Advertorial

Putri Jenderal Achmad Yani: Ibu Sering Menangis Sambil Pegangi Baju Bapak yang Ada Bekas Darahnya

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com -Hingga hari ini, Amelia Yani, putri dari Achmad Yani, salah satu Pahlawan Revolusi, mengaku tidak pernah bisa melupakan kepedihan yang dialaminya pada 1 Oktober 1965.

Ketika itu, dini hari, sekelompok tentara meluruk ke rumahnya di Jalan Lembang Nomor D 58, Jakarta Pusat.

Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, mungkin tidak sampai setengah jam. Sebuah waktu yang singkat namun mempengaruhi perjalanan hidupnya kemudian.

Dalam buku biografinya,Sepenggal Cerita Dari Dusun Bawuk, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (2002) Amelia menuliskan larik-larik kesaksiannya.

Aku melihat sesosok tubuh sedang diseret-seret tanpa belas kasihan. Yang diseret adalah kedua kakinya; tangan, badan, dan kepala dibiarkan terseret-seret di lantai, berlumuran darah. Jantungku bagaikan terloncat keluar. Bapak! Itu Bapak, kata hatiku. Ya Allah, itu Bapak.

Pagi itu Amelia belum menyadari sepenuhnya yang tengah terjadi.

Bunyi rentetan tembakan membangunkan tidurnya. Mata ayahnya yang telah terpejam saat terakhir kali dilihat.

Suara derap sepatu lars dan deru kendaraan yang meninggalkan rumah mereka.

Semua menjadi potongan-potongan kejadian yang menimbulkan satu pertanyaan besar di dalam benaknya: ada apa sebenarnya?

Kepastian nasib ayahnya didapat Amelia tiga hari kemudian.

Jasad Letnan Jenderal Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat, ditemukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya.

Di sana ditemukan juga lima jasad para stafnya di Markas Besar Angkatan Darat; serta satu jasad seorang perwira pertama, Pierre Tendean, ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution.

Anehnya, hingga kini Amelia mengaku tidak tahu siapa sebenarnya yang menculik ayahnya.

“Penjelasan dari pemerintah juga tidak ada,” tutur Amelia yang kini tinggal di Yogyakarta.

Semua terjadi begitu cepat dan kehidupan keluarganya harus berubah drastis sejak saat itu.

Pasca Penculikan, Kehidupan Anak Jenderal Berubah Total

Peristiwa G30S mengubah kehidupan jutaan rakyat Indonesia.

Terutama bagi mereka yang kehilangan sanak keluarganya, akibat peristiwa pembantaian massal ratusan ribu orang.

Tak terkecuali di dalamnya, keluarga dari para Jenderal yang kala itu juga menjadi korban.

Amelia Yani, putri Letnan Jenderal Achmad Yani, salah satu Pahlawan Revolusi, kala itu baru berusia 16 tahun.

Hari-hari yang kemudian dilaluinya, tidak bisa lepas dari derai air mata dan tekanan psikologis.

Kesedihannya bukan hanya karena ia menyaksikan peristiwa keji itu secara langsung.

Selama beberapa waktu kemudian, ia selalu bisa merasakan bau kematian karena ia tetap tinggal di rumah tempat terjadinya peristiwa itu, di Jalan Lembang, Jakarta Pusat.

Jika hari telah gelap, Amelia merasakan rumahnya begitu sunyi mencekam.

Sosok ayahnya yang berwibawa, kadang penuh canda, atau kali lain masih seibuk bekerja dengan stafnya hingga larut malam, mendadak hilang.

Taraf kehidupan keluarganya menurun drastis. Segala fasilitas ayahnya dicabut, sehingga harus hidup prihatin.

Ia menepis anggapan bahwa keluarga Achmad Yani mendapat fasilitas dari keluarga Soeharto sehingga tetap dapat hidup enak.

“Tidak. Ibu selalu menanamkan untuk tidak begini,” kata Amelia dengan tangan menengadah.

Pukulan terberat dirasakan ibunya, Yayu Ruliah Sutodiwiryo, karena saat penculikan terjadi tidak berada di rumah akibat masalah rumah tangga.

“Kalau sore, kami mencari di mana ibu. Sering kami jumpai beliau ada di ruangan tempat menggantung semua baju-baju bapak. Beliau sering menangis sambil memegangi baju bapak yang ada bekas darahnya!” kenang Amelia.

Akibat sering menyaksikan itu, Amelia harus berkonsultasi dengan psikiater dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat selama setahun.

Seiring bergulir waktu dan kedewasaanya, barulah Amelia menyadari bahwa ia sebenarnya tidak sendirian.

Selain keluarga Pahlawan Revolusi, pada posisi bersebarangan, jutaan anak-anak lain juga merasakan duka yang sama.

Orangtua atau sanak saudara mereka menghilang karena dipenjarakan atau bahkan dibunuh tanpa alasan jelas.

“Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Rasa kehilangan itu pastilah sama, tapi mereka pastinya lebih berat” kata Amelia berempati.

--

Tulisan ini diambil dari artikel “Jalan Damai Anak-Anak Korban Konflik 1965” (Intisari, September 2004)

Artikel Terkait