Advertorial

Dvarapala, Dulu Penjaga Bangunan Suci dan Pendamping Buddha, Kini Jadi Penghias Rumah Orang Kaya

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com – Dvarapala tampang sangar menyeramkannya, ditopang tubuh tinggi besar, bukan tanpa tujuan. Dulu ia memang penjaga candi dan bangunan suci. Bagaimana nasibnya sekarang?

Jalan tanah berbatu menuju lereng selatan gunung itu sebenarnya dapat dilintasi kendaraan bermotor.

Akan tetapi hujan semalam membuat jalar licin dan berlumpur. Terpaksa perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki.

Jalan makin mendaki ketika lokasi tujuan makin dekat. Tak lama kemudian, sosok bangunan batu terlihat samar, diselimuti kabut dingin dan rimbunnya pepohonan.

Jelas, itu bangunan candi. Penduduk setempat menyebutnya Candi Jawarombo, yang masuk wilayah Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Bangunan peninggalan masa Hindu-Buddha itu ditemukan penduduk ± tahun 1983 dalam keadaan terpendam tanah.

Lokasi situs berada pada posisi 8° 08' 50,9" Lintang Selatan dan 112° 53' 21,05" Bujur Timur dengan ketinggian di atas 1.400 m dpl.

(Baca juga: Antara Bajralepa si Ramuan Misterius dan Stapaka si Arsitek Jenius, Inilah Rumitnya Pembangunan Candi)

Dvarapala cebol nan lucu

Candi ini tinggal bagian batur (alas) berdenah bujur sangkar dengan ukuran 6 x 6 m dan tinggi 60 cm. Pada lantai batur terdapat empat umpak batu yang berlubang bagian tengahnya untuk menegakkan tiang.

Mungkin bangunan suci ini memakai tiang kayu dengan atap rumbia atau ijuk karena tidak dijumpai pecahan-pecahan genteng di bawahnya.

Profil kaki candi berupa pelipit setengah lingkaran dan segi empat. Keempat sisi batur dihiasi relief-relief yang menggambarkan teratai (lotus), pilaster, dan bintang silang.

Pada sisi bangunan dihiasi oleh lima teratai, empat bintang silang, dan 10 pilaster yang ditempatkan berselang-seling.

(Baca juga:Angka-angka Misterius di Candi Borobudur Ini Tunjukkan Betapa Penuh Perhitungannya Pembangunan Candi Ini)

Pahatan sosok manusia pada relief digambarkan seperti wayang, gaya pahatan seperti relief-relief bangunan candi masa akhir Majapahit.

Ini bisa dilihat pada bangunan-bangunan di lereng G. Penanggungan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Situs Candi Jawarombo menghadap puncak G. Mahameru alias G. Semeru, gunung tertinggi di Jawa Timur.

Pintu masuk candi ada di selatan dengan adanya sisa-sisa bangunan gapura dari batu. Ribut Hariygnto, juru pelihara situs menunjukkan tempat di dekat gapura itu.

"Di sini arca pemegang gada itu ditemukan", katanya tegas.

Sebenarnya, pendakian melelahkan ke lereng Mahameru hanya untuk mengetahui lokasi penemuan arca batu yang memegang gada.

Arca itu sudah diamati sebelumnya di rumah Ribut Hariyanto di kaki gunung. Arca temuan bulan November 1999 itu berjumlah dua buah yang merupakan pasangan.

Arca dipahat dalam posisi jongkok dengan tinggi 60 cm.

Seharusnya, citra, yang timbul dari sosok dan atribut arca itu membuat orang takut. Kepala arca; memakai mahkota dengan rambut panjang sebahu dipilin ke belakang.

(Baca juga:Cerita Sudamala dan Erotisme Candi Sukuh)

Mata melotot, mulut terbuka, dan telinga bersubang. Tangan kanan memegang gada, sedangkan di pinggang terselip pisau besar yang terlihat mencuat bagian gagangnya.

Inilah ciri arca Dvarapala, yang memang dibuat sangar menakutkan.

Namun, kesan sebaliknya timbul setelah melihatnya. Dua arca Dvarapala itu lebih mirip bayi sehat lagi lucu.

Disebut bayi karena ukuran tubuh bulatnya pendek. Bandingkan dengan arca-arca Dvarapala lain yang umumnya tinggi besar.

Mulutnya yang menganga membuat penampilan sang arca tampak ramah sekaligus jenaka.

Pendek kata, bila memandang wajahnya, gada dan pisau besar yang disandangnya pun jadi lebih mirip mainan yang tidak menakutkan.

Penjaga bangunan suci

Di mana pun, Dvarapala adalah sosok menyeramkan dan tampak ganas. Dua matanya melotot tajam menatap penuh curiga pada setiap orang yang memasuki candi, bangunan suci.

Taring-taringnya yang runcing, khas rnilik raksasa, mencuat keluar, membuat orang bergidik. Apalagi badannya tinggi besar, bahkah ada yang setinggi 3,70 m, seperti Dvarapala yang di Singosari, Malang. Padahal ia dalam posisi jongkok.

Drs. Supratikno Rahardjo, M.Hum., dosen arkeologi UI yang merupakan pakar Dvarapala, menyatakan, arca pemegang gada itu dikenal juga dengan nama Yaksha.

Sebelum dewa-dewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, Dvarapala yang merupakan makhluk gaib, dipuja orang India sebagai sumber kehidupan karena melindungi pertanian.

Kemudian setelah pantheon dewa muncul dalam sistem kepercayaan di India, Yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di bawah dewa.

Pada perkembangan berikut, Yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. la menghiasi stupa bersama makhluk lain, seperti terdapat di Stupa Bharhut, India, pada abad I Masehi.

Sedangkan di Sanchi, Yaksha seakan-akan "melindungi" dan "menjaga" bangunan suci di puncak Torana. Tugas Yaksha sebagai pelindung itulah yang kemudian berkembang hingga menjadi Dvarapala.

(Baca juga:Berkat Kejelian Mbah Karto, Candi Jawi si Penyendiri Bisa Utuh Kembali)

Dvarapala merupakan makhluk yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang menuju bangunan suci candi.

la memiliki kekuasaan untuk melindungi dari berbagai serangan kekuatan jahat. Sesuai tugasnya itu, Dvarapala sang penjaga candi tidak saja digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan wujud fisiknya, tetapi masih dilengkapi dengan berbagai senjata dan atribut lain.

Senjata-senjata yang disandangnya memang sengaja untuk menciptakan kesan menakutkan.

Sebagian besar Dvarapala memang memegang gada. Alat pemukul itu dianggap lambang penghancur, sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan.

Juga dipercaya, senjata maut itu berfungsi sebagai tongkat kematian atau hukuman. Atribut lain umumnya adalah ular atau naga.

Dua satwa itu perlambang kehidupan air (water spirit) yang dapat mendatangkan hujan. Tetapi jangan bikin Dvarapala murka, watak aslinya sebagai penghancur akan muncul.

Lihat saja atribut ular naga yang disandang Dvarapala penjaga Candi Plaosan di daerah Prambanan, Jawa Tengah.

Penjaga itu menggunakan tali jerat (pasa) berbentuk ular sebagai senjata untuk menjerat dan menangkap musuh, khususnya makhluk-makhluk jahat. Tali jerat berupa ular naga itu, dalam ilmu ikonografi, disebut nagapasa.

Senjata andalan lainnya adalah golok atau pisau belati. Senjata itu lambang kemenangan atas makhluk-makhluk jahat.

Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya.

Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia.

Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama.

Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga makhluk gaib menyeramkan ini.

(Baca juga:Membaca Cerita Ramayana Melalui Relief Candi Penataran, Sssttt… Jangan Salah Arah, Ya!)

Yang tua tidak pegang gada

Supratikno Rahardjo mengumpulkan data tentang arca-arca Dvarapala Jawa Tengah dalam penelitian tahun 1983, dan dilanjutkan lagi sekarang.

Yang terbanyak ditemukan di daerah Prambanan dan Kalasan, Yogyakarta, di antaranya berasal dari Candi-candi Kalasan, Lara Jonggrang, Lumbung, Sewu, Asu, Plaosan Lor, Sajiwan, Kalongan.

la juga membandingkannya dengan Dvarapala Borobudur yang kini berada di Bangkok, Thailand.

Dalam pengamatannya terhadap arca-arca tersebut, Dvarapala Borobudur belum dianggap sebagai hasil karya seni bermutu tinggi.

Teknik pahatannya masih kasar. Senjatanya hanya satu, yakni belati yang digenggam tangan kanan. Ekspresi mukanya tidak menakutkan, bahkan tampak "menyedihkan" dengan mulut yang menunjukkan ekpresi tenang.

Supratikno berpendapat, Dvarapala sederhana itu mungkin penjaga bangunan candi dekat Candi Borobudur yang ukurannya lebih kecil, namun umurnya lebih tua dari Candi Borobudur (diperkirakan sebelum tahun 770 M).

Jadi bukan penjaga Candi Borobudur, karena agaknya seniman Borobudur tidak memerlukan Dvarapala.

Di Borobudur fungsi penjaga sudah digantikan oleh singa-singa yang mengapit jalan masuk menuju puncak candi.

Sedangkan Dvarapala-dvarapala dari Candi Sewu menunjukkan hasil karya seni yang lebih tinggi ketimbang yang dari Borobudur.

Kalau Dvarapala Borobudur tidak mengenakan ikat kepala dan upawita (tali kasta), serta tidak memegang ular dan gada, maka Dvarapala Candi Sewu memiliki seluruh atribut itu.

Garapannya pun lebih halus dan rumit. Supratikno berpendapat, Dvarapala Candi Sewu mungkin dibuat sebelum tahun 782 M.

Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesian Art (1959) sempat mengamati sejumlah Dvarapala dari situs-situs candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Empat Dvarapala yang ditemukan di selatan Candi Kalasan, Yogyakarta, berukuran tinggi 1,90 meter.

Rambut gimbal terurai tanpa ikat kepala, tangan kanan memegang nagapasa, sedangkan telapak tangan kiri bertumpu pada sebuah gada yang diturunkan ke tanah.

Tak lupa pisau besar terselip di pinggangnya. Kempers menduga arca-arca itu merupakan penjaga pintu masuk Candi Kalasan, namun sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi.

Dvarapala yang terdapat di sekitar Candi Singasari di Malang, Jawa Timur, menurut Kempers, adalah raksasa penjaga alun-alun Kerajaan Singhasari (1222 - 1292).

Raksasa ini menjaga pintu masuk Keraton Singhasari yang diperkirakan lokasinya tidak jauh dari Candi Singasari sekarang.

Dvarapala Singasari itu memiliki karakter yang lebih damai, kata Kempers. Padahal sebenarnya ekspresi penjaga itu dimaksudkan oleh seniman Jawa supaya tampak sangar.

Alis matanya melengkung dengan mata melotot. Dari lekuk mulutnya terlihat taring-taringnya. Tangan kiri bertelekan pada sebuah gada yang berat berhiaskan vajra.

Ular dan tengkorak yang disandangnya seharusnya membuat lawan gemetar.

Dvarapala dari Jawa Timur memang lebih bervariasi baik ekspresi maupun penampilannya. Arca-arca Dvarapala Candi Panataran di Blitar tampil berbeda.

Selain Dvarapala jongkok, ada pula yang berdiri. Ada pula dvarapala perempuan, bahkan ada yang sambil menggandeng anaknya. Tentu, meski bayi, penampilannya tetap saja garang.

Penampilan Dvarapala yang secara fisik kelihatan sangar tetapi ekspresinya tenang ternyata dilandasi oleh suatu filosofi.

Menurut Supratikno, dvarapala juga berperan serupa dengan Dharmapala atau "pelindung dharma" seperti dikenal dalam Buddhisme di Tibet.

Sebagaimana Dharmapala, meski Dvarapala berwujud menyeramkan, namun perannya tidak jahat. Pemahaman itu rupa-rupanya mengilhami para seniman Jawa untuk menggambarkan makhluk ini secara tidak terlalu menakutkan.

Perhatikan mulutnya, sering digambarkan ekspresi mulut yang "tersenyum".

Lengser

Sepasang Dvarapala mungil dari lereng selatan G. Semeru baru setahun silam diturunkan orang.

Setelah ratusan tahun menjaga kesucian G. Mahameru dan bangunan-bangunan pemujaan yang ada di lerengnya, kini Dvarapala itu terpuruk di ruang sempit rumah penduduk.

Tugasnya dinyatakan selesai. Terbukti, tidak ada upaya mengembalikan posisinya sebagai penjaga candi di G. Semeru.

Nasib malang tidak hanya menimpa Dvarapala dari G. Semeru itu. Dvarapala-dvarapala lainnya mengalami nasib hampir serupa. Dvarapala turun pangkat.

Bila dulu mereka menjadi-penjaga bangunan suci dan pendamping Buddha, kini Dvarapala banyak dipasang di hotel, kantor, dan bahkan rumah mewah pribadi.

Apa pun sebutannya, apakah Thotok Kerot di Jawa Timur atau Reco Gupolo di Prambanan dan sekitarnya, kini, tampaknya Dvarapala sudah kehilangan makna.

(Ditulis oleh Nurhadi Rangkuti/Daniel Agus Maryanto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2000)

Artikel Terkait