Advertorial
Intisari-Online.com - Ketika militer Jepang pada tahun 1941 berhasil menguasai negara-negara di kawasan Asia Tenggara selain ditentukan oleh pasukannya yang agresif juga ditentukan oleh kepemimpinan para jenderalnya yang luar biasa.
Salah satu jenderal panglima tentara Jepang yang kemudian mendapat julukan ‘’Macan Malaya’’ karena kehebatannya saat memimpin pasukan tempur Jepang di kawasan Asia Tenggara (Semenanjung Malaya) adalah Jenderal Tomoyuki Yamashita.
Jenderal yang dianggap sebagai panglima senior lapangan terbaik Jepang selama PD II ini dilahirkan di Kochi tahun 1888.
Yamashita lulus dari Akmil tahun 1906 sebagai perwira infanteri.
(Baca juga: Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)
Ia pernah ditugaskan di Eropa selama beberapa tahun.
Setelah mendapat promosi menjadi Letnan Kolonel, oleh pemerintah Kekaisaran Jepang, Yamashita diangkat sebagai atase militer di Wina dan Budapest (1927-1929).
Sewaktu menduduki jabatan staf pada Biro Riset AD, ia menjadi anggota faksi Jalan Kekaisaran pimpinan Jenderal Sadao Araki
Jenderal Araki merupakan seorang tokoh nasionalis dan militeris yang bersimpati terhadap pandangan ultranasionalis para perwira muda.
Bahkan faksi ini dianggap mendukung gerakan perwira muda yang berusaha melakukan revolusi tahun 1936.
Sebagai akibatnya Yamashita pun dijauhkan dari pusat kekuasaan dengan dikirim ke Korea, satu minggu sudah peristiwa tersebut.
Akan tetapi di luar Jepang karier militernya terus menanjak, dan sebagai Letnan Lenderal ia pun diangkat sebagai Kepala Staf Tentara Wilayah China Utara, lalu menjadi panglima Divisi ke-4 AD Jepang.
Pada tahun 1940, masa awal PD II di Eropa, Yamasitha ditugaskan memimpin misi peninjau militer Jepang ke Jerman dan Italia.
Tatkala perang di Pasifik pecah, Yamashita memimpin Tentara Ke-25 yang bertugas menginvasi Semenanjung Malaya yang dipertahankan Persemakmuran Inggris.
Sekalipun menghadapi musuh yang dua kali lebih besar, namun dengan gemilang Yamashita berhasil memukul mundur pasukan Inggris hingga Singapura pun dapat direbut.
Penaklukannya atas Malaya dan Singapura yag dianggap benteng Inggris terkuat di Timur Jauh dijadikan model operasi militer Jepang cepat dan penuh enerji, meski dengan logistik yang terbatas.
Namun karena secara politik terjadi perseteruan dengan PM Hideki Tojo, ia dipindahkan ke Manchuria pada Juli 1942.
Jenderal Yamashita baru ditarik kembali ke Asia Tenggara tahun1944 dengan tugas mempertahankan Filipina.
Ia tiba di Manila 20 Oktober 1944, hanya satu minggu sebelum pasukan Amerika mendarat di Leyte.
Menghadapi pasukan AS yag awal Januari juga mendarat di Teluk Lingayen, Yamashita mati-matian mempertahankan Luzon.
Tapi kali ini pasukan Jepang terdesak oleh pasukan AS dan sekutunya hingga ke pegunungan.
Namun setelah bertempur mati-matian Yamashita baru menyerah pada September 1945.
Secara tidak adil, Yamashita diadili sebagai penjahat perang dan dieksekusi tahun 1946.
Namun banyak pengamat militer internasional menilai hukuman mati yang dijalani Yamashita lebih sebagai aksi balas dendam Amerika saja.