Advertorial
Intisari-Online.com – Bagi Orang Rimba, nama merupakan sabda dewa.
Ada beragam aturan menyangkut nama yang disandang, sepanjang kehidupan mereka.
Ketika mereka kehilangan hutan, mereka juga akan kehilangan nama.
---
Sore itu bangsal isolasi TBC Rumah Sakit Kabupaten Merangin, Jambi cukup berisik.
Terdengar suara orang- orang sedang bercakap dan bayi yang menangis. Tampaknya ada pasien baru datang.
Ya, bangsal isolasi tersebut memang disulap menjadi kamar rawat inap khusus Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) oleh RSUD Kabupaten Merangin.
Empat hari sudah saya bolak-balik ke rumah sakit karena ada salah satu anak rimba yang harus dirawat inap.
Dan kamar ini, yang sebelumnya hanya dihuni oleh anak dari kelompok daerah dampingan saya, sekarang harus dibagi dengan anak-anak lain.
Yang istimewa, para Orang Rimba atau Suku Anak Dalam dibebaskan biaya di seluruh rumah sakit pemerintah daerah Provinsi Jambi tanpa syarat apapun.
Petugas rumah sakit akan langsung mengenali bahwa mereka adalah pasien SAD atau bukan, salah satunya dari nama.
Nama menjadi salah satu bahasan yang menarik dari sekian banyak tema yang bisa diangkat mengenai suku asli Jambi ini.
Nama Orang Rimba selalu berkaitan dengan alam, kehidupan keseharian, bahkan dewa mereka. Segala hal yang berkaitan dengan adat Orang Rimba tentang nama, sangat menarik.
Sabda dewa melalui nama
Keyakinan terhadap kepercayaan seringkali berpengaruh dalam pemberian nama bayi. Begitu juga dengan proses pemberian nama bayi Orang Rimba.
(Baca juga: Cara Mudah dan Manjur Hilangkan Bopeng Bekas Jerawat, Bisa Dipraktikkan Sekarang Juga)
Bagi mereka, nama sama dengan sabda dewa. Suku Anak Dalam ini akan melakukan ritual dedikiron untuk meminta petunjuk nama dari dewa.
Proses ini dilakukan bukan oleh orang tua si bayi melainkan oleh para dukun atau rerayo (orang yang sudah tua) jenton (pria) beberapa hari selama proses melahirkan seorang induk (ibu).
Petunjuk dari Dewa tidak hanya turun ke satu orang akan tetapi ke beberapa orang yang turut dedikiron. Di sinilah tampak Orang Rimba sangat menjunjung tinggi.
Mereka akan mendiskusikan yang paling baik di antara semua nama yang didapat semua rerayo, juga dari segi makna hingga pantas atau tidaknya disandang oleh sang bayi.
Selain menentukan makna, rerayo juga harus mengetahui sabda dewa (yang berupa nama tersebut) pernah digunakan oleh orang yang sudah meninggal.
Nama orang yang sudah meninggal pantang untuk digunakan. Nama bayi harus sudah ditentukan sebelum tujuh malom (tujuh hari).
“Kalo budak sulung yoya bepak si budak hopi menghalau, kalo la budak selanjutnya au boleh menghalau dedikiron, tapi yoya bolum tentu namo boleh di pakai,” ujar Bepak Jelujur yang baru mempunyai satu anak ini.
(Kalau anak sulung biasanya bapak si bayi tidak turut berdoa, kalau anak berikutnya ia bisa turut berdoa, tapi belum tentu nama yang turun dari dewa bisa dipakai).
Jika orang Batak punya Manurung atau orang Bali punya Kadek maka Orang Rimba punya Tampung, Sunting, Tua, Bungo dan Sanggul.
Meskipun bukan sebagai marga tapi bagi mereka kelima nama tersebut (selalu) ditambahkan ke sabda dewa yang lebih sering terdiri atas satu kata.
Kelima kata tersebut merupakan tuturan dewa yang mengacu maknanya pada bunga-bungaan di Rimba.
Penambahan ini tidak berlaku ketika sabda dewa yang turun terdiri atas dua kata. Misalnya Jangat Pico.
Nama anak laki-laki ini tidak lagi mendapatkan tambahan Sunting atau Tampung. Namun hal ini jarang terjadi di kelompok Makekal.
Anak perempuan biasanya akan mendapatkan tambahan nama Tua, Bungo atau Sanggul. Sedangkan laki-laki lebih sering mendapatkan nama belakang Sunting dan Tampung.
Panggilan pun terus berganti
Pernikahan merupakan salah satu gerbang baru kehidupan pasangan di dunia yang biasanya disambut dengan suka cita.
Tapi gadis Orang Rimba justru merasa kesakitan di saat upacara pernikahannya.
Cambukan dan rambut panjangnya yang tidak akan dipotong seumur hidupnya rontok, meski dia senang karena bisa menikah dengan pujaan hatinya.
Untuk pasangan yang baru menikah, ada panggilan baru yakni Induk dan Bepak Mentaro.
Inilah proses perubahan status pada adat Orang Rimba dan nama yang sudah disandang sejak lahir seketika akan dilarang disebutkan.
Tentu perlu penyesuaian terutama untuk orang meru (orang asing) beradaptasi dengan panggilan mereka yang baru.
Perubahan itu masih berlanjut ketika mereka kelak mempunyai anak. Dari Induk dan Bepak Mentaro akan berganti ke Induk dan Bepak (ibu dan bapak) diikuti nama anak sulung mereka.
Lalu masih akan berubah lagi. Jika salah satu dari pasangan tersebut meninggal maka panggilan tidak akan lagi menggunakan nama si sulung, akan tetapi menggunakan si bungsu.
“Tanti bakal tekena kedulat,” tutur Mijak Tampung (nanti bakal terkena kutuk) tentang Orang Rimba masih menjaga adat nama tersebut.
Mijak juga menuturkan, panggilan dengan nama anak sulung merupakan simbol rumah tangga.
Ketika salah satu dari pasangan keluarga tersebut meninggal dunia maka simbol rumah tangga tersebut berubah.
Beda halnya ketika terjadi perceraian, maka nama anak sulung akan dibawa oleh si induk hingga dia kelak akan menikah dan mempunyai anak dengan jenton lain.
Sedangkan untuk si duda kembali ke nama semasa lajang selama dia belum menikah lagi. Lingkaran pergantian nama tersebut masih terjaga dengan baik hingga sekarang.
S jadi Y
Seorang anak bernama Benapay memprotes nama yang tertulis di buku tulisnya. Dia lalu mengganti huruf “y” dengan “s”.
Di Rimba, kata-kata berakhiran huruf “s” akan diucapkan dengan “y” demikian juga sebaliknya.
Misalnya, Nias (Niay) mengatakan baru saja menggambil air di sungas. Kata sungas berasal dari sungai jadi pengucapan “i” akan menjadi “s”. Tidak sedikit nama anak-anak rimba yang berakhiran dengan huruf “s”.
Salah penyebutan ini hukumnya adatnya tidak ada, akan tetapi protes dari si empunya nama akan melengking di telinga.
Kebiasaan memanggil dengan satu suku kata terakhir nama seseorang juga mengundang protes dari anak-anak Rimba. “Namo ke Pengendum, hopi Ndum,” protes Pengendum ketika terlalu sering saya panggil Ndum.
Bisa terbayangkan jika nama tersebut terdiri atas lebih dari enam suku kata seperti Jangat Pico atau Nyungsang Bungo, maka nama mereka akan terucap secara lengkap dalam setiap percakapan.
Sementara nama belakang seperti Tampung, Sunting, Sanggul, Tua, dan Bungo jarang disebutkan kecuali namanya sudah paket lengkap seperti Jangat Pico.
Relokasi = hilang
Laju motor sedikit melambat ketika Menosur menjelaskan bahwa perumahan papan yang berjejer rapi dengan tetangga seberang ribuan pohon sawit milik perusahaan merupakan perumahan Orang Rimba.
Dengan reaksi sedikit kaget saya kemudian mengamati sekeliling, terbaca Air Hitam. Jalan aspal yang banyak berlubang kami lewati sepulang dari turut dalam rapat kelembagaan adat di Satuan Pemukiman I (SPI).
“Dewa kami a hopi detong jika ramai, bau sabun dan dedikiron yoya butuh hutan. Hidup kami yoya mulai dari kami lahir mati berhubungan segelonya dengan pohon, namo kami a samo dengan kato dewa, namo kami erat kaitannya dengan agomo kami Orang Rimba” tutur Temenggung Celitay.
(Dewa kami tidak akan datang jika ramai, bau sabun dan ketika berdoa Orang Rimba butuh hutan. Hidup kami mulai dari lahir hingga mati semuanya berhubungan dengan pohon, nama kami sama dengan sabda dewa, nama kami erat kaitannya dengan agama kami Orang Rimba).
Saat perjalanan pulang menuju shelter guru di Bangko, pikiran melayang, mempertanyakan apakah Orang Rimba di rombong ini masih melakukan dedikiron untuk mendapatkan nama seperti adat nenek puyang (nenek moyang).
Betapa ketakutan ketika semua Orang Rimba sudah tidak lagi hidup di hutan, mereka bukan hanya akan kehilangan rumah (hutan) hingga aktivitas, tetapi juga kehilangan “nama” rimba mereka.
Ketika tak ada lagi hutan, maka tidak akan lagi terdengar nama Merimbun, Menosur, Nyungsang Bungo, Berapit. Nama-nama rimba yang terdengar sederhana akan tetapi sarat akan makna.
(Baca juga: Aktor Advent Bangun Meninggal, Karateka Tulen yang Pernah Dikeroyok 30 Preman)
(Ditulis oleh Tri Astuti, pengajar di Sokola Rimba, di Jambi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2016)