Advertorial
Intisari-Online.com – Kita bisa membayangkan tantangan dari mendaki gunung atau merayap tebing. Tapi apa senangnya keluar-masuk lorong-lorong gua yang gelap gulita? Biang pencinta alam, Norman Edwin, mengungkapkan alasannya.
Penampilannya jauh dari necis. Rambutnya yang panjang berkucir seakan menguatkan keakrabannya dengan alam bebas.
Norman Edwin memang mencintai alam dan getol bertualang di alam bebas. Dia punya daftar panjang dan gunung-gunung yang pernah didakinya, tebing-tebing yang dipanjatnya, jeram- jeram buas di sungai yang deras arusnya dan ombak ganas di lautan yang diarunginya.
Bahkan perut bumi pun sudah ditelusuri dan dirayapinya. Tak salah kalau teman-temannya menjulukinya "beruang gunung", "prokem hutan" atau "orang gua".
(Baca juga: Jaket yang Berfungsi sebagai Tempat Tidur Gantung Ini Cocok untuk Para Pencinta Alam, Tertarik?)
Mulai dari hutan
Petualangan di alam bebas rupanya menjadi bagian dominan hidup Norman. Pria kelahiran Sungai Gerong, 19 Januari 1955, ini sejak kecil memang sudah akrab dengan alam.
Ayahnya, M. Isa Kartasentana, yang bekerja di Kehutanan, sering mengajaknya berkemah jika kebetulan dinas ke hutan-hutan Sumatera Selatan. Sementara setiap ada kesempatan bolos sekolah, Norman kecil pasti asyik bermain-main di Sungai Musi.
Namun, mendaki gunung baru dikenal Norman sesudah duduk di kelas satu SMTA di Bandung. Bersama dua orang teman, Norman mendaki Gunung Tangkuban Prahu. Kebetulan hari ltu hujan lebat. Mendaki dalam cuaca seperti ltu tentu saja terasa sulit buat Norman yang belum berpengalaman.
Dengan susah payah akhirnya sampai juga mereka di kawah. Di sana mereka berkemah dan bermalam di tengah hujan badai.
Perjalanan yang tak menyenangkan itu sempat membuat Norman berjanji tidak mau mendaki gunung lagi. Namun, begitu besok paginya cuaca terang dan menyajikan pemandangan menawan di sekitar kemah, ia lantas lupa akan janjinya semalam.
(Baca juga: Ranjang Gantung Ini Bisa Dipasang di Mana Saja, Bahkan di Tengah Laut! Cocok untuk Para Pencinta Alam)
Malah segera muncul dalam benaknya, "Kapan-kapan naik lagi, ah!" ,
Pengalaman pertama itu memang belum membuat Norman ketagihan. Hanya di waktu libur sekolah saja ia suka keluyuran di hutan, naik-turun gunung. Begitupun setelah menjadi mahasiswa arkeologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1976.
Naik gunung baginya hanya untuk main-main saja. Apalagi waktu itu tengah ramai-ramainya mahasiswa senang mengadakan kegiatan di alam terbuka, seperti berkemah dan mendaki gunung.
Kesukaannya mendaki gunung mulai menggila semenjak bergabung dengan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) - UI, tahun 1977. Mulailah Norman mencurahkan perhatian serius terhadap semua jenis petualangan di alam.
la tidak lagi sekedar lkut-ikutan, tapi mulai timbul keinginan untuk mengembangkan diri dan mencatat prestasi sebagai pencinta alam. Selain mencari pengalaman langsung di alam, ia juga tak segan-segan menambah pengetahuan lewat buku bacaan.
Tidak terbatas gunung-gunung di tanah air saja yang didaki Norman, di luar Indonesia yang alamnya jauh berbeda pun dia daki.
Tahun 1981, Norman memimpin tim ekspedisi Mapala UI mendaki puncak Jayakesuma di Carstenz Pyramide, Irian Jaya, yang merupakan puncak tertinggi di Asia Tenggara dan Pasifik. Ia pun pernah memanjat tebing El Capitan di Yosemite, AS; mendaki Gunung Kilimanjaro di Tanzania; berlatih di Rocky Mountain, Kanada.
Terakhir, Juli 1989 yang lalu, dia berhasil mengibarkan bendera merah putih di puncak McKinley, Alaska, bersama tim Mapala UI.
(Baca juga: Kirstie Ennis, Pernah Kehilangan Kaki Karena Helikopternya Jatuh Kini Berhasil Mendaki Gunung)
Bagi Norman semua gunung menarik untuk didaki, tapi ia sadar mustahil untuk mendaki semuanya. "Gua punya cita-cita mau mendaki puncak-puncak tertinggi di tujuh benua atau seven summit project." katanya.
Tiga dari tujuh puncak itu (Carstenz Pyramide, Kilimanjaro dan McKinley) sudah dipanjatnya. Empat lainnya: Everest (Asia), El'brus (Eropa), Aconcagua (Amerika Selatan) dan Vinson Massif (Antartika), sementara masih dalam rencana dulu.
"Cari sponsor di Indonesia ini sulit. Orang lebih suka mensponsori rock music dari pada rock climbing!." ungkapnya. Ekspedisi pendakian gunung menurutnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dari gunung turun ke gua
Selain urusan naik gunung dan memanjat tebing, Norman pun mencoba bertualang di bawah tanah. Awalnya gara-gara ia ikut dalam Operation Drake di Sulawesi Tengah, tahun 1980. Dalam ekspedisi ilmiah Indonesia-Inggris itu ia kebagian tugas membantu seorang peneliti kelelawar.
Meneliti kelelawar tentu saja harus masuk gua, sebab kebanyakan hewan tersebut memang hidup di gua. Norman yang belum pernah masuk gua, mula-mula merasa ngeri juga.
Dalam pikirannya, di dalam gua tentu banyak ular. "Mana lubang guanya kecil. Gelap lagi! Tapi begitu masuk, ternyata di dalamnya luas dan memang banyak kelelawar," ceritanya.
Sepulang dari Sulawesi Tengah itu kegilaan Norman pun bertambah. Hobi keluyuran di hutan tidak lagi hanya naik-turun gunung dan tebing saja, tapi juga menyuruk-nyuruk masuk gua (caving).
Tentu saja dia tidak lupa menularkan kegemaran barunya itu kepada teman-teman sesama pencinta alam. "Tekniknya sama saja dengan naik gunung. Cuma bedanya di dalam gua itu gelap," jelasnya. Di dalam gua orang juga terkadang harus merunduk, bahkan melata, merayap di lumpur dan menyelami air.
Untuk lebih mengenalkan dan mengembangkan petulangan dalam gua ini, Norman mendirikan Klub Specavina, yang merupakan perkumpulan penelusur gua pertama di Indonesia.
Kegiatan mereka bukan hanya berkisar masuk-keluar gua saja, tapi sekaligus juga mengadakan penelitian, yang walaupun kecil-kecilan sifatnya namun jelas ada gunanya. Misalnya membuat peta tentang gua: mulai dari mana dan berakhir di mana.
"Paling tidak membuka mata masyarakat awam yang masih menganggap bahwa gua selalu berkaitan dengan hal-hal yang seram, angker dan penuh mistik," katanya memberikan alasan.
Ternyata dalam bidang gua ini kecakapan Norman cukup diakui. la pernah diutus mewakili Indonesia dalam kongres internasional speleologi di Kentucky, AS, tahun 1981. Selain itu ia pernah juga mengikuti kursus instruktur penyelamatan di dalam gua (cave rescue) di Indianapolis, AS.
Tidak urakan
Kesenangan Norman bermain di sungai semasa kecil tersalur juga di Mapala UI. Pengalamannya bertualang di air sudah cukup banyak. Di antaranya, selama dua bulan di tahun 1983, ia ikut tun ekspedisi Camel dan AS melintasi Sungai Mahakam, Kapuas, Bungan, Koh dan Kayan di Kalimantan.
Lalu pada tahun 1986, bersama tim ekspedisi Mapala UI ia mengarungi jeram-jeram Sungai Alas di Aceh Tenggara. Dia juga ikut dalam lomba layar internasional dari Fremantle, Australia ke Benoa, Bali. Kemudian menyertai pelayaran Phinisi Nusantara dari Vancouver, Kanada ke San Diego, AS.
Kini bagi Norman bertualang di alam bebas bukan sekadar hobi lagi, tapi sudah menjadi kebutuhan. Kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi, dan bisa jadi, kebutuhan untuk diakui masyarakat.
Kecuali itu, kegiatan-kegiatan di alam bebas juga selalu memperkaya semangat hidupnya. "Setiap kali menikmati keindahan alam, saya selalu merasa beruntung bisa hidup di dunia ini," katanya.
Di kalangan teman-temannya ia kini cukup diakui. Hampir selalu ia ditunjuk memimpin ekspedisi. Meskipun pembawaannya agak urakan, bebas dan semau gue, namun di lapangan ia keras dan berdisiplin.
Norman sadar betul bahwa petualangan di alam bebas selalu mengundang risiko tinggi. Namun, bukan berarti orang-orang seperti dia tak kenal takut dan mencintai kematian.
Takut adalah perasaan yang sangat manusiawi. Selama takut itu tidak berubah menjadi ketakutan, perasaan itu, menurut Norman, perlu agar kita mengetahui persis apa yang sesungguhnya sanggup kita lakukan dan apa yang tidak.
Mempelajari dan mengetahui diri sendiri bukan pekerjaan gampang. Dalam petualangan di alam, bahaya subjektif seringkali lebih menonjol daripada bahaya objektif. "Mungkin 'takut' akan menjadi modal yang baik untuk menghadapi kemungkman bahaya subjektif," lanjutnya.
Mencintai kehidupan
Mungkin saja orang awam menganggap kegiatan para petualang alam bebas itu seperti "bertetangga" dengan maut. Padahal mereka tidak tahu persiapan para petualang itu sebelum bergerak.
"Faktor keselamatan selalu diutamakan," Norman menegaskan. "Jadi tidak betul kalau dikatakan para petualang itu mencintai kematian. Mereka "bertetangga" dengan maut justru karena mencintai kehidupan!"
Norman sudah merasakan sendiri. Beberapa kali ia mengalami kecelakaan, di antaranya bahkan menjadikannya "tetangga" paling dekat dengan kematian alias hampir fatal.
Seperti terjungkal dari tebing Gunung Gede tapi terselamatkan dahan pohon, atau terpelanting sewaktu latihan memanjat tebing terjal, terlempar dari perahu. Bahkan pengalaman paling buruk, yang sampai merenggut jiwa rekan-rekan sepetualangannya.
Sampai-sampai teman-temannya berkomentar bahwa Norman punya nyawa cadangan.
Sewaktu mendaki Carstenz Pyramide, seorang rekannya, Hartono, tewas. Peristiwa ini jelas meninggalkan kesan mendalam pada Norman. Apalagi ia waktu itu yang menjadi pimpinan ekspedisi.
Sampai ia tidak sadar kalau hanya memakai sandal jepit saja sewaktu mendaki gunung es itu lagi untuk menjemput jenazah Hartono. Akibat terlalu shock, ia bengong saja melihat ujung-ujung jari kakinya mati rasa terserang radang beku (frostbite).
Begitu juga ketika mengarungi jeram Sungai Alas, yang bahkan meminta korban dua orang rekannya sesama anggota Mapala UI: Budi Laksmono dan Supriyadi.
Namun, kejadian yang paling mempengaruhi jiwanya adalah sewaktu ia terpeleset masuk jeram di Sanghiyang Tikoro, di Sungai Citarum. Untungnya ia diikat tali dengan teman-temannya dan sempat ditarik keluar.
"Tapi 'kan gua sempat masuk ke dalam jeram. Bayangin saja, kayak apa kerasnya suara air. Mana pakai dihantam-hantam batu lagi!" cerita Norman.
la mengaku sempat panik juga. Setelah itu, selama hampir satu tahun ia sering diserang rasa takut dan berkeringat dingin setiap teringat kejadian tersebut.
Tidak kapok
Berbagai- pengalaman buruk yang dialaminya ternyata tidak membuat Norman kapok. "Setiap mengalami peristiwa seperti itu, saya merasa bahwa hidup ini sangat berharga, tapi juga sangat rapuh. Karena pernah begitu dekat dengan kematian, saya jadi sangat menghargai kehidupan, dalam arti saya harus hidup lebih dari sekadarnya. Tidak sekadar untuk makan dan tidur," katanya agak berfilsafat.
Di antara rekan-rekan seangkatannya di Mapala UI, tinggal Norman yang masih aktif. "Mungkin mereka berpikiran, kegiatan seperti itu hanya untuk masa-masa tertentu saja. Itu yang gua enggak ngerti," kata Norman.
Ia sendiri tak ingin berhenti bertualang di alam bebas. "Kalau gua sampai berhenti, istilahnya jera, rasanya gua mengkhianati teman-teman gua yang sudah mengorbankan nyawa mereka untuk kegiatan ini, Ada perasaan seperti itu dalam diri gua, selain memang, ya sudah kepalanglah. Hobi kok!" lanjutnya.
Lagi pula istrinya, Karina, bekas teman kuliahnya dan sama-sama pencinta alam, tentu mengerti sekali akan jalan hidup Norman ini. Walau kini ia lebih sibuk berkarir sebagai dosen, tapi Karina dulu juga aktivis Mapala UI.
Ia ikut dalam pendakian ke Carstenz Pyramide. Setiap ada kesempatan, pasangan pencinta alam ini selalu membawa putri tunggal mereka, Melati (5), naik gunung.
Banyak manfaat yang diperoleh Norman dari kegiatannya di alam itu. Yang paling dirasakannya adalah rasa percaya dirinya makin tebal. la mengaku dulu sering merasa minder bila berada di lingkungan sanak saudaranya yang secara materi melebihi keluarganya sendiri.
"Secara enggak langsung gua juga bisa cari duit, dengan menulis pengalaman-pengalaman saya. Mungkin bisa disebut eksklusiflah, lain dari yang lain," tambahnya.
Setiap kembali dari suatu petualangan, Norman memang selalu menuliskan pengalamannya. Bidang tulis-menulis kini menjadi pekerjaannya sehari-hari sebagai wartawan, meskipun sebetulnya di luar keinginannya.
Waktu ltu kuliahnya macet gara-gara ada ganjalan dengan seorang dosen. Daripada menganggur, ia menerima tawaran seorang rekan untuk bekerja di sebuah majalah mingguan. Apalagi ia diserahi mengasuh rubrik tentang alam.
Meneruskan pengalaman
Dari kemampuan menulis itu Norman sudah menerbitkan Buku Mendaki Gunung. Motivasi menulis buku itu adalah rasa tanggung jawabnya kepada anak-anak muda yang keranjingan mendaki gunung.
"Maksud saya, kita yang mempopulerkan kegiatan pencinta alam ini, apa salahnya meneruskan pengetahuan yang telah kita peroleh dari pengalaman itu. Sering 'kan terjadi kecelakaan yang menimpa anak-anak muda pencinta alam itu karena mereka tidak begitu paham akan seluk-beluk mendaki gunung," ujarnya.
Terakhir Norman bergabung dengan Suara Alam, yang memang cocok untuk dirinya. Apalagi dengan bekerja di majalah ini, hobinya bisa tetap tersalur.
"Dapat gaji, tapi naik gunung jalan terus!" katanya tertawa.
Walau sadar kerja begitu tak akan membuatnya kaya secara materi, "Tapi pengalaman kita yang kaya. Itu yang paling gua banggakan!" (TOTA)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1990)