Advertorial

Suara Perempuan: Inilah 7 Alasan Kami Tak Bisa Suarakan Perlawanan Soal Pelecehan dengan Lantang!

Ade Sulaeman

Editor

Ada alasan yang sangat rasional dan emosional mengapa perempuan jarang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap aksi pelecehan!
Ada alasan yang sangat rasional dan emosional mengapa perempuan jarang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap aksi pelecehan!

Intisari-Online.com—Tagar #metoo yang sempat trending beberapa hari yang lalu mengungkap kebisuan para perempuan yang pernah mengalami pelecehan bahkan kekerasan seksual.

Kebisuan para korban bukan tidak beralasan.

Ada alasan yang sangat rasional dan emosional mengapa perempuan jarang bahkan tidak bisa menyuarakan dengan lantang perlawanannya.

Laman Psychologytoday.com merilis surat terbuka pada kaum pria yang dapat mewakili suara perempuan di dunia mengenai isu pelecehan atau kekerasan pada perempuan:

(Baca juga: Bagaimana Tagar ‘Me Too’ Berhasil Mengekspos Kasus Pelecehanan Seksual di Seluruh Dunia?)

(Baca juga: Hati-hati! Korban Pelecehan Seksual di Masa Kecil Berpotensi Alami Kecanduan Seks saat Dewasa)

Untuk para pria,

Kami mengerti mengapa kalian sulit memahami bahwa ternyata banyak di antara kami, kaum perempuan, pernah bahkan sering mengalami pelecehan seksual.

Penyebabnya adalah karena kami jarang sekali membicarakan hal ini pada publik atau menceritakannya pada orang lain.

Faktanya 90% perempuan korban pelecehan seksual tidak pernah melaporkan peristiwa menjijikkan itu.

Dan kami paham betul, diamnya kami akan isu ini membuat banyak orang yang bertanya-tanya, apa lagi jika kami berusaha bertahan sekalipun si pelaku pelecehan masih berkeliaran di sekitar kami.

Jawaban simpelnya mengapa kami tidak membicarakan itu bukanlah karena kami perempuan yang bodoh.

Namun, jika kalian membutuhkan jawaban yang panjang. Berikut tujuh alasan mengapa kami tidak bisa bersuara lantang melawan isu pelecehan seksual:

Pertama, kami tidak ingin stigma sebagai korban pelecehan melekat pada diri kami.

Sebab ketika kami mencoba membicarakan hal ini, pandangan dan penilaian orang akan mengikuti kami seumur hidup.

Jika kami cukup kuat membela diri, maka label “korban pelecehan seksual” akan terus melekat dalam diri kami.

Jika tuduhan kami terlihat tidak berarti, maka orang-orang akan menganggap kami sebagai perempuan yang suka cari perhatian, delusional, penipu, terlalu sensitif, cengeng, dan lemah.

Kedua, ketika kami membicarakannya risiko besar sudah menanti, lebih dari pada manfaat yang kami terima setelah itu.

Jika kami melaporkannya, maka pemeriksaan dan penyelikan akan memakan waktu yang lama.

Juga, di saat itu kami sebagai korban akan menanggung malu dalam pekerjaan, keluarga, dan lingkungan sosial.

Kami juga berulang kali harus berurusan dengan si pelaku diiringi rasa takut peristiwa itu akan terjadi kembali.

Ketiga, kami tidak memiliki banyak orang di pihak kami.

Kami berharap agar identitas kami tidak diketahui publik sebagai korban pelecehan seksual.

Apalagi tidak banyak orang yang berani mendukung kami untuk melawan perbuatan jahat pelaku pelecehan itu.

Keempat, tidak ada hukuman berat untuk pelaku.

Walau kami bersuara dengan lantang, kami tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada perempuan-perempuan lainnya di seluruh dunia yang mengalami hal menyedihkan ini.

Tentu banyak yang mengalaminya, tapi kami tak kuasa untuk melawan.

Kelima, kami tidak berharap kalian mempercayai kami, tapi memang kalian tidak mudah mempercayai pengakuan kami.

Karena apa? Karena kami tidak memiliki bukti.

Yang kami punya hanyalah pengalaman menyedihkan dan amarah.

Dan sayangnya, terkadang pengakuan kami ini tidak berarti apa-apa tanpa bukti.

Keenam, sejujurnya kami tidak ingin disalahkan dalam hal ini.

Ketika kami buka suara soal pelecehan seksual, maka kalian cenderung menyalahkan kami.

Menanyakan pakaian apa yang kami kenakan, apakah kami mabuk, apakah kami menggoda si pelaku, atau yang paling parah apakah ada yang salah dengan riwayat seksual kami?

Ketujuh, inilah cara kami untuk meghormati diri sendiri.

Mungkin alasan yang paling menyedihkan mengapa kami tidak berbicara adalah karena kami malu.

Malu akan diri sendiri.

Sebab kami tidak melakukan apapun yang salah, namun pelecehan tetap saja terjadi!

Bagaimana, sudahkah kalian mengerti mengapa kami sulit melawan pelecehan dan kekerasan seksual?

Kami berusaha menanganinya secaea pribadi, tapi sejujurnya kami membutuhkan simpati dan empati dari kalian.

Terimakasih karena sudah peduli untuk membaca surat ini.

Semoga isu pelecehan seksual bukan saja menjadi kekhawatiran kaum perempuan saja, namun menjadi keprihatinan semua orang.

Salam dengan penuh ketulusan,

Perempuan

Artikel Terkait