Intisari-Online.com - Waktu menunjukkan pukul 12.00, panas terik matahari semakin menyengat di bumi Bukit Sion, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (11/2/2019).
Akan tetapi, situasi ini tidak surutkan semangat mama Kristina Tia (56), menenun Tama Lu'a, kain tenun ikat Palue.
Gerakan tangannya lincah. Jemarinya yang mulai keriput menari-nari di atas alat tenun.
Perlahan tapi pasti, benang demi benang disulam.
Baca Juga : Inilah Alasan Anda Wajib Mencuci Organ Vital Setelah Berhubungan Intim
Mama Tina -- demikian ia biasa disapa -- berasal dari Kampung Cua, Desa Nitung Lea, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka.
Bersama dengan ratusan penduduk Palue lainnya, ia mengungsi ke Maumere pada tahun 2013 akibat letusan Gunung Rokatenda pada Agustus 2013.
Setelah beberapa waktu tinggal di Transito Maumere, ia pun tinggal dan menetap di Hewuli.
Hewuli merupakan lokasi yang disiapkan Pemerintah Kabupaten Sikka sebagai tempat tinggal para pengungsi dari Palue.
Di Hewuli, pemerintah membangun rumah semi permanen bagi kurang lebih ratusan kepala keluarga (KK) pengungsi dari Palue.
Hingga tahun 2019, sebagian KK masih menetap di Hewuli, sedangkan sebagian lainnya sudah pulang kampung ke Palue.
Mama Tina memilih pulang pergi antara rumah 01 di Palue dan rumah 02 di Hewuli.
"Di sini, saya tinggal bersama dengan anak saya. Ia sekolah di SMA Negeri 2 Maumere. Sekarang kelas 2," katanya.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR