Advertorial

13 Tahun Tsunami Aceh: Jejak Tsunami Aceh Ternyata Sudah Termaktub dalam Manuskrip Kuno

Ade Sulaeman

Editor

2006 silam, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurahman, menemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar.
2006 silam, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurahman, menemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar.

Intisari-Online.com -Jejak tsunami Aceh tak hanya bisa dilacak melalui catatan geologis saja.

2006 silam, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurahman, menemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar.

Catatan itu menegaskan, selain catatan geologis,jejak tsunami Aceh juga termaktub dalam manuskirp kuno.

Secara eksplisit catatan itu menyebutkan, pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada pagi hari, Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah/3 November 1832.

(Baca juga: Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur)

Angka tersebut menjadi sangat menarik karena dari beberapa catatan penjelajah Barat, pernah terjadi gempa di pantai barat Sumatera pada 24 November 1883.

“Bisa jadi itu adalah dua gempa yang berbeda, yang paling penting adalah adanya catatan yang membuktikan bahwa Aceh kerap dilanda gempa besar,” ujar Oman yang juga pakar filologi dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sebelumnya, pada 2005, Oman juga menemukan naskahTakbir Gempadi perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh.

Naskah anonim tersebut diperkirakan dibuat sekitar abad ke-18.

Manuskrip yang ditemukan di perpustakaan Ali Hasjmy itu memaparkan kejadian yang akan mengikuti gempa bumi dalam rentang waktu dari subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan.

Dalam salah satu bagiannya disebukan, ”Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu Duha gempa itu, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu...”

Tak hanya itu, dengan bernah naskah itu juga menggambarkan bagaimana gempa bisa memicu naiknya air laut hingga ke daratan.

Naiknya air laut itulah yang kini dikenal dengan tsunami.

(Baca juga: Dulu Dicampakkan, Kini Buah Ceplukan Harganya Selangit)

Namun, jauh sebelumnya, orang Aceh juga memiliki kosakataïe beunaatau “air bah besar dari laut”.

Namun, kata ini tak lagi dipakai hingga kejadian tsunami 2004.

Smong, tsunami dalam istilah Simeulue

Selain Oman, nama lain yang menemukan manuskrip perihal tsunami Aceh adalah filolog dari IAIN Ar Raniry, Banda Aceh, Hermansyah.

Ia menemukan “Naskah Gempa dan Gerhana Wa-Shahibul” dalam kitabIbrahim Lambunot, koleksi Museum Negeri Aceh.

Naskah itu menyebutkan tentangsmongyang terjadi pada 1324 H atau 1906 M.

“Smong” adalah bahasa Simeulue yang berarti “naiknya air laut setelah gempa”.

Di Pulau Simeulue, pengetahuan tentangsmongini masih lestari dan terbukti menyelamatkan warga saat tsunami 2004.

Meski ribuan rumah di pulau itu rusak diterjang tsunami, korban tewas ”hanya” tujuh orang.

Sedikit mundur ke belakang, Warga Simeulue pernah dikejutkan oleh smog yang terjadi di pulau mereka pada 1907, setahun setelah catatan dalalam kitab Ibrahim Lambunot muncul.

Berturut-turut, manuskrip kejadian gempa pada masa lalu ditemukan di sejumlah daerah lain.

Filolog lainnya yang menemukan naskah serupa adalah Zuriati dari Universitas Andalas, Sumatera Barat. Naskah ini mirip Takbir Gempa dari Aceh.

Adapun di Perpustakaan Nasional, Jakarta, tersimpan naskahRamalan Gempa. Naskah sejenis tersimpan di The Delf Collection, Belanda.

Naskah itu berjudulKitab Ta’birdan mengandung sejumlah teks, meliputi takbir mimpi, takbirkusyuf alkamar wa asy-syams(gerhana bulan dan matahari), dan takbirlindu(gempa bumi).

Begitulah, tidak hanya ada di catatan-catatan geologis saja, jejak tsunami Aceh juga termaktub dalam manuskrip kuno. (Moh Habib Asyhad)

(Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi)

Artikel Terkait