Advertorial

Kontrak Pembelian 11 Jet Tempur Su-35 Baru Disetujui, Bukti Rumitnya Proses Pengadaan Alutsista

Ade Sulaeman

Editor

Pemerintah pun seolah-olah terkesan tergesa-gesa ketika memutuskan untuk membeli satu skadron Su-35. Padahal sebenarnya tidak ada kata tergesa-gesa dalam soal pembelian senjata canggih.
Pemerintah pun seolah-olah terkesan tergesa-gesa ketika memutuskan untuk membeli satu skadron Su-35. Padahal sebenarnya tidak ada kata tergesa-gesa dalam soal pembelian senjata canggih.

Intisari-Online.com - Indonesia telah menandatangani kontrak pembelian 11 unit pesawat tempur Sukhoi SU-35 dengan Rusia.

Penandatanganan itu dilakukan pada Rabu (14/2) lalu di Jakarta dan sekaligus mencerminkan betapa untuk memiliki alat utama sistem senjata (alutsista) seperti jet tempur prosesnya sangat alot.

Dengan tantangan ke depan yang makin kompleks seperti krisis Laut China Selatan yang makin menegang, Indonesia yang wilayah pulau dan perairannya terancam klaim oleh China memang tidak bisa tinggal diam.

Krisis di Laut China Selatan khususnya di seputar perairan Natuna sebenarnya bukan datang secara tiba-tiba.

(Baca juga: Bikin Ngakak! Editan Photoshop Terhadap Pasangan Ini Sungguh Kelewat Batas!)

Dalam Rapim TNI yang diselenggarakan tiap tahun potensi menegangnya krisis di Laut China Selatan selalu dibahas.

Tapi begitu krisis itu tiba secara militer TNI ternyata terkesan kurang siap, khususnya dalam langkah antsipasi menggunakan alutsista canggih.

Pemerintah pun seolah-olah terkesan tergesa-gesa ketika memutuskan untuk membeli satu skadron Su-35 dan mempercepat pengadaan kapal selam.

Padahal sebenarnya tidak ada kata tergesa-gesa dalam soal pembelian senjata canggih.

Pasalnya pemerintah sudah memiliki prosedur dan standar yang memadai.

Kebutuhan akan alutsista pertama kali diajukan oleh masing-masing satuan TNI kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Di lingkup Kemhan kebutuhan alustista itu kemudian dievaluasi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Kemhan kemudian akan melakukan cross check ke masing-masing satuan apakah alutsista yang dibutuhkan oleh satuan itu memang mendesak.

(Baca juga: HIV Belum Ada Apa-apanya, Ini 10 Virus Paling Mematikan di Dunia)

Tapi yang jelas Kemhan memiliki patokan bahwa alutsista yang dibeli harus memiliki kemampuan interoperability.

Artinya bisa digunakan saling bahu-bahu dengan alutsista yang dimiliki satuan TNI lainnya.

Jika sudah melakukan verifikasi, Kemhan kemudian akan berkoordinasi dengan KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) untuk membahas apakah alusista yang dibeli suku cadangnya bisa dibuat dalam negeri.

Alusista itu juga tidak mengandung potensi embargo ke depannya, adanya kerja sama transfer teknologi dengan produsen, mampu menghidupkan industri pertahanan dalam negeri, berapa offset (imbal baik) yang akan diperoleh dan lainnya.

Jika KKIP yang diketuai Presiden sudah setuju maka pihak Kemhan akan mengeluarkan dana untuk membeli alutsista itu.

Tapi pembelian alutsista tidak seperti beli mobil . Yakni setelah bayar cash, mobil langsung bisa di bawa pulang.

Misalnya seperti pembelian Su-35 untuk TNI AU.

Karena tidak memiliki dana cash pemerintah melakukan barter menggunakan hasil pertanian dari Indonesia yang sedang dibutuhkan oleh Rusia.

Setelah tanda tangan kontrak pembelian biasanya pesawat akan dikirim secara bertahap dan untuk Su-35, dua unit akan dikirim mulai bulan Agustus 2018.

Dalam hal ini sebelum pesawat dikirim ke Indonesia terlebih dahulu dilakukan latihan terbang Su-35 oleh para pilot TNI AU di Rusia.

Para teknisi juga dikirim ke Rusia untuk mempelajari teknis dan perawatan Su-35.

Proses pelatihan ini biasanya makan waktu cukup lama.

Tapi karena pilot-pilot TNI AU sudah terbiasa menerbangkan Su-30 yang notabene ‘’adiknya’’ Su-35,proses pelatihan para pilot TNI AU tinggal melaksanakan konversi (peralihan) sehingga bisa lebih cepat.

Selain itu, pengiriman secara bertahap juga menunjukkan bahwapesawat-pesawat Su-35 juga belum tentu tersedia karena masih dalam proses produksi.

Teknis pengiriman pesawat yang dibeli biasanya juga berkala sesuai dengan imbal beli (komoditas pangan) yang dibayarkan dan kerja sama teknis antara kedua negara. Jadi jika Su-35 baru dikirim bulan Agustus 2018 dan itu memang baru tersedia dua unit pesawat, maka jadwalnya bisa saja mundur.

Oleh karena itu TNI AU dan masyarakat Indonesia harus sabar karena prosesnya memang cukup panjang.

Waktu cukup lama itu memang memberikan peluang bagi konflik di Laut China Selatan untuk berkembang ke arah yang tidak terduga.

Dan untuk mengantisipasinya, TNI harus mampu menangani meggunakan alutsista yang selama ini telah dimiliki.

Apalagi doktrin tempur TNI sudah sangat jelas.

Yakni berhasil melaksanakan tugas dengan alutsista yang masih terbatas bukannya berhasil dengan fasilitas yang memadai atau bahkan berlebihan.

(Baca juga: Betapa Terkejutnya Bocah Ini ketika Tahu Lukisan yang Ia Beli Seharga Rp26 Ribu Ternyata Karya Pelukis Terkenal)

Artikel Terkait