Advertorial

Kisah Kopassus dan Mbah Suro, Sang Dukun Kebal Senjata Gunung Kendheng yang Jadi Tunggangan PKI

Nieko Octavi Septiana
Mentari DP

Tim Redaksi

Dalam menumpas PKI, Kopassus berhadapan dengan dukun kebal senjata, Mbah Suro. Terpaksa Kopassus gunakan cara kekerasan.
Dalam menumpas PKI, Kopassus berhadapan dengan dukun kebal senjata, Mbah Suro. Terpaksa Kopassus gunakan cara kekerasan.

Intisari-Online.Com - Buntut dari pembunuhan sejumah jenderal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalahdilakukannya operasi penumpasanPKI secara besar-besaran.

Ketika itu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sempat menghadapi simpatisan PKI yang dikenal kebal senjata.

Berhadapan dengan orang-orangmembuat Kopassus menggunakan cara kekerasan.

Kisah ini dikutip dari buku "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto.

Baca Juga : Akun Youtube Warga Vietnam Diduga Putar Balikkan Fakta Insiden Penabrakkan Kapal di Laut Natuna Terkait Illegal Fishing

Berkobarnya tragediG30S/PKIyang menculik para jenderal pada 30 September 1965, memang berbuntut panjang.

Satu di antaranya adalah perburuan terhadap mereka yang dianggap sebagai anggota maupun simpatisan PKI.

Perburuan, dan penangkapan itu dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia yang diduga sebagai basis PKI.

Saat itu pada 1967, perburuan terhadap simpatisan dan anggota PKI dilakukan di kawasan yang terletak antara Cepu dan Ngawi. Tepatnya, di Desa Ninggil.

Baca Juga : 3 Calon Kuat Ibu Kota Baru Indonesia dan Fakta Kota Palangkaraya, Kota yang Diinginkan Bung Karno Jadi Ibu Kota Baru

Nama asli Mbah Suro adalah Mulyono Surodihadjo.

Mbah Suro merupakan seorang mantan lurah yang dibebastugaskan akibat kesalahannya sendiri.

Setelah lengser sebagai lurah, Mbah Suro membuka praktik sebagai dukun yang mengobati orang sakit.

Namun, belakangan beredar kabar kalau Mbah Suro juga dikenal sebagai dukun kebal, hingga ia disebut sebagai Mbah Suro atau Pendito Gunung Kendheng.

Baca Juga : Kucing, Burung, atau Reptil? Ternyata Hewan Peliharaan Bisa Gambarkan Kepribadian Pemiliknya, Lho

Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilannya.

Salah satunya adalah memelihara kumis tebal, dan rambut panjang.

Mbah Suro melakukan berbagai kegiatan yang berbau klenik, dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa.

Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya.

Banyak pengikutnya yang percaya, diri mereka telah menjadi kebal terhadap senjata tajam, dan senjata api.

Baca Juga : Inilah yang Terjadi pada Tubuh Setelah Konsumsi Bawang Putih Mentah Saat Perut Kosong

Pemerintah, khususnya pihak militer melihat Mbah Suro telah ditunggangi oleh PKI.

Menurut Hendro, penutupan itu terpaksa dilakukan melalui jalan kekerasan.

"Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu," tulis Hendro dalam bukunya.

Akhirnya, Kodam VII/ Diponegoro beserta satu Kompi RPKAD (SekarangKopassus) di bawah pimpinan Feisal Tanjung menyerbu padepokan Mbah Suro.

Baca Juga : Lakukan Facial 'Vampir' Ala Kim Kardashian untuk Tampil Cantik, Dua Orang Wanita Justru Terkena HIV

Mbah Suro pun berhasil ditaklukkan dalam penyerbuan itu.

Soeharto Gunakan 4 Tahap Sistematis untuk Menumpas GerakanG30S/PKI.

Peristiwa kekejamanG30S/PKImeninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia

Pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal yang merupakan perwira tertinggi TNI serta satu perwira berjabatan kapten.

Bahkan menteri atau Panglima AD Ahmad Yani tidak luput dari sasaran.

Baca Juga : Lakukan Facial 'Vampir' Ala Kim Kardashian untuk Tampil Cantik, Dua Orang Wanita Justru Terkena HIV

Saat itu, satuan TNI AD mengalami guncangan hebat akibat aksiG30S/PKI.

Para perwira TNI AD ingin melakukan tindakan akibat peristiwa kelam yang telah merenggut jenderal TNI tersebut.

Dikutip dari pernyataan Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966

Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.

Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.

Baca Juga : Pelajar Kelas 3 SMP Ditemukan Ibunya Gantung Diri di Pohon Asam

Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.

Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.

Hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad menyebabkan kekosongan di lingkungan Angkatan Darat, itu merupakan sesuatu hal yang amat berbahaya.

Soeharto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.

Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Soeharto berpikir cepat dan bertindak cepat.

Tindakan pertama, diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitar Medan Merdeka.

Baca Juga : Dengan Diet Sederhana, Pria Ini Turunkan Berat Badannya Hingga 49 Kilogram

Pada jam 16.00, Yon 530 Para (kecuali satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Soeharto.

Sayang, sisa pasukan Yon 454 Para terus disalahgunakan oleh "G30S" hingga mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim dan berhasil dicerai-beraikan disana oleh pasukan RPKAD.

Tahap kedua, Soeharto memerintahkan untuk menduduki kembali gedung Pusat Telekomunikasi dan RRI.

Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan catatan: sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah.

RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.

Tahap ketiga, pada jam 20.00 WIB Soeharto berbicara di radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.

Dengan tegas "G30S" disebut gerakan kontra-revolusioner.

Baca Juga : Hari Buruh 1 Mei: May Day atau Mayday? Perbedaannya Sangat Besar tapi Jarang Orang Tahu

Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran "G30S" sebelumnya adalah palsu.

Tahapan keempat, Soeharto mulai memberikan pukulan maut kepada komplotan "G30S"

Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para "Kudjang"/Siliwangi.

Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.

Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober 1965, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.

Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan "G30S" di ibukota.

Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi. (Iwe)

Artikel ini telah tayang diTribunjogja.comdengan judulKisah Kopassus dan Mbah Suro Dukun Kebal Senjata Gunung Kendhe

Artikel Terkait