tolkien.
Mereka pun menemukan Alexander Farm, peternakan domba dan sapi, pada September 1998.
Hobbiton mulai didirikan pada Maret 1999.
Syuting LOTR pertama dilaksanakan pada Desember 1999.
Dengan luas sekitar 4,8 hektare, Hobbiton kini memiliki 44 rumah hobbit yang bisa dijadikan objek foto.
Nah, bagaimana rumah-rumah itu difilmkan dengan ciamik?
Teknik ilusi optik
Jonelle Lubbe, pemandu di Hobbiton, menjelaskan bahwa teknologi kala itu belum semaju sekarang.
Karena itulah teknik-teknik tradisional diterapkan dalam pengambilan gambar.
Trilogi LOTR yang rilis tahun 2001 sampai 2003 memakai teknik forced perspective.
Teknik itu menggunakan ilusi optik untuk membuat objek lebih besar atau kecil dari yang sebenarnya.
Para hobbit misalnya dibesarkan 90% agar terlihat lebih besar di kamera.
Gandalf, karakter penyihir di film, diperbesar sampai 60%.
Perbesaran juga berlaku untuk rumah hobbit.
Sebuah rumah berpintu kuning, misalnya, dibesarkan hingga 90%.
Trilogi The Hobbit pun mengandalkan teknologi komputer CGI dan tiga dimensi.
“Banyak aktor dulu punya lebih dari satu double,” ujar Jonelle tentang fungsi pemeran pengganti.
Banyak pemeran anak dilibatkan sebagai aktor pengganti.
Maklum, tinggi badan pemeran haruslah kurang dari 5 kaki 4 inci (sekitar 162,5 cm).
Sedangkan pemain seri The Hobbit wajib di bawah 5 kaki 2 inci (sekitar 157 cm).
Baca Juga: Masih Kerabat Hobbit Flores, Ditemukan Spesies Manusia Purba Filipina, Ini Ciri Keduanya
Properti detail hingga yang terkecil
Selama proses produksi film, aspek properti juga tak luput dari perhatian.
Salah satu “trik” departemen seni dari tim produksi film misalnya melumurkan cuka di kayu untuk membuat warna yang lebih gelap.
Hasilnya, movie set terlihat lebih tua.
Ada pula lubang hobbit milik pembuat roti, lengkap dengan roti palsu yang terpajang di meja.
Berbagai lubang hobbit itu juga berdiameter 1-2 m.
Jika pengunjung berjalan menanjak, lalu menurun mengitari bukit,akan tampak pohon palsu yang terbuat dari besi dan silikon.
Dua ratus ribuan daun plastiknya didatangkan langsung dari Taiwan.
Setelah itu pohon dibuat dan disusun bagai puzzle di Wellington, Selandia Baru.
Beberapa hari sebelum pengambilan gambar, Peter Jackson, menginstruksikan pewarnaan ulang daun-daun itu karena ia belum puas.
Akhirnya, mesin derek pun digunakan untuk mengecat setiap helai daun dengan corak hijau yang berbeda.
Usai pohon terbentuk, pohon ditaruh di atas rumah Frodo Baggins, karakter hobbit di film.
Rumah Frodo terletak lebih tinggi dari banyak rumah lainnya. Itu mengartikan status Frodo sebagai hobbit yang lebih kaya.
Saat syuting, sekitar 30 orang kru kamera beserta peralatannya berada di dalam lubang hobbit Frodo.
Jonelle menambahkan, seseorang harus bekerja setidaknya 100 jam di suatu departemen untuk mendapatkan kredit di film ini. (Randy Mulyanto)
Artikel ini telah tayang di rubrik Langlang Majalah Intisari dengan judul "Dunia Kreatif di Negeri Para Hobbit"