Intisari-Online.com - Pada tahun 1956 akibat kemelut ekonomi dan stabilitas politik yang masih labil mulai muncul rasa tidak puas di berbagai daerah seperti Sumatera dan Sulawesi.
Suara dari daerah itu umumnya mengeluhkan roda pembangunan yang hanya berpusat di Jawa dan belum bisa dirasakan di berbagai daerah khususnya wilayah Indonesia Tengah dan Timur.
Rasa tidak puas yang disampaikan ke pemerintah pusat di Jakarta itu karena dianggap tidak mendapat tanggapan yang memuaskan lalu mulai memunculkan opsi untuk mengambil alih pemerintahan setempat demi menggali potensi daerah secara maksimal.
Oleh pemerintah pusat, opsi itu jelas dipandang upaya untuk memisahkan diri karena tanda-tandanya sudah kelihatan.
(Baca juga: Dari Bertukar Istri Hingga Membunuh Anak, Inilah 10 Hal Mengerikan Dalam Kehidupan Seksual Orang Eskimo)
Di kawasan Sumatera mulai muncul sejumlah dewan yang dimotori oleh para tokoh sipil dan militer seperti Syafrudin Prawiranegara, Kolonel Dahlan Djambek, Soemitro Djojohadikoesoemo, Letkol Ahmad Hoesin (Dewan Banteng/Sumatera Tengah) , Kolonel Mahidin Simbolon (Dewan Gajah/Sumatera Utara), dan Letkol Barlian (Dewan Garuda/Sumatera Selatan).
Keputusan secara sepihak yang ditunjukkan sejumlah dewan dan dipelopori para petinggi militer Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dari sisi keamanan jelas merupakan ancaman sangat serius.
Akibat aksi pembangkangan yang dilakukan oleh PRRI, Pemerintah Pusat pada bulan Februari 1958 akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah itu melalui operasi militer gabungan secara besar-besaran.
APRI mulai menyusun operasi-operasi strategi tempur dengan mengerahkan semua kekuatan yang ada termasuk menerapkan strategi bagaimana harus menghadapi manuver operasi CIA dan militer AS.
Operasi-operasi tempur yang kemudian digelar antara lain Operasi Tegas, Operasi Sapta Marga, Operasi Sadar, dan Operasi 17 Agustus.
Operasi militer yang bertujuan melumpuhkan PRRI merupakan strategi serangan kilat dengan fokus utama mengamankan instalasi minyak milik AS yang berada di Riau.
Dari sisi strategi politis dan intelijen, keberhasilan mengamankan kilang minyak dan pekerja asing akan menutup kemungkinan adanya serangan dari militer AS yang sudah dalam kondisi siap siaga di perairan sekitar Singapura dan Philipina.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR