Advertorial
Intisari-Online.com - Perang saudara di Guatemala selama tahun 1960-1996 bukan hanya sekedar menampilkan peluru dan kekerasan yang menewaskan ribuan penduduk asli.
Pemerintah memaksa puluhan ribu petani tinggal di desa percontohan yang diawasi ketat untuk mengisolasi mereka dari perlawanan gerilya.
Mereka dijanjikan jaminan kesehatan dan pelayanan lainnya tapi yang terjadi justru sebaliknya: dibiarkan mati karena kekurangan gizi dan penyakit yang harusnya bisa diobati.
Mereka tidak termasuk dalam jumlah korban yang terhitung dalam konflik brutal tersebut.
BACA JUGA:(Video) Pria Ini Hidup Sendirian Tanpa HP Selama Seminggu, Akhir Ceritanya Sangat Menyayat Hati
Sekarang, di dusun Santa Avelina, tubuh para korban kembali digali, diidentifikasi dan dikubur kembali.
Di antara jenazah adalah anak penduduk setempat yang meninggal akibat campak.
Penduduk tinggal di desa yang kecil danrumah yang lantainya kotor.
Miguel Torres, seorang petani berusia 67 tahun, teringat bagaimana tentara menduduki desa dan di bawah ancaman menuduh penduduk setempat menjadi gerilyawan.
BACA JUGA:Kisah Raja Mataram yang Gemar Menghukum Musuhnya dengan Tangan Sendiri
Kemudian membunuh dan membuat mereka tinggal di desa percontohan.
Mereka ketakutan setiap hari karena jika tidak ada disana dalam seminggu, rumah mereka akan dibakar sampai jadi abu.
Penggalian di Santa Avelina dimulai pada 2014. Pada akhir November lalu antropolog forensik menyerahkan sisa-sisa 172 orang yang tewas selama bertahun-tahun dalam kendali militer.
Tulang-belulang dan potongan-potongan pakaian mereka dikuburkan sendiri-sendiri oleh anggota keluarga yang masih hidup setelah lebih dari tiga dekade mayat mereka berada di kuburan massal tanpa nama.
BACA JUGA:Kisah Kerajaan Mataram: Kalau Bapak dan Anak Jatuh Cinta Pada Wanita yang Sama
Tidak ada angka resmi berapa banyak orang meninggal karena kelaparan dan penyakit yang tidak diobati di desa-desa percontohan.
Namun menurut sebuah laporan berjudul Recovery of Historic Memory yang disiapkan oleh Gereja Katolik Roma, korban berasal dari 45 desa lebih dan Santa Avelina hanya salah satu diantara desa percontohan itu.
Jose Suasnavar, direktur eksekutif berkata dari 7.000 mayat dari perang yang telah digali, sekitar 1.000 mayat pengungsi dari desa percontohan.
Laporan The Catholic menjelaskan bahwa selain kurangnya perawatan medis, kelaparan mungkin menjadi salah satu penyebab kematian di Santa Avelina dan desa percontohan lainnya.
BACA JUGA:Kisah Burung Pipit yang Terus Membawa Batu Kesedihannya ke Mana pun Dia Pergi
Tentara yang mengawasi desa percontohan tersebut harusnya bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi penduduknya.
Sejak penggalian di Santa Avelina dimulai, para ahli telah mengidentifikasi 108 korban melalui tes DNA atau melalui benda-benda pribadi yang dikenali oleh anggota keluarga.
Pengembalian mayat kepada keluarganya diiringi dengan membawa bunga dan penyalaan lilin seperti tradisi.
BACA JUGA:Satudarah, Geng Motor Asal Indonesia yang Ditakuti di Tanah Eropa