Baca Juga : Berbanggalah, Indonesia Menempati Posisi 6 Negara Paling Indah Di Dunia!
Ternyata, perempuan murah senyum ini mulai berlatih menenun sebelum tamat Sekolah Dasar (SD) di Palue.
Ia diajar oleh mama kandungnya sendiri. "Sejak kecil, kalau tidak ke kebun, kami dilatih tenun sarung di rumah," katanya.
Prihatin dengan Generasi Milenial
Mama Tina mengaku prihatin dengan generasi sekarang atau milenial yang gagap menenun Tama Lu'a.
Para gadis Palue sekarang umumnya tidak bisa menenun.
Keterampilan menenun menjadi monopoli perempuan tua.
Padahal, tenun ikat memiliki nilai jual yang tinggi dan juga warisan nenek moyang.
Walaupun memiliki pendapatan yang menjanjikan, menenun Tama Lu'a bukanlah satu-satunya pekerjaan mama Tina.
Pekerjaan utama ibu dua orang anak ini adalah petani. Ia punya empat lahan kebun.
Di kebun, ia tanam jagung, kacang hijau, kacang panjang, kacang kayu, ubi kayu, dan jambu mente.
Sejak zaman nenek moyang, orang Palue tidak tanam padi.
Oleh karena itu, makanan pokok orang Palue bukanlah beras, melainkan jagung dan ubi.
"Beras jarang dimakan. Pagi kami makan ubi," katanya.
Pada saat Gunung Rokatenda mengamuk dan memuntahkan lahar panas pada 2013, Mama Tina merasa amat berat hati meninggalkan kampung halaman.
Di Palue, keluarga mama Tina adalah tuan tanah.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com oleh Nansianus Taris dengan judul "Melirik Kain Tenun Sikka Jenis "Tama Lu'a" di Bukit Sion"
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR