Entah kenapa, si laki-laki yang hendak membawanya ke Suriah itu membiarkannya tidak terkunci di rumah sendirian.
Setelah berhasil mendobrak pintu, Murad terus berjalan dan tak mau berhenti. Ia mengenakan pakaian abaya, dengan wajah tertutup laiknya perempuan muslim pada umumnya, dan, bagaimanapun juga, ia tetap sangat ketakutan.
“Jika ada Sunni yang mau menolongku, pastinya adalah Sunni yang miskin,” ia beralasan.
Setelah jauh berjalan, ia melihat sebuah rumah yang bangunannya mirip dengan rumahnya di Kocho. Ia mengetuk pintu rumah itu.
“Aku mohon, bantu aku,” katanya, tidak tahu apakah akan diselamatkan malah justru akan dihancurkan.
Salah seorang laki-laki yang ada di rumah itu kemudian menariknya. “Lebih aman di sini,” kata laki-laki itu.
Keluarga tersebut, yang membenci ISIS, membiarkannya tinggal bersama mereka selama beberapa hari sembari menyiapkan sebuah rencana: salah satu anak laki-laki di rumah, Nasser namanya, akan mengantarnya keluar dari wilayah ISIS.
Jika ada yang bertanya, ia akan berpura-pura menjadi suaminya. Dan rencana itu berhasil dengan sangat baik.
Dengan menggunakan kartu identitas palsu serta sebuah alasan baru saja mengunjungi keluarga di Irak yang dikuasai Kurdi, Murad dan Nasser berhasil melewati banyak pos pemeriksaan ISIS sampai ia bertemu kembali dengan dua saudara laki-lakinya di sebuah kamp pengungsian.
Tapi perjuangan Murad belum berhenti sampai di situ.
Saat dilakukan filter terhadap para pengungsi baru, Murad akhirnya tahu apa yang telah terjadi dengan orang-orang terkasihnya.
Ibunya telah ditembak dan dikubur di sebuah kuburan dangkal bersama dengan 85 perempuan Yazidi lainnya. Lima saudara laki-lakinya dieksekusi. Keponakannya diculik ISIS dan akan dicucui otaknya. Dan dua saudara perempuannya, masih di dalam tahanan.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR