Advertorial

Mengenang G30S: Ilham Aidit Nyaris Ikut Dihabisi oleh para Tentara, Jika Bukan karena Ini

Ade Sulaeman

Editor

Tentara-tentara itu cuma berbisik-bisik dengan pamannya lalu tak lama kemudian pergi. Belakangan hari barulah Ilham mengetahui, mereka sebenarnya berniat menghabisinya.
Tentara-tentara itu cuma berbisik-bisik dengan pamannya lalu tak lama kemudian pergi. Belakangan hari barulah Ilham mengetahui, mereka sebenarnya berniat menghabisinya.

Intisari-Online.com -Ilham Aidit adalah satu kisah lain tentang keluarga yang harus kehilangan sanak keluarganya saat peristiwa G30S.

Putra keempat tokoh PKI, DN Aidit, belum lagi berusia tujuh tahun saat keluarganya tercerai berai.

Ayahnya tewas tertembak, sedangkan ibunya ditahan.

Dua kakaknya sedang bersekolah di Rusia dan tidak pernah bisa pulang.

Ia bersama salah satu kakak dan saudara kembarnya, Irfan, dititipkan pada keluarga Yohanes Mulyono di Bandung, yang masih terhitung paman jauhnya.

Keluarga itu pula yang kemudian mengasuhnya hingga besar.

Menurut pengakuan Ilham, suatu hari sekelompok tentara bersenjata lengkap pernah mendatanginya.

Ilham yang sedang asyik bermain kelereng tidak terlalu mengacuhkan.

Tentara-tentara itu cuma berbisik-bisik dengan pamannya lalu tak lama kemudian pergi.

Belakangan hari barulah Ilham mengetahui, mereka sebenarnya berniat menghabisinya.

“Dikiranya saya sudah besar. Kalau umur saya sudah belasan tahun saja, mungkin ceritanya lain,” tutur pria yang masih menjaga jarak dengan publikasi media ini.

Sebagai anak kandung tokoh politik nasional yang dicap berkhianat, tentu bisa dibayangkan kesulitan yang harus ditanggung Ilham.

Yang paling berat dirasakan adalah cemoohan masyarakat tentang ayahnya.

Cap “PKI” – sebuah kata yang berkonotasi hina hingga sekarang - seperti tertulis besar di dahinya.

Merasa tak tahan, tak jarang ejekan-ejekan itu harus diakhiri dengan adu jotos demi membela nama sang ayah.

Karena tubuh Ilham termasuk kecil, kalah dan babak belur sudah jadi risiko biasa.

“Sampai suatu saat sewaktu saya SMA di Jakarta, saya disadarkan Pastor Brouwer. Dia bilang ‘Kalau kamu terus berkelahi, energimu akan habis di situ. Kamu tidak bisa menyelesaikan sekolahmu’. Dari situ saya sadar dan berhenti,” tutur Ilham yang akhirnya dapat menyandang gelar insinyur dari Universitas Katolik Parahyangan.

Pekerjaan yang kini digelutinya di Bali juga masih berhubungan dengan pendidikannya.

---

Tulisan ini diambil dari artikel “Jalan Damai Anak-Anak Korban Konflik 1965” (Intisari, September 2004)

Artikel Terkait