Advertorial

Sangar! Umur 14 Tahun Semaun Sudah Anggota Sarekat Islam dan Memimpin Pemogokan Petani

Moh Habib Asyhad

Editor

Dengan ijazah dan kedudukannya sebagai pegawai kereta api S.S. itu sebenarnya masa depan Semaun telah terjamin.
Dengan ijazah dan kedudukannya sebagai pegawai kereta api S.S. itu sebenarnya masa depan Semaun telah terjamin.

Intisari-Online.com – Semaun dilahirkan di Mojokerto pada 1899, sebagai putra bapak Prawiroatmodjo yang berputra 9 orang anak.

Salah seorang saudara kandungnya adalah Puger yang pernah menjadi anggaota DPRGR.

Dalam usia 7 tahun ia masuk Hollandsch Lagere School (Sekolah Dasar Belanda ) di Surabaya.

Kecerdasan dan ketajaman otaknya telah nampak pada masa pendidikan ini. Pada 1912, waktu ia duduk dikelas VI, berkat kecakapannya, ia diperkenankan menempuh ujian “Klein Ambtenaar” (Pegawai Pamongpraja Rendah), ternyata dapat lulus dengan hasil baik.

(Baca juga:Aidit ketika Diwawancarai Intisari pada Maret 1964: ‘Puncak Perjuangan Politik Saya adalah Proklamasi Kemerdekaan, Entah Nanti...’)

Ia tidak melanjutkan pelajarannya karena keadaan orangtuanya tidak mampu, dan dengan ijazahnya itu ia kemudian diterima bekerja di kereta api S.S. (Staats Spoor Maatschapi = Perusahaan Kereta Api Negara).

Namun demikian hasratnya untuk belajar tidak pernah padam di sore hari di samping kegiatan-kegiatan lainnya ia masih sempat belajar, sehingga ia berhasil mencapai ijazah “Hollandsche Komis" (Komis A), suatu prestasi yang pertama-tama berhasil dicapai oleh seorang Bumiputra di Surabaya pada saat itu.

Beberapa waktu kemudian ia bahkan berhasil mencapai ijazah “Komis C”suatu ijazah yang pada saat itu dihargai setingkat dengan ijazah HBS.

Dengan ijazah dan kedudukannya sebagai pegawai kereta api S.S. itu sebenarnya masa depan Semaun telah terjamin.

Tetapi panggilan rasa kemanusiaannya dan panggilan rasa kebangsaannya menyebabkan ia tak bisa menutup telinga dan menutup mata terhadap penderitaan dan perilaku tidak adil yang dialami bangsanya sebagai akibat penjajahan.

Ia lepaskan kemudian kariernya sebagai pegawai, dan terjun dalam pergerakan nasional.

Menjadi anggota Sarekat Islam

Pada tahun 1913, dalam usia 14 tahun, ia telah diterima menjadi anggota Sarekat Islam (S.I.) cabang Surabaya, suatu hal yang sebenarnya belum mungkin bagi seorang anak semuda itu.

Sarekat Islam yang didirikan oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1912 adalah penjelmaan dari sebuah organisasi kaum pedagang Islam yang semula bernama Sarekat Dagang Islam (S.D.I).

Salah satu dorongan yang membuat kaum pedagang bersatu adalah rasa senasib menghadapi tekanan-tekanan kaum leverancier pedagang-pedagang Tionghoa.

Karena itu pada tahun-tahun pertama berdirinya Sarekat Islam (SI), salah satu kegiatannya antara lain masih ditujukan untuk melakukan pemboikotan-pemboikan terhadap pedagang-pedagang Tionghoa.

Di Surabaya, toko-toko Tionghoa tertentu yang hendak dijadikan sasaran boikot SI diberi tanda “Kode Rahasia” yang hanya diketahui artinya oleh para anggota SI saja.

Tiap-tiap anggota SI diwajibkan memegang teguh rahasia kode-kode tersebut yang dikuatkan oleh sumpah pada saat pelantikannya menjadi anggota.

Secara kebetulan saja, pemuda Semaun mengetahui "Kode Rahasia" SI tersebut, sehingga dalam usia semuda itu ia terpaksa diterima jadi anggota SI.

Rasa kemanusiaannya tergugah

Sejak Semaun masih duduk di bangku sekolah ia sudah gemar membaca, terutama buku-buku yang menyangkut masalah-masalah kemanusiaan seperti kitab Injil, walaupun ia seorang Islam yang taat.

Salah satu ajaran kitab Injil yang paling berkesan dihatinya adalah ajaran Isa Al Masih yang berbunyi: “Sayangilah sesama manusia- seperti engkau menyayangi dirimu sendiri.”

Rasa kemanusiaannya yang perasa, menyebabkan pemuda Semaun itu tak bisa diam berpangku tangan, waktu ia dengan mata kepala sendiri menyaksikan penderitaan kaum petani di daerah tanah partikelir yang diperlakukan tidak adil oleh para pemilik.

Pada saat itu di Surabaya dan di daerah sekitarnya masih banyak terdapat tanah-tanah partikelir, yaitu sebagai warisan dari zaman Gubernur Jenderal Daendels yang menjual tanah-tanah tersebut kepada pihak partikelir, yaitu kepada orang-orang Tionghoa atau orang Belanda kaya.

Di daerah-daerah tanah partikelir itu, tuan tanah mempunyai kekuasaan seperti seorang raja kecil. la dapat mengangkat dan memberhentikan Iurah-lurah di daerahnya, dan mempunyai wewenang menuntut semacam kerja rodi pada penduduk di daerahnya.

Dan yang paling dirasa tidak adil oleh pemuda Semaun adalah peraturan pembagian hasil panen. Di daerah tersebut para petani penggarap hanya kebagian seperlima dari hasil sawah garapannya. Empat perlima harus diserahkan kepada sang pemilik tanah.

Untok menghadapi perlakuan yang tidak adil itu, Semaun kemudian mengorganisir para petani di daerah tanah partikelir yang umumnya adalah anggota SI untuk melakukan pemogokan, menuntut pembagian hasil panen yang adil, yaitu separuh hasil untuk petani penggarap.

Tindakan tersebut adalah aksi pemogokan pertama yang dipimpinnya,yang di kemudian hari akan berkali-kali ia lakukan. Aksi pemogokan itu ternyata membawa hasil jang diharapkan.

Sejak itu namanya menjadi terkenaldi kalangan anggota SI. Kegiatan Semaun itu segera menarik perhatian pimpinan SIsetempat.

Semaun yang masih muda belia itu lalu diangkat mendjadi sekretaris lokal SIdi Surabaya.

Sebagai pengurus SI ia makin bertindak aktif di lapangan sosial. Usahanya untuk memperbaiki nasib para petani di atas kini ditingkatkan dengan jalan menuntut kepada pemerintah, agar dihapuskan semua tanah partikelir, dan membagikannya kepada para petani penggarapnya.

Tetapi tokoh Semaun waktu itu masih terlalu kecil. Tuntutannya dianggap sepi. Ia kemudian mencari jalan lain untuk menarik perhatian pemerintah Belanda.

Semaun tahu bahwa pada saat itu ada usaha dari pihak Jepang untuk mencari simpati rakyat Indonesia.

Ia kemudian menghubungi seorang bankir Jepang di Surabaya dan memberi anjuran agar pihak Jepang mau melikuidasi tanah-tanah partikelir di Surabaya, dan kemudian melakukan perbaikan-perbaikan sosial para petani di daerah itu.

Agar nanti Jepang akan memperoleh simpati dari para petani Indonesia.

Anjuran Semaun itu mendapat tanggapan positif dari bankir Jepang itu, dan yang lebih panting lagi, usahanya itu kemudian dapat pula menarik perhatian pemerintah dan parlemen Belanda.

Parlemen Belanda yang merasa cemas kalau-kalau Jepang sampai mendapat keuntungan dengan adanya kepincangan-kepincangan di tanah partikelir itu lalu menuntut kepada pemerintah agar tanah-tanah partikelir dihapuskan.

Tuntutan tersebut secara berangsur-angsur kemudian dilaksanakan oleh pemerintahs Belanda.

Berkenalan dengan Sneevliet

Ketenaran Semaun di Surabaya segera menarik perhatian seorang sosialis Belanda, Sneevliet, ketua, I.S.D.V (Indische Sosiaal Democratische Vereniging) dan V.S.T.P. (Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel = Persatuan Buruh Kereta api dan Trem) di Semarang.

Sneevliet menyadari bahwa I S.D.V dan V.S.T.P. yang tak mempunjai massa rakyat itu membutuhkan seorang tokoh propagandis Indonesia yang bisa memikat hati rakyat banyak.

Itulah sebabnya, Sneevliet kemudian mendekati pemuda Semaun dan mencoba memikatnya. Perkenalan pertama Semaun dan Sneevliet terjadi di Surabaya pada tahun 1915 dan dari padanya Semaun kemudian belajar berkenalan dengan ajaran sosialisme.

Anak muda yang baru berusia 16 tahun itu, karena kurang pengalamannya, dan didorong pula oleh semangat mudanya yang menyala-nyala, segera tertarik kepada ajaran dan semboyan-semboyan yang menarik seperti: "Sama rata sama rasa"— "Semua orang adalah sama, tak ada perbedaan antara orang kulit putih dan orang kulit berwarna" dan sebagainya.

Di tengah-tengah orang-orang Belanda yang bermental kolonial yang menganggap dirinya superior itu, maka tokoh Sneevliet yang bersemboyankan persamaan itu, cepat menarik simpati pemuda Semaun.

Semaun adalah orang Indonesia dan anggota SI yang pertama-tama mempelajari ajaran-ajaran sosialisme.

Menurut Semaun, ia tertarik kepada ajaran-ajaran sosialisme bukan karena filsafatnya tetapi karena sikap adilnya dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan.

Pada saat itu ia sendiri, begitu juga orang-orang SI lainnya yang kemudian menjadiPKI tidak mengetahui bahwa di dalam ajaran sosialismenya Marx itu terkandung pula prinsip-prinsip ateisme yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Itulah sebabnya pada saat itu banyak pula haji-haji dan kiai-kiai yang tertarik pula menjadi pengikut Semaun.

Atas ajakan Sneevliet, Semaun kemudian menjadi anggota ISDV dan VSTP. Ia tertarik semata-mata karena sikap organisasi tersebut yang bersimpati kepada perjuangan bangsa Indonesia, dan menentang berbagai penjajahan.

Dalam suatu kongres yang kemudian diadakan, Semaun terpilih menjadi wakil ketua ISDV dan VSTP. Sejak itu Semaun lalu pindah ke Semarang dan melepaskan kariernya sebagai pegawai kereta api S.S. di Surabaya.

Keanggotaan Semaun dalam kedua organisasi tersebut tidak pula mengurangi kegiatannya dalam SI. Bahkan dalam kongres SI cabang Semarang tahun 1917, anak muda yang baru berusia 18 tahun itu kemudian terpilih pula menjadi ketua cabang SI Semarang.

Berkat kepandaiannya berorganisasi dan kepopulerannya di bawah pimpinannya, SI Semarang berkembang pesat. Jumlah anggotanya sampai ratusan ribu, tersebar sampai jauh di luar kota Semarang, di pelosok-pelosok desa.

Kalau ia sedang berpidato, ribuan orang tertarik dan terpesona oleh pancaran matanya yang tajam dan ucapan-ucapan katanya yang penuh gaya dan emosi.

Demonstrasi "Caping cekutuk "

Pada tahun 1918, SI cabang Semarang melangsungkan suatu rapat tertutup di salah satu gedung di dekat alun-alun Semarang.

Rapat itu memutuskan untuk mengumumkan putusan program perjuangan SI di rapat terbuka yang akan diselenggarakan di suatu lapangan luas di dekat stasiun kereta api Tawang.

Agar dengan demikian program perjuangan itu bisa diketahui oleh massa rakyat.

Setelah rapat tertutup itu selesai, para anggauta SI yang hadir diperintahkan untuk bersama-sama pergi menuju ke lapangan tersebut.

Untuk membedakan antara orang-orang anggota S.I. dan yang bukan, maka orang-orang S I. diwajibkan mengenakan "Caping cekutuk " dalam perjalanan tersebut.

"Caping cekutuk" atau sering juga disebut caping keropak adalah sejenis topi berbentuk kerucut lebar yang dibuat dari daun nipah biasa dipakai petani di musim panen dapat dibeli di warung-warung, dan murah harganya.

Tanpa direncanakan dan dipersiapkan, perjalanan para anggota S.I. bercaping cekutuk menuju ke lapangan itu kemudian ternyata berubah menjadi suatu demontrasi S.I. pertama yang unik.

Dengan penuh gembira dan bersemangat dalam perjalanan tersebut mereka meneriakkan semboyan seperti "Hidup SI.", "Hidup Semaun", "Hidup Sosial Demokrat", bahkan disaat itu telah pula terdengar teriakan "Merdeka".

Demontrasi yang tidak direncanakan itu makin lama makin menjadi panjang dan ramai, karena secara spontan kemudian diikuti pula oleh rakyat umum di sepanjang jalan yang mula-mula hanya berdiri sebagai penonton.

Lalu lintas di jalan-jalan raya yang dilalui hampir-hampir menjadi lumpuh karenanya. Maka bisa dibayangkan betapa terkejut dan repotnya polisi-polisi kolonial di Semarang pada saat itu. Polisi ternyata tak mampu membubarkan demonstrasi tersebut.

Menteri keterangan bapak Semaun, semboyan "Merdeka” baru pertama kali itulah diperdengarkan.

Dalam rapat tertutup sebelumnya, pernah ia menanyakan kepada para hadirin, apa terjemahan Belanda " Vrij" dalam bahasa Melayu? Secara spontan kemudian ada seorang yang menjawab "Merdika" dengan ejaan Djawa "di" bukan "de" pada kata itu.

Kata itu kemudian dipergunakan pula oleh Semaun untuk menamai surat kabar TSDV berbahasa Melayu yang dia pimpin, bernama "Suara Merdeka", sebagai terjemahan kata "Het Vrije Woord" yang mendjadi nama harian ISDV yang berbahasa Belanda.

Pengaruh Semaun dalam tubuh S.I.

Berkat kepopulerannya, maka Semaun (20 tahun) pada tahun 1919 telah terpilih menjadi anggota pimpinan Central S.I. ( C.S.I. ), di samping jabatannya sebagai ketua cabang S.I. Semarang.

Semaun yang diharapkan Sneevliet mendjadi propagandis sosialisme itu ternyata benar-benar memenuhi harapannya.

Dengan berkembangnya zaman, dan Iebih-lebih setelah berhasilnya revolusi Rusia tahun 1917, maka sikap Semaun makin bergeser ke kiri. Hal ini berpengaruh pula terhadap perkembangan S.I.

Sikap politik S.I. yang mula-mula masih bersifat lunak dan loyal pada pemerintah Hindia Belanda itu makin lama makin cenderung ke sikap keras, bercorak nasionalisme radikal dan sosialisme kiri.

Sementara itu para pemimpin S. I. lainnya yang sebenarnya bukan orang-orang sosialis, tetapi demi untuk mengimbangi pengaruh Semaun tersebut kemudian ikut-ikut pula berlomba-lomba dalam hal sikap "kiri".

Sampai-sampai S.I. yang semula pendirinya adalah kaum pedagang itu, jadi orang-orang "kapitalis kecil", terseret pula ke semboyan "anti kapitalisme'.

Walaupun oleh H.O.S. Tjokroaminoto kemudian diberi pula predikat, "Anti kapitalisme yang zondig" (yang jahat), yang dimaksud adalah kapitalis asing.

Bahkan orang-orang kaya raya seperti Niti Semito yang terkenal sebagai raja rokok kretek Kudus itu, begitu juga halnya Haji Busro orang terkaya di kota Semarang pada saat itu, ikut mendukung S.I. Semaun.

Di waktu-waktu Semaun melancarkan aksi-aksi mogok, maka merekalah terutama yang menjadi sumber bantuan material SI yang tiada sedikit.

Begitu besar pengaruh Semaun dengan paham sosialisnya itu sampai-sampai H.O.S. Tjokroaminoto dalam usahanya mengimbangi pengaruh itu menulis buku berjudul "Islam dan sosialisme".

Dengan usaha tersebut, H.O.S. Tjokroaminoto hendak menegaskan, bahwa bagi orang Islam sebenarnya tak perlu menganut ajaran sosialisme lain, karena dalam ajaran Islam sendiri sebenarnya telah terkandung pula ajaran sosialisme.

Namun demikian, rahasia kekuatan pengaruh Semaun itu sebenarnya tidak bertolak pada paham sosialisnya, tetapi justru terletak pada sepak terjang dan sikapnya yang tegas-tegas anti imperialisme dan kolonialisme.

Pengaruh Semaun yang makin meluas itu akhirnya disadari pula bahayanya oleh sementara pemimpin S.I. yang masih tetap memperhatikan kemurnian S.I. yang berazaskan ke Islaman.

Lebih-lebih setelah Semaun pada tanggal 23 Mei 1920,mendirikan Perserikatan Komunis India (P.K.I.) sebagai pendjelmaan ISDV maka pengaruh Semaun oleh mereka tak bisa ditolerir lagi.

Demikianlah, pada kongres S.I. di Surabaya pada bulan Oktober 1921, kemudlan diambil resolusi "Partai disiplin", yang maksudnya melarang tiap anggota S.I.merangkap menjadi anggota organisasi/partai lain.

Resolusi itu jelas ditujukan terhadap Semaun dan pengikut-pengikutnya. Waktu itu Semaun tidak hadir dalam kongres tersebut, karena sedang menghadiri kongres Kaum Buruh Timur Jauh di Moskow, ia baru kembali ke Tanah air pada tanggal 24 Mei 1922.

Sebagai reaksi dari Partai disiplin itu, cabang-cabang S.I. yang pro Semaun lalu melangsungkan kongres terpisah di Semarang, pada tanggal 24 Desember 1921.

Mereka memutuskan untuk keluar dari CSI dan membentok cabang S.I. yang pro Semaun menjadi Central S.I. Merah, sebagai tandingan C.S.I. Tjokroaminoto yang kamudian sebagai C.S.I. "Putih".

Waktu Semaun kembali ke Tanah air, ia masih mencoba untuk mempersatukan kembali dua macam S.I. yang telah pecah itu; namun usahanya tak berhasil.

Bahkan dalam kongres SI. di Madiun dalam bulan Februari 1923 kemudian, resolusi partai disiplin tersebut kembali dipertegaskan.

Semaun bergeser "ke kanan"?

Suatu hal yang menarik adalah perubahan sikap Semaun sekembalinya dari kunjungannya ke Moskow; ia bukannja bertambah revolusioner tetapi malah bersikap lebih moderat.

Dalam suatu rapat di Semarang pada tanggal 4 Juni 1922, antara lain ia berkata bahwa metode-metode kekerasan yang digunakan kaum Bolsjewik di Rusia untuk merebut kekuasaan itu tak dapat begitu saja diterapkan di Indonesia, karena kondisi Indonesia tidak sama dengan Rusia.

la kemudian memperingatkan kawan-kawannya agar supaya bertindak tenang dan sabar, serta mempertahankan persatuan dan disiplin, mempertimbangkan berhati-hati segala soal dan menghindarkan diri dari pada keputusan-keputusan yang tergesa-gesa.

Atas sikap Semaun tersebut, beberapa pembicara dalam rapat itu menuduh Semaum telah bertolak "ke kanan".

Dikemudian hari waktu PKI merencanakan pemberontakan pada tahun 1926, Semaun yang pada saat itu telah berada dalam pengasingan di luar negeri tak bisa menyetujui rencana tersebut; karena beranggapan bahwa waktunya kurang tepat, dan belum masak-masak dipersiapkan.

Ia pun tak bisa pula menerima rencana Muso untuk melancarkan gerakan anarki di Indonesia, karena gerakan demikian dianggapnya bertentangan dengan azas-azas sosialisme.

Di antara tokoh-tokoh PKI yang sepaham dengan pendirian Semaun itu adalah Tan Malaka dan Darsono.

Akibat dari sikap mereka itu, maka mereka lalu disisihkan dari pimpinan PKI, dan dituduh sebagai orang-orang Trotzky.

Dan berpangkal pada perbedaan pendapat tersebut, maka di kemudian hari sewaktu Semaun pulang ke Tanah Air pada tahun 1956, ia tidak diterima menjadi anggota PKI-nya Aidit; Semaun kemudian masuk menjadi anggota Partai Murba, yaitu partai yang didirikan oleh Tan Malaka di awal kemerdekaan.

Pemogokan dan pembuangan

Nama Semaun tak bisa pula dipisahkan dari sejarah perserikatan buruh di Indonesia. Peranannya sebagai tokoh perserikatan buruh telah dimulai sejak ia masih bekerja di jawatan kereta api S.S. di Surabaya di tahun 1915.

Dikala itu ia telah mengadakan gerakan menuntut penghapusan perbedaan gaji antara pegawai Belanda dan pegawai Indonesia yang mempunyai tugas sama, tetapi tak berhasil.

Nama Semaun makin dikenal dalam dunia perburuhan, sewaktu ia menjadi ketua serikat buruh

Kereta api (V.S.T.P.) di Semarang.

Kepopulerannya di dunia perburuhan terbukti pula waktu diselenggarakan kongres Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang mewakili 22 serikat sekerja, pada tanggal 1 Agustus 1920, ia terpilih menjadi ketuanya; sedang sebagai ketua mudanya terpilih Suryopranoto, seorang tokoh S.I yang terkenal pula di bidang perburuhan.

Perpecahan dalam tubuh S.I., akhirnya merambat pula dalam tubuh organisasi perburuhan. PPKP pecah jadi dua, antara PPKB pimpinan Suryopranoto dan PPKB pimpinan Semaun.

Pada tahun 1923, Semaun mulai melancarkan pemogokan yang bertujuan politis; diantaranya ia menuntut agar pemerintah mencabut pasal 153 bis dari kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang oleh kaum pergerakan dibencinya sebagai “Pasal Karet".

Pasal tersebut merupakan senjata pemerintah kolonial untuk menangkap seorang pemimpin yang berani menyindir atau mengecam pemerintah, dengan dalih bahwa tindakan itu membahayakan kepentingan umum.

Pemerintah Belanda makin lama makin cemas, memperhatikan tindakan Semaun yang makin berani itu.

Pada awal bulan Mei 1921, pemerintah Belanda memperingatkan Semaun, agar jangan mengancam pemogokan, bila tuntutannya tak dipenuhi.

Peringatan tersebut dibalas Semaun dengan peringatan pula, apabila pemerintah Belanda menangkap salah seorang pemimpin serikat sekerja, maka pemogokan justru akan dimulai.

Di sini nampak adanya aksi gertak menggertak dan adu kekuatan antara pemerintah Belanda dengan Semaun. Untuk menjaga prestisenya, maka sebagai reaksinya, pemerintah Belanda kemudian menangkap Semaun, pada tanggal 8 Mei 1923.

Sesuai pula dengan peringatan Semaun sebelumnya, maka pada hari itu terjadi pemogokan di Semarang.

Penangkapan itu bertepatan dengan saat kelahiran putra Semaun yang kedua, seorang wanita, yang kemudian diberi nama Axioma.

Putranya yang pertama bernama Logika Sudibyo, dahulu juga lahir di saat sedang ada ribut-ribut pemogokan.

Dari perkawinannya dengan seorang wanita Rusia bernama Valentina Iwanowa, Semaun memperoleh pula dua orang putera, yang pertama pria bernama Rono Semaun, sekarang bekerja di Moskow sebagai wartawan, telah menikah dengan wanita Rusia; yamg kedua wanita, bernama Elena Semaun, ikut pulang ke Tanahair, kemudian belajar di fakultas Sastra Jakarta.

Penangkapan itu akhirnya diikuti pula dengan pembuangan. Semula Semaun akan diasingkan ke Timor, tetapi putusan itu kemudian diubah, Semaun harus meninggalkan Tanahair.

Mula-mula Semaun memilih negeri Belanda sebagai tempat pengasingan, kemudian hari pindah menetap di Rusia, dan baru pulang ke Tanah air pada tahun 1956.

Semaun kemudian masuk menjadi anggota Partai Murba, yaitu partai politik yang didirikan oleh Sukarni di awal kemerdekaan dan didukung sepenuhnya oleh Tan Malaka.

(Drs. Moehkardi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1971)

Artikel Terkait