Advertorial
Intisari-Online.com -Siapa bintang dangdut koplo paling mentereng kali ini?
Tak lain dan tak bukan, jawaban kita akan langsung tertuju pada duo Jawa Timur: Via Vallen dan Nella Kharisma.
Lagu-lagu yang dibawakan oleh dua perempuan berkulit langsat itu laris diputar di mana-mana. Seturut dengan itu, uang yang dihasilkan keduanya pun kian menggila.
Dari hitung-hitungan tim Intisari-Online, video Jaran Goyang Nella Kharismadi YouTube saja (per 22 Januari 2018 sudah ditonton 128.659.894 kali) setidaknya sudah menghasilkan uang sekitar Rp1,7 miliar.
Sementara video Sayang-nya Via Vallen, yang ditonton lebih dari 125 juta kali, setidaknya menghasilkan uang sekitar Rp1,6 miliar.
Itu baru satu video, belum lagi video-video yang lain yang tak kalah populernya.
(Baca juga:Video Sayang Via Vallen vs Jaran Goyang Nella Kharisma, Pendapatan Keduanya Bikin Melongo)
(Baca juga:Ternyata, Lagu 'Jaran Goyang' yang Melambungkan Nama Nella Kharisma Terinspirasi dari Kisah Ini!)
Berkibarnya karier dua biduan dari Jawa Timur ini rasanya bukan kebetulan belaka. Jika kita cermat, genre musik ini bisa dibilang sebagai ajang ngetopnya penyanyi-penyanyi dari Jawa Timur.
Tentu kita belum lupa dengan Inul Daratista (AinurRokhimah), Dewi Perssik, Uut Permatasari, Ratna Antika, Lusiana Safara, dan tentu saja grup Trio Macan.
Tak hanya di tingkat Jawa Timur, mereka bahkan sukses berkarier di Ibukota—pun begitu dengan dangdut koplo yang membesarkan nama mereka.
Dangdut koplo, tak ada yang tahu persis kapan musik ini lahir.
Soal asal-usulnya tak jelas, sastrawan Mahfud Ikhwan punya pendapatnya sendiri, seperti ditulis dalam catatan Facebook-nya berjudul “Kepikiran Dangdut (Koplo): Renungan di Bus Antarkota”—yang kemudian dianggit ke situs musik Warningmagz.com dengan judul yang sama.
“Dangdut koplo sebenarnya sudah mengganggu ketenangan para penyuka dangdut syahdu ’80-’90-an setidaknya sejak awal 2000-an, atau bahkan lebih,”tulisnya.
Beberapa sumber juga menyebut bahwa genre musik ini sudah diputar di kampung-kampung di Surabaya sejak 1993-an.
(Baca juga:Gempa Jakarta: Apa yang Menyebabkan Bumi 'Bergoyang'?)
Sementara itu, penulis Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, Andrew N. Weintraub, menyebut bahwadangdut koplo sudah terbentuk jauh lebih awal, yakni pada akhir 1970-an.
Tapi kalau boleh jujur, genre musik ini sejatinya semakin ramai dibicarakan dan didengarkan setelah tumbangnya Orde Baru—lebih-lebih saat musim kampanye Pemilu 1999 tiba.
Jika Anda hidup di pesisir Jawa Timur pada kisaran tahun-tahun itu, Anda akan sering bersinggungan dengan irama koplo—meski waktu itu orang-orang belum dengan vulgar menyebutnya sebagai dangdut koplo.
Hampir tiap-tiap partai yang sedang kampanye di sana, entah itu yang nasionalis atau agamis, akan menghadirkan grup orkes melayu untuk menarik animo dan menghibur simpatisannya.
Pemilu usai, bukan berarti lahan dangdut koplo juga habis. Justru semakin besar, karena banyak orang-orang yang punya hajatan mengundang mereka.
Aksi-aksi dalam hajatan inilah yang kemudian diperbanyak dalam format cakram padat (VCD) dan kemudian dijual di lapak-lapak pinggir jalan. Orang-orang pun semakin banyak yang mendengarkan dan mengenalnya.
Mungkin sejak itulah istilah koplo semakin sering digunakan.
(Baca juga:Tatang Wiguna: Atur Lintas Sembari Berjoget Dangdut)
Istilah koplo sendiri, mengacu pada penjelasan Weintraub, mengacu pada gaya pementasan, irama gendang, tempo-cepat, dan musik bernuansa metal yang mengiringinya. Ia berasal dari “pil koplo”, sejenis narkoba.
Jadi, siapa pun yang mendengar dangdut koplo diharapkan mendapatkan sensasi laiknya menggunakan pil koplo alias bisa nge-fly.
Dan orang pertama yang merasakan semaraknya genre dangdut ini, tak lain dan tak bukan adalah,Inul Daratista, yangbisa dibilang sebagai biduan dangdut koplo paling sukses hingga saat ini.
Nella dan Via mah belum ada apa-apanya dibanding perempuan Pasuruan itu.
Cerita mencapai kebintangannya pun tak semengharukan Inul—yang kabarnya pernah diperkosa di awal-awal meniti karier sebagai pedangdut.