Advertorial
Intisari-Online.com - Ketika direktur CIA memperingatkan kepada Presiden Donald Trump dan militer AS bahwa ancaman serangan nuklir dari Korut makin mendekat, maka Presiden Trump pun menyataka akan melakukan “tindakan apapun” termasuk melancarkan serangan militer ke Korut.
Pemeritah AS hingga hari ini memang terus-menerus mewaspadai perkembangan di Korut dengan harap-harap cemas, Kim Jong Un akhirnya menghentikan program nuklirnya atau paling tidak “meyatakan kapok” tidak melakukan uji coba peluncuran rudal balistik lagi setelah mendapat sangsi ekonomi dari PBB.
Tapi faktanya Kim Jong Un tetap keras kepala dan memutuskan akan menyerang AS menggunakan rudal nuklir jika rudal balistik berhulu ledak nuklir yang sedang disiapkan utuk menyerang AS sudah jadi.
Sebenarnya baru kali ini militer AS diam saja ketika negaranya jelas-jelas dalam kondisi terancam serangan nuklir dari negara lain dan malah terkesan ketakutan sehiggga lebih memilih melakukan langkah diplomatik utuk mengatasiya.
(Baca juga: Benteng Pertahanan Terdepan Amerika Itu Semakin Galak Sejak Presiden Donald Trump Berkuasa)
Sebelumnya AS tidak memberi ampun kepada negara-negara yang berniat memproduksi senjata pemusnah massal dan segera melakukan serangan militer seperti yang pernah dilakukan terhadap Irak,Libya, dan Suriah.
AS memang belum berani melakukan serangan militer terhadap Korut mengingat pecahnya peperangan di Semenanjung Korea akan berakibat pada hancurnya Korsel dan mengundang intervensi militer dari Rusia serta China.
Dalam konflik militer di Semenanjung Korea yang melibatkan Rusia, China, Korut melawan AS dan sekutunya maka pecahnya PD III memang sulit dielakkan.
Namun terkait ancaman serangan nuklir Korut yang makin mendekat, di dalam negeri AS sendiri, saat ini Presiden Donald Trump juga sedang mendapat serangan “dari dalam”.
Serangan yang sedang menerpa Presiden Trump itu akibat dari terbunuhnya 4 personel pasukan khusus Baret Hijau (Green Beret) di Niger, Afrika pada 4 Oktober 2017 lalu.
Empat personel Green Beret terbunuh dan dua personel lainnya mengalami luka-luka setelah sekitar 30 pasukan gabungan AS dan tentara Niger diserang pasukan ISIS yang jumlahnya lebih besar serta bersenjata lebih lengkap.
Presiden Trump dianggap telah gagal menunjukkan simpati dan empati terhadap para janda yang merupakan istri dari 4 personel Baret Hijau itu sehingga sampai memicu polemik politik.
Pernyataan Presiden Trump membuat sakit hati para janda dari personel Green Beret yang terbunuh itu karena bagi Trump tentara terbunuh di medan perang merupakan hal biasa.
(Baca juga: Kabar Bahagia, Donald Trump Izinkan Pengungkapan Dokumen Pembunuhan John F. Kennedy)
(Baca juga: ‘Selangkah Lagi akan Diserang Korut’, Direktur CIA Minta Donald Trump Segera Ambil ‘Tindakan Nyata’)
“Mereka sudah tahu risiko itu ketika melakukan tanda tangan (siap untuk mati) sewaktu menyatakan bergabung dengan militer. Maka saya tak perlu menelepon para isteri tentara yang telah gugur itu. Karena presiden AS sebelum saya, juga tidak pernah melakukannya,” papar Presiden Trump kepada cnn.com.
Akibat reaksi Presiden Trump yang dianggap kurang simpati itu, para senator AS bahkan sampai melontarkan kecaman kepada Presiden Trump dan menekan kepada Presiden AS yang suka bicara seenaknya itu untuk segera meminta maaf.
Pihak militer AS sendiri sempat mengalami kegoncangan karena salah satu personel Green Beret yang terbunuh baru ditemukan 48 jam setelah pertempuran dan berada pada posisi yang jauh dari lokasi baku tembak.
Itu artinya personel Green Beret yang terbunuh telah sengaja “ditinggalkan”.
Padahal dalam doktrin pertempurannya pasukan khusus AS tabu untuk meninggalkan rekannya yang sedang terluka atau terbunuh.
Prajurit yang terluka harus segera dievakuasi untuk mendapatkan perawatan dan kemudian bisa melanjutkan pertempura lagi.
Sedangkan yang terbunuh harus bisa dibawa pulang ke AS untuk mendapatkan penghormatan oleh negara saat pemakaman.
Rupaya Presiden Trump dianggap telah gagal dalam upaya memberikan penghormatan kepada 4 prajurit Green Beret yang telah gugur di Niger sehingga sampai memicu polemik politik yang berkepanjangan.
(Baca juga: Korut Kembali Ancam Menyerang, Donald Trump pun Diperingatkan CIA untuk ‘Jaga Mulut’)
(Baca juga: Sibuk dengan Nuklir Korut dan Iran, Trump Lupakaan Korban Kebakaran California?)
Namun kasus terbunuhnya 4 personel Green Beret itu sekaligus menunjukkan bahwa militer AS ternyata “belum siap” untuk menerima prajurit-prajurit terbaiknya yang gugur dalam peperangan.
Padahal jika Perang Korea yang kedua sampai meletus dan memicu PD III, bukan hanya 4 pasukan khusus AS yang akan gugur melainkan puluhan ribu.
Ketidaksiapan militer AS untuk menerima kenyataan bahwa Perang Korea kedua bisa menimbulkan tewasnya puluhan ribu pasukan AS itulah, yang hingga saat ini membuat militer AS tidak berani melancarkan serangan terhadap Korut.