Advertorial

Melihat Kembali Keputusan MK pada Sengketa Pilpres 2014: Dari Kecurangan yang Tak Terbukti Hingga Soal Nol Suara di Papua

Ade S

Editor

Mari kita simak hasil lengkap putusan MK pada 2014 yang menolak gugatan pasangan Prabowo-Hatta tersebut berikut ini.
Mari kita simak hasil lengkap putusan MK pada 2014 yang menolak gugatan pasangan Prabowo-Hatta tersebut berikut ini.

Intisari-Online.com -Sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan telah selesai pada Jumat (21/6/2019).

Untuk selanjutnya, para hakim MK akan mempelajari,melihat, meneliti alat-alat bukti serta dalil dan argumen yang telah disampaikan kedua belah pihak selama persidangan.

Jika melihat jadwal, maka seharusnya MK akan memberikan keputusan terkait sengketa Pilpres 2019 ini pada Jumat (28/6/2019).

"Pemeriksaan perkara ini telah selesai, yaitu perkara nomer 1/PHPU/17/2019 telah selesai."

Baca Juga: Belajar dari Pilpres 2014: Masyarakat Mandiri dan Rasional

"Dan kepada para pihak pemohon, termohon dan pihak terkait, Bawaslu, untuk agenda selanjutnya nanti akan diberitahu oleh kepaniteraan melalui surat, untuk pengucapan putusan," kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman saat menutup persidangan, Jumat malam, seperti dilansir INTISARI dari Kompas.com.

Sambil menunggu pengumuman keputusan MK dari hasil sidang sengketa Pilpres 2019, rasanya tak ada salahnya kita sejenak melihat kembali hasil sidang sengketa pada Pilpres 2014.

Sidang Sengketa Pilpres 2014 bisa dibilang hampir serupa dengan Sidang Sengketa Pilpres 2019.

Khususnya mengenai pihak penggugat yaitu dari pihak Calon Presiden Prabowo Subianto (yang pada 2014 berdampingan dengan Hatta Rajasa).

Tuduhan yang diajukan pun serupa, yaitu mengenai adanya kecurangan yang dilakukan oleh calon presiden lain yaitu Joko Widodo (yang pada 2014 berdampingan dengan Jusuf Kalla) juga mengenai nol suara yang diraih oleh capres Prabowo di sejumlah tempat (Papua pada 2014, Boyolali pada 2019).

Untuk lebih detailnya, mari kita simak hasil lengkap putusan MK pada 2014 yang menolak gugatan pasangan Prabowo-Hatta tersebut berikut ini.

Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya Permohonan Perselisihan Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Penolakan tersebut tercatat dalam amar putusan setebal 4.390 halaman.

Baca Juga: Belajar dari Pilpres 2014: Rakyat Tahu yang Kasar dan Curang

Butuh tiga kali skorsing dan sekitar tujuh jam bagi sembilan Majelis Hakim MK untuk membacakan 300 halaman secara bergantian dalam sidang yang berlangsung di ruang sidang Pleno, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2014).

Sidang pun berlangsung dari siang hingga malam hari.Secara garis besar, MK mengelompokkan penolakannya menjadi beberapa bagian. Ini penjabarannya:

1. Klaim Hitungan Kemenangan

Prabowo-Hatta meminta MK agar menetapkan mereka sebagai pemenang pilpres berdasarkan perhitungan suara yang mereka lakukan sendiri.

Pasangan nomor urut 1 itu mengklaim telah mendapatkan 67.139.153 suara sementara Joko Widodo-Jusuf Kalla hanya mendapatkan 66.435.124 suara.

Mereka menilai, hitung-hitungan Komisi Pemilihan Umum yang memenangkan pasangan Jokowi-JK tidak sah karena telah terjadi kecurangan yang terstruktur sistemais dan masif dalam pilpres.

KPU menetapkan Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 dan Jokowi-JK mendapatkan 70.997.833.

Namun, menurut Mahkamah, pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan rinci pada tingkat mana dan dimana terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang berakibat berkurangnya perolehan suara pemohon dan bertambahnya perolehan suara pihak terkait.

Bukti dan saksi dalam persidangan juga tak mampu menjelaskan hal itu.

"Justru sebaliknya keterangan saksi yang diajukan oleh termohon dan pihak terkait membuktikan bahwa tidak ada keberatan dari semua saksi pasangan calon dalam proses rekapitulasi mengenai perolehan suara," kata Hakim MK Muhammad Alim.

Baca Juga: Hasil Resmi Pilpres 2019: KPU Tetapkan Jokowi-Ma'ruf Menang Atas Prabowo Sandi

2. Penyusunan dan DPT

Prabowo-Hatta juga menuding KPU melakukan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif dengan pengabaian Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) sebagai sumber penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Pengabaian itu berujung manipulasi data DPT dan akhirnya berdampak sistemik hingga menimbulkan terjadinya kecurangan dalam proses pilpres yang menguntungkan Jokowi-JK.

Tetapi, berdasarkan bukti dan saksi ketiga pihak, Mahkamah menilai tidak dijelaskan secara detil mengenai pengabaian DP4.

Mahkamah juga berpendapat, penyusunan DPT merupakan proses panjang yang dilakukan KPU dengan tahapan yang sesuai peraturan.

"Maka apabila ada keberatan mengenai DPT, seperti penambahan dan modifikasi jumlah pemlih sebagimana didalilkan pemohon, seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan oleh penyelenggara dan peserta dalam kerangka waktu tersebut," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi.

3. Jumlah DPKTb Tinggi

Prabowo-Hatta juga mecurigai tingginya jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) adalah strategi mobilisasi massa untuk memenangkan Jokowi-JK.

Mereka menilai DPKTb tidak sah dan melanggar Undang-Undang. Namun, Mahkamah menilai, DPKTb sah dan justru dapat menyalurkan hak konstitusional warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT.

Mahkamah juga menilai saksi yang dihadirkan Prabowo-Hatta tidak bisa membuktikan tuduhannya mengenai mobilisasi massa.

Selain itu, Prabowo-Hatta juga tidak bisa menjamin siapa yang dipilih oleh pemilih yang terdaftar dalam DPKTb karena pemilu bersifat rahasia.

"Pemohon sama sekali tidak dapat membuktikan beprapa kepastian perolehan suara yang diperoleh pemohon jika hal tersebut (DPKTb) tidak terjadi," kata Hakim Aswanto.

Baca Juga: Hasil Resmi Pilpres 2019: KPU Tetapkan Jokowi-Ma'ruf Menang Atas Prabowo Sandi

4. Nol Suara di Papua

Prabowo-Hatta merasa telah dicurangi karena sama sekali tidak mendapatkan satu suara pun di 2152 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia.

Bahkan, kecurangan ini sempat dikeluhkan langsung oleh Prabowo dengan menyebut Indonesia layaknya negara totaliter, fasis, dan komunis saat berorasi dalam sidang perdana MK.

Namun, Mahkamah menilai raihan nol suara di sejumlah TPS bukan berarti terjadi kecurangan.

Pasalnya, dalam berbagai sengketa pemilu yang pernah ditangani MK, kerap terjadi salah satu pasangan calon mendapatkan suara nol.

Hal itu pada umumnya terjadi di daerah tertentu yang memiliki ikatan sosial kuat yang praktik pemilihannya dilakukan secara kesepakatan, seperti di Nias Selatan, Madura, Kalimantan, Bali, Maluku dan Maluku Utara.

"Perolehan suara nol tidak hanya untuk pemohon saja, akan tetapi pihak terkait di suatu TPS juga memperoleh nol suara," kata Hakim Wahidudin Adams.

5. Rekomendasi Bawaslu

Prabowo-Hatta mempermasalahkan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu yang tidak dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Mereka menilai, KPU telah dengan sengaja mengabaikan rekomendasi tersebut guna memenangkan pasangan Jokowi-JK.

Namun, MK juga tidak melihat hal ini sebagai suatu bentuk kecurangan, meskipun ada kesalahan prosedur dan administratif yang dilakukan.

Di DKI Jakarta misalnya, menurut Mahkamah Bawaslu tidak cermat dan tidak mengawasi pelaksanaan rekomendasi yang telah diberikannya sehingga KPU merasa telah menyelesaikannya dengan hanya melakukan kroscek.

"Sehingga oleh karena Bawaslu tidak mempersoalkan pelaksanaan rekomendasinya secara keseluruhan oleh termohon, menurut Mahkamah, Bawaslu harus dianggap telah menerima pelaksaan rekomedasi oleh termohon," ujar Hakim Maria Farida Indriarti.

Baca Juga: Debat Pilpres Pakai Bahasa Inggris: Ini Peringkat Orang Indonesia Terkait Kemampuan Bahasa Inggris

6. Rincian di daerah

Terakhir, MK juga merinci kecurangan yang terjadi di berbagai daerah seperti yang didalilkan Prabowo-Hatta. Pasangan yang diusung koalisi merah putih itu sebenarnya mendalilkan seluruh provinsi dalam berkas gugatannya, namun MK memilih lima daerah yang saksinya telah dihadirkan dalam persidangan.

Di Papua misalnya, Prabowo-Hatta menilai sistem noken atau ikat tidak sah menurut hukum. Namun Mahkamah berpendapat penggunaan Noken sah karena sesuai dengan putusan MK sebelumnya dan juga kerap digunakan dalam berbagai pilkada di sana.

"Mahkamah berpendapat pemungutan suara dengan sistem noken atau ikat adalah sah menurut hukum karena dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945," ujar Hakim MK Wahidudin Adams.

Di Jawa Tengah, Prabowo-Hatta menuding adanya keterlibatan Gubernur setempat yang juga kader PDI-P, Ganjar Pranowo karena yang bersangkutan mengirimkan surat instruksi kepada seluruh lurah.

Namun, dalam salinan surat tersebut, Ganjar hanya meminta lurah untuk bersikap netral dan tidak ada perintah untuk memihak Jokowi-JK.

"Dalam persidangan pemohon tidak bisa membuktikan baik dengan bukti saksi maupun bukti tilisan adanya tindak lanjut dan pengaruh surat Gubernur Jawa Tengah tersebut terhadap perolehan suara masing-masing calon," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi.

Di provinsi tersebut, Mahkamah juga menilai tudingan pemohon yang menyebut KPU menggunakan tinta yang mudah dihapus agar pemilih bisa mencoblos dua kali, tidak terbukti.

Mahkamah menilai, pemohon tidak pernah bisa menunjukkan tinta jenis tersebut di persidangan sehingga menganggap tinta semacam itu tidak pernah ada.

Baca Juga: Debat Pilpres Pakai Bahasa Inggris: Ini 10 Cara Gratis Tingkatkan Kemampuan Bahasa Inggris dan TOEFL

Amar Putusan

Sebelum membuat putusan, Mahkamah terlebih dulu membuat konklusi dari setiap pokok-pokok permohonan yang sudah ditolak.

Mahkamah menyimpulkan pokok permohonan yang diajukan Prabowo-Hatta tidak beralasan menurut hukum.

"Mengadili, menyatakan dalam pokok permohonan: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Hamdan Zoelva.

Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul ""Ini Penjabaran Lengkap Putusan MK Tolak Gugatan Prabowo-Hatta"".

Baca Juga: Mengenang Pemilu 2014: Ini Hasil Resmi Rekapitulasi Suara Pilpres 2014 di Setiap Provinsi

Artikel Terkait