Advertorial
Intisari-Online.com - Dalam mendidik anak, hukuman menjadi salah satu bagian dari pendisiplinan. Anak-anak terkadang menolak memperbaiki perilakunya kendati sudah diberi tahu berulang kali. Orang tua membentak, berteriak, mengancam, bahkan menampar, tapi hasilnya sia-sia. Hukuman bisa mengatasi semua itu.
Berbagai cara digunakan oleh orangtua untuk menghukum anak-anak mereka. Hukuman memang suatu konsekuensi negatif. Apabila digunakan secara tepat, hukuman bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku buruk.
Hanya saja, menggunakan hukuman secara benar itu sulit. Perlu konsistensi yang terus-menerus. Terlalu banyak hukuman itu tidak baik. Bisa menciptakan perasaan yang tidak menyenangkan. Ia bisa menyedot energi.
Kebanyaan orangtua percaya, menghukum perilaku buruk akan menghentikan anak dalam mengulangi perbuatannya. Kadang-kadang itu benar, tapi terkadang pula salah.
Berikut ada beberapa hal yang perlu orangtua perhatikan perihal hukuman, yang disarikan dari buku Kiat Sukses Mendidik Anak terbitan Intisari.
Hukuman yang baik adalah yang jarang digunakan
Hukuman apa pun yang digunakan terlalu sering tidak akan berjalan baik. Perilaku buruk pun takkan menjadi lebih baik. Hukuman yang sesungguhnya adalah yang jarang digunakan karena jarang dibutuhkan.
Ini aturan utama dari hukuman. Hukuman harus mengurangi kebutuhan akan hukuman yang lebih banyak. Kalau perilaku buruk tak berubah juga, maka hukuman tersebut tidak mempan.
Banyak orangtua melakukan kesalahan karena lebih memfokuskan pada hukuman ketimbang perilaku buruk. Jika Anda menghukum anak Anda lima sampai enam kali sehari untuk perilaku buruk yang sama, itu berarti sebetulnya hukuman tidak berjalan. Jika Anda terus menambah hukuman dan perilaku buruknya berlanjut, hukuman tersebut tidak efektif.
Bukan hukumannya yang penting, tapi perilaku buruknya. Hukuman harus bisa mengubah perilaku buruk. Kalau tidak bisa, ganti dengan hukuman yang lain. Anda mungkin beranggapan bahwa membentak, mengancam, memaki, dan menampar adalah hukuman yang baik. Itu hanyalah reaksi dalam melepas kemarahan Anda. Itu bukan hukuman yang baik.
Amarah dan hukuman tak dapat dicampuradukkan.
Baca Juga: Terkenal Sangat Disipilin, Ternyata Seperti Inilah Cara Orang Jepang Mendidik Anaknya
Jangan menghukum di saat Anda marah
Tampaknya memang tidak realistis tapi itulah yang benar. Ketika Anda memberi hukuman dalam suasana marah, sebenarnya Anda melakukan dua hal pada saat yang bersamaan. Anda menghukum. Anda bereaksi dengan marah.
Bagaimana jadinya kalau anak Anda temyata bermaksud membuat marah Anda? Bagaimana jadinya kalau anak Anda ingin impas atau membalas gara-gara persoalan yang terjadi sebelumnya? Melihat Anda marah itu bukan hukuman. Itu ganjaran!
Bila Anda marah pada suatu perilaku buruk, Anda mengajarkan pada anak bagaimana mengendalikan emosi Anda. Anda memberi kekuasaan pada si anak. Terbayar sudah kemauan anak. Perilaku buruknya yang semakin diperkuat, bukan hukumannya. Alhasil, perilaku buruk pun meningkat. Efek hukuman disangkal oleh ganjaran yang berupa kemarahan Anda itu. Anak-anak merasa senang dengan itu karena mereka berhasil memperoleh keinginannya.
Satu-satunya jalan untuk mematahkan siklus pembalasan tersebut adalah tidak menjatuhkan hukuman yang disertai amarah. Kalau Anda sadar akan marah, pergi saja. Hilangkan dulu amarah itu, kemudian baru hadapi perilaku buruk si anak. Jangan biarkan anak berhasil memprovokasi Anda.
Jangan menghukum ketika Anda marah. Redakan dulu. Tujuan hukuman adalah mengajari anak Anda berperilaku lebih baik di kemudian hari. Tujuannya bukan untuk impas. Kadang-kadang anak bisa membuat Anda hilang kesabaran, dan saat itu bukanlah waktu untuk menjatuhkan hukuman.
Terkadang orang tua bereaksi secara berlebihan. Saya ingat seorang ibu yang tidak memberi makan putranya selama lima jam ketika dia menghilangkan sweater-nya di sekolah. Ketika Anda bereaksi berlebihan karena marah, perkataan Anda bisa jadi tidak masuk akal. Anda tidak bisa membiarkan anak kelaparan selama beberapa jam. Jadi, jangan hukum anak Anda ketika Anda sedang marah. Kalau marah, Anda mengajarkan kepada anak-anak bahwa hukuman merupakan bentuk pembalasan.
Tujuan memberi hukuman adalah mengubah perilaku buruk dan mengajarkan kepada anak untuk dapat mengambil keputusan yang lebih baik. Hukuman akan sangat efektif bila ditetapkan sebelumnya dan direncanakan. Hukuman tidak akan berjalan baik bila itu berupa reaksi impulsif. Saat Anda marah dan menghukum, Anda bertindak sebagai contoh bagi perilaku negatif. Anda tidak mengajari anak-anak untuk membuat keputusan yang lebih baik.
Baca Juga: Perilaku Anak Jahat? Begini Cara Menolongnya Agar Berperilaku Lebih Baik
Jangan menghukum untuk mempermalukan
Hukuman seharusnya tidak mempermalukan, menghina, atau merendahkan anak. Hukuman dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa berperilaku buruk itu salah.
Kalau hukuman itu sampai mempermalukan anak Anda, di dalam dirinya akan timbul perasaan yang tidak sehat. Tindakan mempermalukan hanya akan menyebabkan si anak menilai Anda jahat dan tidak adil. Dia tidak belajar tentang kerja sama. Anak Anda mungkin akan menyerang balik dengan kemarahan. Ini bisa mengawali terjadinya siklus negatif.
Jangan menghukum anak Anda di hadapan anak-anak lainnya. Ajak dia menjauh. Beri tahu dia mengenai apa yang telah diperbuatnya dan nanti dia akan dihukum karenanya. Bicarakan masalah tersebut nanti, ketika Anda berdua sudah sendirian.
Baca Juga: Hanya 2 Hal Inilah yang Dibutuhkan untuk Mendidik Anak Menjadi Remaja yang Berbahagia, Apa Itu?
Konsistenlah
Hukuman harus dilaksanakan secara konsisten. Ketika Anda memutuskan untuk menghukum perilaku buruk, lakukan selalu. Kalau Anda menghukum hanya ketika Anda menyukainya, Anda justru akan menjadikan permasalahan kian memburuk. Kalau Anda sudah mengatakan kepada anak Anda bahwa dia akan dihukum, benar-benar lakukanlah.
Anda harus menggunakan hukuman secara konsisten, meskipun Anda dalam kondisi yang kurang menyenangkan. Jangan biarkan sedikit pun perilaku buruk terjadi. Banyak orangtua membiarkan hal tersebut terjadi pada saat-saat tertentu. Anak-anak menyukainya. Ini akan memotivasi mereka menguji Anda - untuk menjajaki apakah Anda akan menghukum mereka.
Ibu-ibu sering mengeluh karena anak-anaknya tak mau menggubris apa yang dikatakannya. "Saya sudah mencoba semuanya. Tapi tampaknya tak berhasil."
Setelah diselidiki, alasannya menjadi jelas. Kebanyakan ibu menghukum secara tidak konsisten ketika anak-anak berperilaku buruk. Kadang-kadang mereka menghukum perilaku buruk, tapi di saat lain mereka membiarkannya karena menganggap tidak ada hasilnya.
Anak-anak melanjutkan perilaku buruknya karena mereka sering berhasil melakukannya.
Gunakan hukuman yang mudah dilaksanakan
Pilihlah hukuman yang dapat Anda laksanakan dengan mudah. Jika hukuman itu merepotkan dan melelahkan, Anda akan menjadi kurang konsisten. Seorang ayah akan menyimpan video game selama tiga jam kalau anaknya tidak patuh.
"Seberapa sering Anda menyimpan game tersebut?"
"Sekali atau dua kali dalam seminggu."
"Apakah anak Anda mematuhinya di kemudian hari?"
"Kalau dia mematuhi, saya tak akan mengeluh."
"Kenapa Anda tidak menyimpan saja game itu setiap kali dia tidak patuh?"
"Kalau saya harus menyimpan game tersebut setiap kali dia tidak patuh, saya akan menyimpannya sampai sepuluh kali sehari."
"Kenapa tidak Anda lakukan?"
"Saya akan terus-menerus repot dengan kabel dan colokannya juga."
Ayah tersebut menggunakan hukuman yang merepotkan. Makanya, dia tidak bisa melaksanakan hukuman secara konsisten. Putranya menjadi tidak belajar untuk patuh. Anak itu akan belajar bahwa dia bisa tidak patuh sesering mungkin sesuai keinginannya dan hanya kehilangan waktu bermain game sekali atau dua kali dalam seminggu.
Sang ayah perlu lebih konsisten. Jika kabel video game tersebut menjadikan hukuman tidak bisa terlaksana, ayah butuh cara yang lebih efektif untuk melaksanakan hukuman.
Baca Juga: Anak Anda Bandel? Coba 5 Langkah Ini Untuk Mengendalikan Mereka
Jelaskan hukumannya
Beri tahu anak Anda mengenai tujuan hukuman itu. Ketika Anda menjelaskan hukuman, Anda meningkatkan pemahaman dan kerja sama dari si anak. Jelaskan bahwa Anda bukanlah musuh. Anda berusaha membantunya untuk memperbaiki perilakunya yang salah.
Jelaskan pula bahwa Anda tidak melakukan pembalasan. Mungkin Anda akan menghadapi komentar yang menjengkelkan. Jelaskan sekali saja. Jangan terjebak dalam penjelasan dan perdebatan yang bertele-tele.
Baca Juga: Jangan Pernah Pukul Bokong Anak Sekalipun Sedang Marah, Bisa Berefek Buruk!
Lebih besar tidak selalu lebih baik
Hukuman yang lunak biasanya lebih produktif daripada hukuman yang keras. Pertahankan segala sesuatunya dalam perspektif dan bereaksilah secara tepat terhadap besar-kecilnya perilaku buruk.
Jangan menggunakan "meriam" bila hanya untuk "membunuh nyamuk" semisal menyuruh anak Anda menggantungkan handuk di tempatnya. Jangan larang anak Anda menonton acara TV favoritnya selama sebulan hanya karena dia tidak menyelesaikan makannya, atau lupa menelepon Anda sebagaimana telah Anda suruh.
Pilih hukuman yang sepadan dengan perbuatannya. Gunakan konsekuensi sesuai realitas. Anak yang membuat barang-barang berserakan, dialah yang akan membenahinya. Anak yang pulangnya terlambat tidak boleh keluar di hari berikutnya. Anak yang lebih suka menonton TV ketimbang mengerjakan PR akan berangkat sekolah tanpa mengerjakannya, dan itu menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan konsekuensi yang relevan terhadap perilaku buruk. Semua itu akan bermakna bagi anak-anak Anda, dan membantu memberi mereka pelajaran. Ada anak-anak yang bisa dipercaya untuk memilih hukumannya. Ini membantu mereka belajar lebih cepat. Ini juga mendorong mereka untuk lebih dewasa dan bertanggung jawab.
"Perilakumu sangat bagus sebelum peristiwa ini. Aku akan mempercayakan padamu untuk memilih sendiri hukumanmu atas perilaku buruk ini. Beri tahu aku apa yang kamu putuskan."
Hukuman berat sering menimbulkan rasa marah atau pembalasan. Yang kecil, sederhana, dan berjangka pendek biasanya lebih efektif. Bila anak Anda marah, hanya sedikit yang ia pelajari. Jika anak merasa Anda tidak adil dalam menerapkan hukuman, dia akan cenderung membalas dendam atau mendebat. Ini akan memicu siklus negatif.
Anda menghukum, anak marah dan membalasnya dengan berperilaku buruk lagi, mungkin lebih buruk dari sebelumnya. Anda hukum lagi, mungkin dengan lebih keras, untuk menegaskan maksud Anda. Anak menjadi semakin marah dan membalasnya dengan berperilaku buruk lagi.
Bagaimana?