Advertorial
Intisari-Online.com – Tanggal 20 November adalah Hari Anak-anak Sedunia.
Anak zaman sekarang mah, beda sama anak zaman dulu. Begitu kata orang.
Tapi ada satu hal yang tak berubah, anak selayaknya tetap dibesarkan dengan cinta kasih tanpa syarat dan penerimaan seutuhnya.
Simak tulisan Rahmi Fitria, bagaimana Mengasuh Anak dengan Cinta, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Extra Warna-warni Dunia Anak 2012 berikut ini.
Baca Juga : Kalah saat Berjudi, Wanita Ini Aniaya Bocah SD yang Mengasuh Anaknya Sendiri
Di sebuah mailing list, seorang ibu berkisah tentang pengalamannya membawa anaknya yang bernama Dika ke psikolog.
Gara-garanya, menurut pihak sekolah, Dika tercatat sebagai anak bermasalah, padahal anak itu ditempatkan dalam kelas unggulan khusus anak berprestasi.
Dika kerap terlihat murung dan melamun di kelas, prestasinya pun terus merosot.
Pemeriksaan psikologi membenarkan bahwa Dika memang anak cerdas.
Skor rata-rata kecerdasannya 147 alias amat cerdas. Namun kemampuan verbalnya “cuma” 115.
Karena nilai yang jomplang itu maka psikolog menyarankan agar Dika menjalani tes kepribadian.
Hasilnya sungguh mengejutkan sang ibu. Rupanya masalah bukan ada pada diri si anak, melainkan ibu dan ayahnya.
Pada salah satu pertanyaan yang berbunyi, “Aku ingin ibuku....” Dika menjawab, “Membiarkanku bermain sesuka hatiku sebentar saja.”
Dalam mailing list, sang ibu bercerita ia memang merasa perlu menjadwal aneka kegiatan yang bermanfaat demi kebaikan anaknya yakni kapan waktu menggambar, bermain puzzle, bermain basket, membaca buku cerita, main game dan sebagainya.
Baca Juga : Mengasuh Anak ala Kate Middleton, Ini 7 Aturan yang Harus Dipatuhi oleh Pangeran George dan Putri Charlotte
Menurutnya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang sedikit, karena sebagian besar dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus.
Sedangkan pada pertanyaan untuk sang ayah, “Aku ingin ayahku.…” Dika menjawab, “Melakukan apa saja seperti yang dia tuntut dariku.”
Rupanya Dika tidak mau diperintah untuk melakukan ini dan itu.
Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan seperti apa yang diperintahkan kepada dirinya.
Bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya, makan dan minum tanpa harus dilayani, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.
Masih ada sejumlah jawaban lain yang membuat sang ibu terhenyak, seperti “Aku ingin ayahku tidak menyalahkanku di depan orang lain, merasa paling benar dan paling hebat, mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku.”
Sementara untuk sang ibu, “Aku ingin ibuku memeluk dan menciumku setiap hari seperti dia memeluk dan mencium adikku.”
Apa yang dirasakan Dika bisa jadi merupakan gambaran jeritan hati banyak anak lainnya yang merasa tidak happy dengan pengasuhan orangtuanya.
Membesarkan anak memang bukan perkara gampang, semua serba otodidak, wong tidak ada sekolahnya.
Beruntung, belakangan mulai banyak buku-buku parenting yang bisa menjadi panduan bagi orangtua. Isinya kebanyakan mengadopsi pemikiran-pemikiran dalam ilmu psikologi.
Aturan itu mutlak
Dalam mendidik anak, aturan mutlak ada. Pola asuh permisif yang tanpa aturan, meski terlihat menyenangkan bagi anak, sesungguhnya malah menjerumuskan masa depannya.
Sebab lewat aturanlah anak dididik supaya kelak siap menghadapi kehidupannya yang mandiri.
Sedari kecil, anak harus diperkenalkan terhadap aturan.
Buatlah aturan yang konkret, komunikasikan secara jelas, lalu terapkan secara konsisten. Apabila anak tidak menjalankannya, tegur dan ingatkan.
“Misalnya anak lupa menaruh handuk sehabis mandi maka ingatkan saja, jangan lantas kita yang mengerjakannya,” ujar Handayani.
Baca Juga : Begini Cara Mengasuh Anak Agar Tetap Aktif
Kuncinya pada konsistensi.
Terkadang orangtua merasa kasihan pada si kecil sehingga sesekali ikut turun tangan mengerjakan.
“Kalau bolak-balik diingatkan, lama-lama anak akan terbiasa,” ujarnya lagi.
Menegakkan aturan tak akan lepas dari hukuman. Jika teguran berkali-kali tak juga mempan, orangtua bisa menghukum.
Untuk itu, menurut Handayani, orangtua tak perlu capek-capek tarik urat leher memarahi anak, mending kalau didengar.
“Anak kecil lebih mudah menangkap segala sesuatu yang sifatnya konkret, kalau dimarahi ia malah membentuk benteng sebagai pertahanan diri,” ujar Handayani.
Karena itu layaknya aturan, hukuman pun sebaiknya dibuat konkrit.
Misalnya dengan cara menarik atau membatasi kesukaan anak seperti mengurangi jatah waktunya nonton televisi atau bermain, tidak boleh ikut jalan-jalan ke mal atau menyuruhnya berdiam di pojok ruangan selama beberapa waktu.
Handayani tidak mengharamkan hukuman fisik, jika dirasa perlu, namun jangan sampai melukai atau meninggalkan bekas.
Misalnya pada anak yang suka memukul, lalu ibunya mengingatkannya dengan memberinya pukulan.
“Anak kecil itu gampang memukul kalau marah, seperti refleks saja. Jadi kita pukul dia untuk memberi tahu bahwa dipukul itu sakit loh, jadi jangan memukul,” kata Handayani.
Sesudah memberi hukuman, ajak anak bicara. Jelaskan apa perilakunya yang menyebabkan ia dihukum, misalnya lantaran ia mengamuk ketika tidak diperbolehkan membeli mainan.
Baca Juga : Haruskah Membayar Kerabat yang Mengasuh Anak Kita?
Jangan sampai anak salah persepsi sehingga ia mengira dihukum karena minta dibelikan mainan.
Jika anak salah tangkap, lain waktu ia jadi takut bicara.
Walhasil, anak menjadi tidak asertif untuk berani bicara dan mengungkapkan keinginannya.
Pada anak praremaja, hukuman sudah bisa diberikan dalam bentuk verbal. Namun jangan memarahi anak di depan orang, terlebih adik-adiknya, sebaiknya ajak anak bicara berdua saja.
Ketika orangtua mengungkapkan kemarahan, gunakan kalimat “I message” yang menunjukkan perasaan orangtua yang tidak nyaman akibat perilaku anaknya.
“Ibu merasa kecewa karena kamu tidak menepati janji untuk pulang tepat waktu,” ujar Handayani mencontohkan.
Sehingga pesan yang ditangkap anak adalah orangtua tidak menyukai perilakunya dan bukan membenci dirinya.
Baca Juga : Anak 10 Tahun Injak Kepala Bayi Hingga Tewas, Ayah si Bayi: Anak Itu Seorang Kriminal!