Advertorial
Intisari-Online.com – Akun Instagram @makassar_iinfo mengunggah sebuah foto pada hari Rabu (12/6/2019).
Dalam foto yang mereka unggah, terlihat bahwa ada sepasang pria dan wanita yang mengenakan baju Bodo, baju khas Suku Bugis yang biasanya digunakan saat pernikahan.
Dari foto dan caption, diperoleh info bahwa yang menikah tersebut adalah seorang kakek berusia 50 tahun dengan seorang perempuan yang masih bersekolah dibangku SMP.
Lokasi kejadian di Sidrap, Sulawesi Selatan.
Hanya saja, tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai identitas kedua mempelai.
Jika pun benar, maka yang menjadi fokus dalam berita ini adalah pernikahan di bawah umur (pernikahan dini) yang dilakukan oleh si mempelawai wanita.
Karena bagaimana pun juga, usianya belum diperbolehkan untuk menikah.
Sering terjadi
Pernikahan di bawah umur masih saja terjadi. Ada sejumlah alasan yang melatari. Paling banyak karena alasan ekonomi dan keluar dari kemiskinan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia.
Sementara, sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.
Jika diakumulasi, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak.
Tiga provinsi yang memiliki persentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia anak.
Dampak bagi anak perempuan
Anak perempuan akan mengalami sejumlah hal dari pernikahan di usia dini.
Pertama, tercurinya hak seorang anak.
Hak-hak itu antara lain hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua.
Berkaitan dengan hilangnya hak kesehatan, seorang anak yang menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur.
Hal ini karena organ reproduksi menyebabkan pelaku pernikahan di bawah umur memiliki rata-rata 10-14 tahun 5 kali lebih besar mengalami kematian saat melahirkan.
Pada remaja usia 15-20 tahun, risikonya 2 kali lipat.
Selain itu, belum matangnya organ reproduksi menyebabkan wanita yang menikah di usia muda berisiko terhadap berbagai penyakit mengerikan.
Seperti kanker serviks, kanker payudara, mioma dan kanker rahim.
Hamil di usia sangat muda dapat meningkatkan risiko kesehatan pada wanita dan bayinya.
Hal ini karena sebenarnya tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan.
Dampak bagi anak-anak hasil pernikahan di bawah umur
Beberapa risiko juga mengancam anak-anak yang nantinya lahir dari hubungan kedua orangtuanya yang menikah di bawah umur.
Belum matangnya usia sang ibu, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak.
Misalnya, angka risiko kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.
Dampak di masyarakat
Sementara, dampak pernikahan dini juga akan terjadi di masyarakat, di antaranya langgengnya garis kemiskinan.
Hal itu terjadi karena pernikahan dini biasanya tidak dibarengi dengan tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial.
Hal itu juga akan berpengaruh besar terhadap cara didik orangtua yang belum matang secara usia kepada anak-anaknya.
Pada akhirnya, berbuntut siklus kemiskinan yang berkelanjutan. (Luthfia Ayu Azanella)
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Ini Akibat yang Terjadi dari Pernikahan Dini...")