Advertorial
Intisari-Online.com – Orang Boti, yang tinggal jauh terpencil di daerah Kecamatan Amanuban Timur, Timor Tengah Selatan, NTT, menyimpan banyak keunikan.
Tapi mereka selalu menyambut tamu dengan ramah, seperti yang dialami wartawan Intisari LR. Supriyapto Yahya ketika bertandang ke sana.
Bunyi musik yang meriah, seakan-akan menyambut kedatangan kami, sudah terdengar dari jauh.
Rasa lelah menembus jalan pegunungan berbatu karang yang serba sulit sejauh ±45 km, selama beberapa jam dari SoE di NTT, langsung hilang.
(Baca juga: Aktor Advent Bangun Meninggal, Karateka Tulen yang Pernah Dikeroyok 30 Preman)
Atas kebaikan Bupati SoE Pieter A. Tallo, S.H. yang meminta Pak John N. Rohi mengantarkan, akhirnya saya bisa sampai di tempat itu.
Beberapa orang Boti segera membuka palang begitu jip yang kami tumpangi sampai di depan gerbang.
Dengan ramah, Nune Ambenu (80), sang kepala adat merangkap kepala suku, serta beberapa orang lainnya, menghampiri kami.
Rupanya hari itu mereka sedang menunggu rombongan lain. Segala persiapan sudah dilakukan.
Meja-meja sudah diberi taplak, di sana-sini terlihat hiasan tanaman dengan wama meriah.
Para pemain musik pun sudah melantunkan beberapa buah lagu.
Kaum wanita, tua-muda, sudah berdandan dan di sana-sini membentuk kelompok-kelompok kecil.
Yang wanita umumnya berkain kebaya, sementara kaum lelaki berkemeja dan berkain sarung warna-warni hasil tenunan sendiri, sambil tak lupa menyandang tas kecil berisi peralatan keperluan mereka, seperti sirih, pinang, pisau kecil.
(Baca juga:Cara Mudah dan Manjur Hilangkan Bopeng Bekas Jerawat, Bisa Dipraktikkan Sekarang Juga)
Dibandingkan dengan merokok, orang Boti bisa dipastikan lebih senang mengunyah sirih.
Dengan senang hati Nune Ambenu dan beberapa rekannya mengajak kami ke rumahnya yang sederhana.
Dinding bagian depannya diberi gambar ayam dan burung yang mirip hasil gambaran anak kecil.
Tidak jelas apa maksudnya. Entah hanya sebagai hiasan, atau juga mempunyai maksud lain.
Kurban manusia untuk muti
Kata orang, suku Boti masih hidup primitif. Namun, setelah masuk ke rumah si kepala adat ini, pikiran itu segera hilang. Barang-barang modern cukup banyak memenuhi ruang tamu rumah: sofa, televisi, jam dinding.
Sebagcri kepala adat, Nune Ambenu bukanlah orang pertama. Ayah lima orang anak ini (satu meninggal) merupakan generasi keenam. Jabatan kepala adat yang disandangnya ini diturunkan secara turun-temurun dari nenek moyangnya.
Dalam hal berpakaian, kepala adat beserta keluarganya dan rakyatnya sama-sama berhak memakai tenunan dengan motif yang sama. Bedanya, Nune memakai kalung yang disebut muti.
Konon, dulu untuk memperoleh kalung ini harus dilakukan kurban manusia. Soalnya, muti ini tidak bisa didapat begitu saja.
la akan keluar secara gaib di tempat-tempat yang tidak bisa diduga sebelumnya. Bentuknya pun sudah berupa bulatan tipis sebesar uang logam seratus rupiah.
Orang Boti selalu berusaha memenuhi sendiri segala kebutuhan hidup mereka, baik pangan maupun sandang. Untuk memenuhi kebutuhan akan benang tenun, mereka menanam kapas sendiri. Kalau sampai tidak berhasil, barulah mereka membelinya dari luar.
"Pakaian yang saya pakai ini pun hasil tenunan sendiri, dari benangnya sampai jadi," jelas Nune.
Kalau pangan yang mereka hasilkan melebihi kebutuhan mereka sendiri, kelebihannya akan dijual.
"Yang kami tanam antara lain pohon asam (yang merupakan hasil utama) selain padi," kata salah seorang anak buah Nune.
Di sini semangat hidup bergotong royong masih sangat tebal.
Penampilan orang Boti sederhana. Mereka nampaknya juga tidak pernah menggunakan alas kaki, sehingga telapak kaki mereka sangat tebal.
Padahal, daerah tempat tinggal mereka masih berupa tanah kering dan berbatu karang.
Kaum lelakinya, terutama generasi tua, umumnya tidak mencukur rambutnya. Rambut mereka yang panjang itu digelung menjadi konde, persis Brama Kumbara dalam film Saur Sepuh.
Namun, pada kaum mudanya hal itu tidak begitu ketat lagi, seperti yang dilakukan oleh putra Nune sendiri, yang ikut mendampingi ayahnya.
"Kami tidak bisa melarang kaum muda untuk tidak mencukur pendek rambut mereka seperti pemuda kota," kata salah seorang anak buah Nune.
Sebagaimana suku-suku lain, suku Boti juga memiliki cara-cara sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam soal melamar, misalnya, pihak laki-laki akan membawa barang antaran berupa uang perak zaman Belanda 10 sen, sebotol sopi dan ayam seekor.
Setelah lamaran diterima pun perkawinan tidak bisa langsung dilakukan. Kedua remaja yang sudah setuju untuk berumah tangga itu harus menunggu selama tiga tahun.
Selama waktu itulah masing-masing berusaha melengkapi segala keperluan mereka nanti. Si laki-laki biasanya kembali ke kebun untuk mengolah tanah dan membangun rumah sendiri (sebab, setelah kawin si mempelai wanita langsung dibawa ke rumah milik suaminya).
Sebagai suatu masyarakat yang kelihatannya masih agak tertutup, semula saya mengira bahwa perkawinan itu hanya terjadi di antara sesama orang Boti saja. Ternyata tidak.
"Pokoknya, jika seorang pemuda di luar masyarakat Boti naksir seorang gadis Boti dan mereka sudah sama-sama senang, kami tidak akan melarang atau membatasi," kata si kepala adat.
Setelah waktu yang ditentukan cukup dan segala persyaratan dipenuhi, baru pihak lelaki akan datang kembali ke rumah pihak wanita untuk mengukuhkan pernikahan mereka.
Pada waktu itu pihak laki-laki akan membawa sapi atau babi sebagai barang antaran. Yang mengukuhkannya adalah ketua adat.
Pada hari bahagia itukedua mempelai akan mengenakan pakaian biasa saja, yang mereka gunakan sehari-hari. "Kecuali jika punya uang, mereka akan membuat pakaian atau sarung baru," kata Nune lebih lanjut.
Pada malam harinya baru diadakan keramaian dengan memukul gong, tetabuhan ataupun tari-tarian sebagai tanda diselenggarakannya suatu pesta.
Berlainan dengan di masyarakat modern, kebiasaan para tamu atau undangan membawa kado untuk kedua mempelai, sama sekali tidak dikenal dalam masyarakat Boti.
"Pokoknya, para tamu, tidak membawa apa-apa. Mereka semata-mata hanya dijamu oleh tuan rumah, dari pihak kedua mempelai," kata Nune Ambenu.
Namun, pesta pernikahan ini kalah ramai dibandingkan dengan pada waktu ada yang meninggal. Mereka akan mengadakan keramaian tiga tahun sesudah upacara kematian selesai, berupa pengucapan syukur.
Pada waktu itu sapi dipotong untuk menjamu tamu yang datang melayat. Para pelayat juga datang membawa antaran sebagai tanda turut berduka cita berupa selimut, sapi, babi, kambing atau beras. Jika si pelayat orang tak punya, maka akan disesuaikan dengan keadaan mereka.
Hidangan yang disuguhkan oleh tuan rumah kepada para pelayat itu hasil sembelihan hewan miliknya sendiri, bukan dari barang antaran.
Jika yang meninggal itu seorang ayah, pada waktu ini juga orang yang dituakan akan mengingatkan bahwa si mati itu masih meninggalkan keturunan yang harus mengarungi kehidupan.
Maka biasanya pihak pamanlah yang akan diminta untuk bertindak sebagai ganti orang tuanya.
Tak ada yang masuk penjara
Upacara-upacara apa saja yang berlaku di masyarakat Boti, yang oleh banyak orang masih dianggap memeluk kepercayaan animisme?
"Dalam setahun kami berdoa tiga kali. Doa itu ditujukan kepada Tuhan, bumi (tanah yang ditempati) dan orang tua. Sementara itu upacara-upacara juga banyak dilakukan, misalnya setelah membersihkan kebun, mau mulai menanam, menunggu hujan untuk menanam, seusai panen dan ketika menempati rumah baru," cerita Nune.
Kegiatan sehari-hari kaum lelaki Boti umumnya bertani, sementara kaum wanitanya memintal benang dan menenun untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Hasil tenunan mereka pun sering kali dijual.
Dulu, kaum wanita menenun hanya di rumah masing-masing untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tapi sejak ada kelompok PKK, dalam hari-hari tertentu mereka menenun secara berkelompok.
Sedangkan pada hari-hari lain mereka tetap menenun sendiri di rumah masing-masing. Sementara itu kaum lelaki juga melakukan kegiatan berkebun secara kolektif.
Kehidupan sehari-hari suku Boti nampak damai. Itu bukan berarti tidak pemah terjadi pertengkaran. Bagaimana jika hal itu sampai terjadi di antara mereka? Ternyata yang akan bertindak mengadili adalah Nune Ambenu lagi.
Sebagai orang yang sangat dihormati, segala keputusan yang diambil oleh Nune, tak mungkin dibantah. Misalnya, jika ada yang mencuri dan ketahuan, maka sanksinya ia harus membayar ganti rugi berupa sapi atau lain sebagainya.
"Umumnya, hukuman yang dijatuhkan cukup berat, sehingga dengan demikian tingkat kejahatan di tempat kami ini juga sangat rendah," kata salah seorang dari mereka.
Bukti lain bahwa masyarakat ini masih menjunjung tinggi adat mereka, menurut Nune, sejauh ini tidak pemah terdengar ada orang Boti yang masuk penjara.
"Dipanggang" di atas bara
Dalam hal pengobatan pun orang Boti masih menggunakan obat tradisional, yang diambil dari tanam-tanaman yang mereka usahakan sendiri. Itu bukan berarti mereka tidak mengenal cara pengobatan yang lebih modern.
"Di sini pun puskesmas sudah ada. Kami akan membawa si sakit ke puskesmas, jika ia sudah tidak bisa sembuh diobati dengan obat tradisional," kata salah seorang anak buah Nune.
Kalau ada seorang ibu hendak bersalin, biasanya seorang dukun beranak akan membantunya. Selesai melahirkan, si wanita dimandikan dengan air hangat dan kemudian dibaringkan di balai-balai.
Sementara itu di bawahnya diletakkan bara api untuk "memanggang". Maksudnya, agar tenaga serta kekuatan wanita itu pulih kembali. Hal itu berlangsung selama empat puluh hari. Setelah itu si wanita dianggap sudah sehat kembali.
Setelah si bayi berumur empat puluh hari ia akan dipakaikan kalung, diberi uang dsb. Ini merupakan simbol demi masa depan si anak.
Meskipun hidup jauh dari kota, tidak berarti orang Boti tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya. "Seorang putra kami juga sempat kuliah di Kupang, namun tidak selesai dan sekarang berwiraswasta," jelas istri Nune yang berusia 78 tahun.
Terhadap kemajuan zaman, orang Boti juga tidak menutup diri. Mereka akan menerima segala hal, asal tidak merusak tata cara kehidupan dan budaya mereka sendiri.
Ini membuat orang tidak segan datang mengunjungi mereka. Buktinya, sejak 1989, sekitar 60 - 70% dari 247 tamu yang tercatat dalam buku tulis yang dijadikan buku tamu mereka adalah orang asing dari berbagai negara, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Australia.
Para pengunjung ini memiliki berbagai macam profesi, ada mahasiswa, wisatawan, peneliti dsb.
Orang Boti, yang sering dikatakan masih primitif, ternyata sangat hangat dalam menerima tamu. Ketika saya meminta mereka untuk difoto, dengan senang hati mereka segera mengatur diri.
Waktu saya berpamitan, dengan kehangatan seorang ayah, Nune Ambenu membimbing lengan saya menuju jip. Seakan-akan ia tidak ingin melepaskan saya, sampai saya masuk ke kendaraan yang akan membawa saya pergi dari kenangan yang menyenangkan itu.
Lambaian tangan mereka terasa sangat tulus, sampai kami hilang di belokan batu cadas, sementara musik terus bertalu mengiringi keberangkatan kami.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1992)