Intisari-Online.com -Di depan Pengadilan Tinggi Den Haag, mantan tentara Ansar Dine, Ahmad al-Faqih al-Mahdi, mengaku bersalah telah menghancurkan kota legendaris Timbuktu, Mali, di Afrika Barat. Pengakuan ini dilontarkan dalam pengadilan kasus pertama yang berkaitan dengan perusakan peningalan sejarah yang diselenggarakan oleh International Crinimal Court (ICC).
Ahmad al-Mahdi mengaku telah meratakan seluruh kecuali dua dari 16 makam kuno berikut masjid yang dibangun pada 1400 dalam sebuah serangan kelompok Ansar Dine pada 2012 lalu. Kepada pengadilan di Belanda ia mengaku menyesal telah melakukan itu semua.
Pada Maret lalu, Ahmad didakwa melakukan kejahatan perang karena dengan sengaja menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah itu. “Serangan yang disengaja kepada bangunan-bangunan sarat nilai budaya adalah sebenar-benarnya senjata dalam perang,” ujar jaksa ICC Fatou Bensouda dalam persidangan yang berlangsung pada Senin (22/8) kemarin.
Timbuktu, sebagai kota tua bersejarah di Mali bagian utara, merupakan pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan Islam pada abad 15 dan 16. Oleh beberapa penulis Barat, dari DH Lawrence hingga Agatha Christie, kota ini disebut sebagai kota mitos yang penuh dengan misteri dan harta karun. Pada 1980-an, kota ini dinyatakan sebagai situs warisan budaya oleh UNESCO.
Menurut Statuta Roma yang diterbitkan oleh ICC pada 1998, penghancuran situs-situs bersejarah dianggap sebagai sebuah kejahatan perang. Apa yang terjadi di Den Haag kemarin bisa menjadi preseden yang baik dalam menyikapi kasus-kasus perusakan situs bersejarah lainnya, termasuk perusakan terhadap situs kota kuno Palmyra di Suriah. (Karena Suriah tidak menandatangani statuta tersebut, maka ICC hanya bisa bertindak jika ada permintaan resmi dari Suriah atau PBB).
Kasus ini juga menandai bahwa untuk pertama kalinya terdakwa ICC mengakui kesalahannya di depan pengadilan. Sejauh ini, setidakny telah ada 30 dakwaan yang diajukan oleh ICC tapi baru tiga yang telah divonis bersalah: Thomas Lubanga Dyilo, Germain Katanga, dan yang paling baru Jean-Pierre Bemba, mantan politikus dan pemimpin pemberontak dari Republik Demokratik Kongo.
Ketidakkonsistenan ICC dianggap sebagai penghalang kenapa kasus-kasus yang diajukan oleh organisasi internasional yang berdiri pada 1993 ini tidak segera diatasi. Ahmad al-Mahdi sendiri kabarnya divonis penjara 30 tahun.(Huffington Post)