Advertorial

Meski dalam Perang Yom Kippur Pasukan Mesir Terpukul Mundur, tapi Secara Politis Israel Sebenarnya Kalah

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com -Dalam Perang Yom Kippur yang berlangsung tahun 1973, pasukan Isreal dalam kondisi terdesak oleh pasukan Mesir.

Menyadari bahwa pasukan Mesir tinggal menunggu perintah untuk menggilas Israel, para petinggi Israel pun segera menyusun serangan balasan secara maksimal.

Mereka mengerahkan semua potensi yang dimiliki negara tersebut.

(Baca juga:Perang Arab-Israel, Perang Berkepanjangan yang Tak akan Berhenti Sebelum Warga Palestina Merdeka)

(Baca juga:Ariel Sharon, Jenderal Israel Penjagal dari Beirut yang Meninggal Setelah 8 Tahun Koma)

Semua pasukan cadangan dipanggil dan unit-unit yang bertugas mengoperasikan rudal nuklir pun disiagakan.

Pemerintah Israel memang telah memutuskan untuk menggunakan rudal nuklir jika pasukan Mesir sampai masuk ke pusat kota.

Opsi penggunaan rudal nuklir itu jelas merupakan pilihan terburuk karena akibat yang ditimbulkan bisa sangat luar biasa.

Di sisi lain pilihan menggunakan senjata nuklir itu telah menunjukan rasa frustrasi di kalangan militer dan intelijen Israel.

Operasi militer Israel untuk menghalau pasukan Mesir itu kemudian dikenal dengan nama Operation Valiant.

Sesuai dengan strateginya, pasukan Israel akan menghantam posisi pasukan Mesir di Gurun Sinai secara pararel, Front Selatan, Tengah, dan Utara.

Pasukan yang dikerahkan adalah divisi-divisi lapis baja dan infanteri.

Divisi lapis baja Israel akan bertarung langsung dengan divisi lapis baja Mesir.

Sedangkan pasukan infanteri Israel akan bertugas secara khusus.

(Baca juga:Ehud Olmert, Mantan Wartawan yang Sukses Jadi Perdana Menteri Isreal Tapi Kariernya Hancur karena Gagal Taklukkan Hizbullah)

(Baca juga:Dan Halutz, Jenderal yang Membuat Malu Militer Israel Setelah Kalah Bertempur Melawan Hizbullah)

Tugas mereka adalah menghancurkan unit-unit peluncur rudal SAM dan menyergap infanteri Mesir yang dipersenjatai RPG maupun rudal Sagger.

Panglima yang bertanggung jawab untuk menghantam kekuatan pasukan Mesir di Sinai adalah Mayor Jenderal Ariel Sharon—yang kelak menjadi Perdana Menteri Israel.

Sementara jumlah total kekuatan pasukan Israel yang dikerahkan mencakup 415 ribu tentara, 1.500 tank, 3.000 kendaran angkut personil, 945 meriam artileri, 561 pesawat tempur, 84 helikopter, dan 34 kapal perang.

Semua kekuatan itu tak hanya untuk menghadapi pasukan Mesir yang jumlahnya lebih banyak dan persenjataannya lebih kuat, tapi juga Suriah.

Gempuran Operation Valiant dilancarkan pada tanggal 15 Oktober 1973 dini hari.

Pasukan 143rd Armoured Division yang dipimpin sendiri oleh Jenderal Sharon menggempur posisi pasukan Mesir yang berada di Front Utara, Bitter Lake dan Ismailiya.

Front Utara yang dipertahankan oleh 2nd Army Mesir segera menyambut gempuran divisi lapis baja Israel sehingga terjadi duel kavaleri yang sangat dahsyat.

Sementara Front Selatan yang dipertahankan oleh 3rd Army Mesir juga berlangsung pertempuran yang tak kalah sengit bahkan cenderung brutal.

Divisi kavaleri Israel yang dipimpin Kolonel Adan, 162nd Division, di luar dugaan ternyata berhasil memukul mundur pasukan Mesir sehingga harus mundur menuju Terusan Suez untuk selanjutnya terpaksa kabur ke Mesir.

Kendati pasukan Mesir terpukul mundur pertempuran masih berlangsung sengit.

Namun, setelah berlangsung pertempuran selama 24 jam, hampir semua pertahanan Mesir di Sinai berhasil dijebol sehingga pasukan Israel makin mendekati Terusan Suez.

Tak berapa lama kemudian, pasukan Israel bahkan berhasil membangun jembatan ponton yang kemudian digunakan oleh pasukan infanteri untuk menyeberang.

Pasukan infanteri Israel yang telah dibekali dengan rudal antitank M72 LAW pun dengan leluasa menyergap tank-tank dan pangkalan rudal SAM Mesir.

Jembatan ponton Israel di atas Terusan Suez dibangun malam hari antara tanggal 16-17 Oktober 1973.

Begitu rampung jembatan ponton darurat itu ternyata bisa dilalui oleh tank dan kendaraan berat lainnya.

(Baca juga:Aneh, Militer Israel Selalu Kalang Kabut Saat Diserang Roket 'Rumahan' Hamas)

(Baca juga:Katyusha, ‘Rudal Bodoh’ Andalan Pejuang Hizbullah yang Kerap Bikin Pasukan Israel Kalang Kabut)

Ketika pangkalan rudal SAM dan Sagger serta unit-unit rudal lainnya berhasil dihancurkan oleh pasukan infanteri, pasukan tank dan Angkatan Udara Israel pun bergerak maju tanpa berhasil dibendung.

Tank-tank Israel kini dengan leluasa menyeberangi Terusan Suez tanpa mendapat gangguan rudal lagi.

Kondisi medan perang pun berubah arah.

Jika satu minggu yang lalu pasukan Mesir yang melaju kini gantian pasukan tank Israel yang terus bergerak maju dan membuat pasukan Mesir yang terpukul mundur makin kocar-kacir.

Apalagi tank-tank Mesir yang sudah tak mendapat perlindungan udara juga menjadi bulan-bulanan pesawat tempur Israel.

Ketika pada tanggal 19 Oktober1973 pasukan Israel berhasil menguasai dan memperbaiki lagi jembatan Terusan Suez yang berlokasi di sebelah utara Great Bitter Lake, posisi pasukan Israel benar-benar berada di atas angin.

Divisi-divisi kavaleri Israel pun terus bergerak melaju memasuki kawasan Mesir.

Setelah Terusan Suez berhasil diterobos Israel dan semua divisi pasukan kavalerinya terus melakukan konsolidasi, secara perlahan pasukan tank Mesir pun mulai mundur.

Keberhasilan Israel menguasai lagi Terusan Suez membuat politik dunia internasional memanas.

Uni Soviet sebagai pemasok senjata utama Mesir turut berang dan mengancam akan turun ke medan perang.

Presiden Mesir, Anwar Saddat yang semula optimis bisa menaklukkan Israel mulai mengumpulkan semua jenderal untuk membahas situasi terakhir.

Apalagi pada tanggal 22 Oktober pasukan kavaleri dan artleri Israel sudah berada sekitar 100 km dari Cairo.

(Baca juga:Dengan Kapal yang Masih Bersandar di Pelabuhan, Mesir Berhasil Luluh Lantakkan Kapal Perang Israel)

Untuk mengakhiri konflik dan meluasnya peperangan mengingat Uni Soviet dan AS sudah siap-siap terjun ke medan tempur, PBB Pun turun tangan.

Setelah berunding, pada tanggal 24 Oktober 1973, pihak Israel, Mesir dan Suriah sepakat untuk menandatangani gencatan senjata.

Perang pun berakhir tapi konflik politik dan kadang diselingi bentrokan senjata antara kedua pihak tetap berlanjut hingga saat ini.

Namun dari strategi tempur pada awal perang pasukan Mesir ternyata terbukti berhasil mengalahkan dan menjebol pertahanan Israel sehingga trauma kekalahan itu terus menghantui militer Israel.

Secara politik Perang Yom Kippur juga telah berhasil menciptakan kegoncangan di dalam negeri Israel.

Para petinggi militer dan intelijen Israel termasuk Perdana Menteri Israel, Golda Meir terpaksa mengundurkan diri.

Sejak kekalahan dalam Yom Kippur, negara-negara Arab kemudian juga berani menyimpulkan bahwa dengan taktik dan senjata mutakhir, serta operasi intelijen yang tepat Israel ternyata bisa dikalahkan.

Artikel Terkait