Advertorial
Intisari-Online.com – Suatu hari seseorang yang tidak saya kenal mengirim e-mail kepada saya.
Dia mengaku mengenal saya dari seorang yang pernah bertemu dengan saya satu kali. Hanya satu kali.
Dia menyadarkan saya bahwa saya hidup di dunia digital ketika perkawanan tidak boleh lagi dibatasi oleh pertemuan fisik. Singkat cerita, dia meminta tolong kepada saya.
(Baca juga:Agus Mengaku Dijanjikan Imbalan Rp2 Miliar oleh Margareith untuk Membunuh Angeline)
Dalam urusan tolong-menolong, saya masih mengikuti cara pandang kebanyakan orang, yang mirip hukum fisika Newtonian.
Jika saya membantu seseorang, apa yang akan saya peroleh sebagai imbalan? Tapi untungnya saat itu saya ingat pesan Ibu agar saya menjadi orang baik (:p).
Menolong orang lain harus ikhlas, tak perlu berharap imbalan. Maka saya pun membantunya.
Setelah itu, beberapa kali ia kembali minta bantuan. Dia beruntung karena saya masih selalu ingat pesan Ibu.
Tapi suatu hari, ketika nilai permintaannya semakin tinggi, saya berpura-pura lupa terhadap pesan Ibu. Saya menganggap kawan maya ini berlebihan. Sudan dikasih hati, malah minta ampela.
Beberapa waktu setelah itu, saya menemui kesulitan dalam urusan kerja. Biasanya saya tidak mengalami banyak kesulitan saat menghubungi narasumber untuk wawancara.
Tapi kali ini para narasumber yang saya hubungi itu seolah-olah bersekongkol untuk menjawab "tidak punya waktu untuk wawancara".
Saya teringat lagi kawan maya itu. Saya membayangkan diri berada di dalam posisi dia. Saat menghubungi seorang narasumber, saya pun sama sekali tidak mengenalnya. Saya bisa mengenalnya karena bantuan teknologi informasi.
Sama seperti kawan maya itu mengenal saya. Saat itulah saya baru tahu posisi saya yang sebenarnya.
Selama ini, tiap kali mewawancarai seseorang, sebetulnya saya sedang minta tolong kepadanya sebagai orang yang sama sekali tidak kenal. Tapi saya tidak pernah menyadari itu.
(Baca juga:Ada Teman Anda yang Rendah Diri, Lakukan Ini untuk Menolongnya)
Dalam berinteraksi dengan orang lain, kita memang cenderung lebih banyak mengingat piutang.
Kita tidak begitu menyadari bahwa utang kita sebetulnya jauh lebih banyak. Mungkin Ibu pernah menasihati saya dalam hal ini tapi saya lupa. (EmSol)