Sebetulnya pada dekade 50-an Matvey sudah tidak aktif berkarya. Karya terakhirnya, Monumen Ivan Pavlov di Kota Ryazan, diselesaikan tahun 1950.
Soekarno mengundang the Manizers untuk datang ke Indonesia dan membuat sebuah karya yang diilhami keadaan di Indonesia. Matvey pun datang ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi. Ia akhirnya terpesona oleh cerita perjuangan rakyat yang konon berasal dari Jawa Barat, yakni ada seorang ibu yang mendukung anaknya pergi berperang demi kemerdekaan dan Tanah Airnya. Sang ibu itu membekali anaknya dengan makanan dan harapan.
(Baca juga: Seberapa Sejahtera Sih Negara-negara dengan Paham Komunis saat Ini?)
Manizer lalu mewujudkan gagasan itu sekembalinya ke Uni Soviet. Beberapa lama di tahun 1963 ia menyelesaikan patung tersebut. Lalu setelah selesai sempurna, patung tersebut dikirimkan ke Jakarta melalui kapal laut, diberikan sebagai tanda persahabatan Moskow-Jakarta.
Patung tersebut akhirnya ditempatkan di Menteng, dan diberi judul Patung Pahlawan. Soekarno melengkapi karya ini dengan membubuhkan kata-kata “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.
Ini bukan pertama kalinya Patung Pahlawan dipersoalkan. Pada 2001, kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Anti Komunis (AAK), sempat mengancam akan merobohkan patung tersebut.
Jauh sebelumnya, pada 1982, Letjen (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo, menganggap Patung Tani sebagai pengejawantahan petani yang dipersenjatai. “Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu. Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan,” katanya dikutip Tempo, 1982.
Karena menganggap patung itu pengejawantahan angkatan kelima PKI, Sarwo Edhie menghimbau Gubernur Jakarta Suprapto agar meninjau kembali pemasangan patung tersebut. “Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia, organisasi terafiliasi dengan PKI), apa harus, kita pasang terus?” ujar Sarwo Edhie, yang kala itu menjabat Irjen Departemen Luar Negeri.
(Baca juga: Soal Film Gerakan 30 September, Ini Permintaan Presiden Jokowi)
Gagasan Sarwo Edhie ditentang Wakil Presiden Adam Malik yang terlibat dalam proses terwujudnya patung tersebut. Menurut Adam Malik, patung itu mengabadikan perjuangan merebut Irian Barat yang disiapkan, dibuat, dan terpancang jauh sebelum meletusnya G30S. Sukarno meresmikan patung tersebut pada 1963.
“Salah sama sekali jika dikatakan bahwa patung itu berbau kolone kelima,” kata Adam Malik. (*)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR