Sukitman sempat melihat seorang tawanan dalam keadaan masih hidup dengan pangkat bintang dua di pundaknya, mampir sejenak di tempatnya ditawan.
"Setelah tutup matanya dibuka dan ikatannya dibebaskan, di bawah todongan senjata, sandera itu dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi kelihatannya ia menolak dan memberontak. Orang itu diikat kembali, matanya ditutup lagi, dan diseret dan langsung dilemparkan ke dalam sumur yang dikelilingi manusia haus darah itu dalam posisi kepala di bawah," kenangnya.
Dengan perasaan tak keruan, Sukitman menyaksikan kekejaman demi kekejaman berlangsung di depan matanya, sampai ketika orang-orang buas itu mengangkuti sampah untuk menutupi sumur tempat memendam para korbannya.
Dengan cara itu diharapkan perbuatan kejam mereka sulit dilacak. Di atas sumur itu kemudian ditancapkan pohon pisang.
"Setiap habis memberondongkan pelurunya, jika akan membersihkan senjatanya, para pembunuh yang menamakan dirinya sukarelawan dan sukarelawati itu pasti melewati tempat saya ditawan," tambahnya.
Dengan demikian Sukitman bisa melihat dengan jelas siapa-siapa saja yang terlibat peristiwa yang meminta korban nyawa 7 Pahlawan Revolusi.
Ia pun sempat melihat Letkol Untung, yang mengepalai kejadiah kelam dalam sejarah militer di Indonesia itu.
Untung tertidur
Kemudian salah seorang anggota Cakrabirawa menghampiri Sukitman yang masih diliputi rasa takut.
"Kamu tidak usah takut. Kita sama-sama prajurit. Beli kaus singlet pun kita sudah tidak bisa. Sementara para jenderal yang menamakan diri Dewan Jenderal, jam dinding di rumahnya saja terbuat dari emas dan mereka akan membunuh Presiden pada tanggal 5 Oktober. Kamu 'kan tahu Cakrabirawa tugasnya adalah sebagai pengawal dan penjaga Presiden," kata Sukitman mengulangi apa yang diucapkan si anggota Cakra tersebut.
Waktu itulah Sukitman baru merasa agak tenang, meskipun ia masih tetap diawasi.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR