Find Us On Social Media :

Di Ruteng Lelaki Memasak, Wanita Mengurus Ternak

By Moh Habib Asyhad, Senin, 18 September 2017 | 13:40 WIB

Intisari-Online.com – Musibah gempa bumi di sebagian besar wilayah Flores, 12 Desember 1992, membuat perhatian dunia tertuju ke sana.

Berikut kesan Dra. Myrtati D. Artaria ketika suatu kali mengadakan riset mengenai penderita cacat bawaan akibat kebiasaan kawin tungku di kawasan Ruteng, Flores, yang kebetulan lolos dari musibah ini.

Sebagai seorang antropolog, rasanya tidak aneh jika suatu saat harus ditugaskan ke pelosok-pelosok negeri. Inilah yang saya rasakan ketika mendapat tugas ke P. Flores pada bulan Juni - Agustus 1990.

Sebenamya tim kami yang berjumlah sembilan orang tidak semuanya ditempatkan di Flores. Tiga di antara kami pergi ke Timor.

(Baca juga: Jodoh Itu Kadang Seperi Konsep Emansipasi, Juga Seperti Lotere)

Enam orang yang ke Flores pun dipisah, tiga di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, dan tiga di Kecamatan Reo, pantai atas P. Flores yang termasuk Kabupaten Manggarai.

Jarak Ruteng - Reo bisa ditempuh sekitar 3 - 4 jam. Dari Ruteng ke Maumere, biasanya orang memilih berangkat pukul 07.00, sampai di Bajawa pukul 12.00.

Istirahat sejenak untuk makan siang dan Iain-lain, baru melanjutkan ke Ende. Tiba di Ende pukul 17.00 - 18.00 kemudian perjalanan dilanjutkan ke Maumere.

Tiba di Maumere biasanya sekitar pukul 23.00 – 24.00. Perjalanan di atas dengan menggunakan bus umum.

Saya mendapat bagian di Kecamatan Reo. Bersama dua orang teman, saya pun dipisah untuk bertugas di desa yang berbeda.

Berangkat dari Surabaya dengan pesawat, tiba di Bima kami transit sebentar dan ganti pesawat yang lebih kecil. Sengaja kami memilih berangkat hari Rabu, karena pada hari itu ada pesawat yang cukup besar (dibandingkan dengan pesawat yang tersedia pada hari-hari lain).

Sesampainya di Bandara Satartacik, Ruteng, saya agak terbengong-bengong melihat situasi di sana. Begitu sepi, jauh dari keadaan suatu bandara pada umumnya.

Baik penumpang maupun petugas bandara jumlahnya sangat sedikit. Beberapa penjemput menunggu penumpang dari satu-satunya pesawat yang datang, yaitu pesawat yang kami tumpangi tadi.

Tidak ada penumpang lain, yang sedang antre untuk naik pesawat ke Bima atau P. Jawa misalnya.

Meskipun demikian keadaan bandara cukup baik. Dari tempat ini nampaklah jajaran pegunungan hijau di kejauhan.

Beberapa teman agak kaget, masa orang mengatakan Flores adalah tanah gersang? Nyatanya, masih ada bumi permai di daerah ini.

Jalanan menuju pusat Kota Ruteng cukup berkelok-kelok. Dr. Henry Kerong, dokter setempat yang menjemput kami, banyak mendapat pertanyaan keingintahuan kami soal daratan yang baru kami injak untuk pertama kalinya ini.

Ruteng betul-betul telah merebut hati kami pada pandangan pertama.

Beberapa pertokoan berjajar di pusat kota. Mobil yang tidak banyak jumlahnya berseliweran, kebanyakan Colt angkutan umum.

Ada jenis kendaraan umum yang unik yaitu truk yang di belakangnya diberi atap dengan bangku kayu berjajar ke belakang.

Penumpang dengan gesit meloncat ke atas truk melalui ban samping, tidak terkecuali penumpang perempuan. Alat transportasi inilah yang disebut bus kayu.

Kami sedikit merapatkan jaket, karena udara masih cukup dingin. Suhu udara di Ruteng akhir-akhir ini berkisar antara 22 – 25oC.

Kawasan Reo sedikit lebih panas karena letaknya dekat pantai.

Kondisi jalan raya Ruteng - Reo kurang baik dan berkelok-kelok. Alat transportasi utama selain bus kayu adalah minibus. Apabila kondisi tidak fit, besar kemungkinan kita menjadi mabuk karena belokan-belokan tajam yang dijumpai dalam perjalanan.

Sampai di Reo (sebagian menyebutnya Reok), kami langsung menuju. tempat yang menjadi kemah induk.

Karena tugas kami harus brpencar, maka telah ditentukan suatu tempat di pusat Kecamatan Reo untuk tempat berkumpul kami bertiga, agar bisa memberikan  masukan dan mengevaluasi hasil sementara penelitian kami.

Tugas utama kami adalah mencari keluarga yang mempuhyai anggota penderita cacat bawaan,  seperti bibir atau langit-langit sumbing,  polidaktili (jari enam), club foot (kaki pengkor), albino, atau jenis-jenis cacat lain yang dibawa sejak lahir.

Banyak kasus endogami

Desa-desa di daerah ini sebagian besar terletak di perbukitan, sebagian lagi di dekat pantai. Keadaan alam yang seperti ini menyebabkan besarnya kecenderungan perkawinan endogami.

Untuk pergi dari satu perkampungan di satu bukit menuju perkampungan di lain di bukit sebelahnya, diperlukan waktu berjalan kaki sampdi 4 jam.

Alat transportasi berupa bus kayu hanya bisa melewati jalur jalan beraspal ke desa-desa tertentu. Perjalanan selanjutnya harus ditempuh melalui jalan setapak yang hanya bisa dilewati dengari berjalan kaki atau berkuda.

Ada lebih dari selusin desa di Kecamatan Reo. Desa-desa ini masih terbagi-bagi lagi menjadi kampung-kampung.

Ada desa yang terdiri atas banyak kampung denan banyak keluarga, ada pula suatu kampung yang terdiri atas hanya dua keluarga yang letaknya  terpencil di suatu bukit, jauh dari kampung-kampung yang lain.

Di pusat kecamatan terdapat pastoran paroki yang berdekatan dengan puskesmas. Tidak jauh dari situ berdiri kantor kecamatan dan pasar serta pertokoan.

Barang-barang di sini relatif mahal,  karena stok masih harus didatangkan dari Jawa (sebagian besar melalui Surabaya diangkut dengan kapal laut).

Dipertokoan ini bisa dibeli kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pasta gigi, kosmetik, dll. Orang yang tinggal di desa desa terpencil harus turun gunung dulu jika ingin berbelanja, kemudian memilikul barang belanjaan itu ke tempat tinggalnya.

Karena itu mereka tidak berbelanja tiap hari.

Ikan segar sangat banyak dijumpai, begitu pula ikan yang sudah diawetkan dengan cara diasin. Mereka menyebutnya ikan kering. Sayur yang biasa ditemukan di sini antara lain daun ubi, daun pepaya, dan labu manis dimasak dengan santan.

Kubis dan buncis kadang-kadang ada. Apabila ada tamu datang ke suatu kampung, biasanya  mereka dijamu dengan nasi, sayur daun pepaya, dan ayam yang dimasukkan ke dalam kuah santan.

Karena letak tanahnya tinggi, sumur sangat jarang dijumpai. Apabila ingin mandi, orang harus berjalan kaki ke sumber air atau sungai dengan menuruni bukit.

Kadang-kadang, letak sungai itu masih satu jam perjalanan dari perkampungah. Itulah  sebabnya  penduduk kawasan ini  rata-rata hanya mandi satu hari satu kali.

Tempat buang air besar tak jarang hanya berupa gubuk kecil dari dinding bambu seadanya, dengan dua kayu di bawah, tempat kaki berpijak. Apabila kotoran sudah menggunung gubuk kecil itu dipindahkan tempatnya.

Di desa-desa dekat pusat kecamatan masih lebih bagus karena sudah cukup banyak  yang mempunyai fasilitas MCK._Di dekat pusat kecamatan mengalir sungai besar  bernama Waepesi.

Mata pencaharian penduduk adalah bertani atau sebagai nelayan. Ada pula yang berdagang, terutama kaum pendatang dari Jawa , Ujungpandang, atau lainnya.

Selain itu mereka beternak ayam atau kambing jika mereka muslim. Sebagian besar penduduk di sini beragama Kdtolik. Ada pula yang beragama Islam, umumnya keturunan Bima, di Desa Reo dan Mataair.

Selama ini mereka hidup rukun, meskipun jarang terjadi perkawinan antara dua orang yang berbeda agama

Hasil pertanian terbesar adalah padi dan jagung. Kopi, vanili, dan tembakau juga banyak dihasilkan di daerah ini.

Pada tahun-tahun terakhir penduduk mulai menanam kemiri dan jambu mete, yang diharapkan bisa memperbaiki pendapatan mereka di tahun-tahun mendatang.

Namun, variasi pekerjaan tidak banyak dilakukan oleh penduduk di Reo. Umumnya mereka masih enggan mengerjakdn pekerjaan seperti berjualan bakso, jamu, atau menjadi pengemudi.

Padahal ini memberi kesempatan pada mereka untuk mendapat penghasilan tambahan karena  masih kecilnya kemungkinan untuk membuka lapangan kerja baru. Pada umumnya pekerjaan-pekerjaan tersebut di atas dikerjakan oleh para pendatang.

Kebiasaan di daerah ini mengharuskan laki-laki lebih banyak berperan pada kegiatan sehari-hari, misalnya mengurus upacara adat, memasak makanan sampai menghidangkannya.

Sementara wanita bertugas mengurus anak, kebun, dan ternak. Memasak juga dilakukan wanita, jika itu untuk makanan sehari-hari, bukan untuk keperluan upacara adat.

Di daerah-daerah yang terkenal dengan tenunannya, wanita mempunyai kegiatan tambahan, yaitu menenun kain tradisional yang terbuat dari bahan berwarna hitam, dengan motif grafis berwarna mencolok.

Kain ini biasanya dikonsumsi sendiri untuk pakaian sehari-hari, pada waktu ada upacara adat, atau dijual ke daerah lain.

Tokoh panutan masyarakat adalah tetua adat, kepala desa atau dusun, RT dan RW. Ini berlaku sejak pemerintahan diatur sesuai dengan pembagian wilayah kecamatan, desa, dusun, dan seterusnya.

Tetua adat bekerja sama dengan perangkat desa dalam menyelesaikari masalah-masalah adat maupun pemerintahan. 

Dulu, sebelum ada pembagian wilayah seperti ini, pengaturahnya berdasarkan kedaluan (semacam daerah atau wilayah pemerintahan).

Lelaki dan perempuan makan cepa

Rumah di kawasan ini kebanyakan terbuat dari papan beratap rumbia atau seng. Semakin masuk ke pedalaman rumah-rumah berdinding tembok semakin jarang dijumpai.

Di samping-bahan-bahan untuk membuat tembok sangat mahal, pengangkutannya pun sulit. Bisa dikatakan salah satu kendala di daerah ini adalah masalah transportasi.

Kebersihan rumah, tempat tidur dan alat-alat rumah tangga pada umumnya masih kurang baik. Ini ada kaitannya dengan adat kebiasaan untuk makan cepa (sirih pinang), baik kaum lelakinya maupun kaum wanitanya.

Betapa tidak? Mereka biasa meludah di mana-mana, bahkan di dalam rumah berlantai papan. Keterbatasan air juga menjadi penyebab lain.

Bahkan masih ada rumah yang mempunyai bentuk asli seperti setengah lingkaran tertelungkup, tanpa jendela. Apabila para wanita memasak, asapnya memenuhi seluruh rumah.

Di dalam rumah adat  ini, begitu masuk kita akan sampai di ruangan paling luas, di tengahnya terdapat tempat memasak.

Apabild ada tamu, tikar digelar dan mereka duduk bersila minum kopi "teh" (air diberi gula), atau moke (tuak terbuat dari sari nira yang sudah disimpan beberapa hari).

Ruangan lain di bagian sisi rumah, dipakai untuk tempat tidur para anggota keluarga bersama-sama.

Makanan sehari-hari adalah nasi putih. Sering kali dicampur dengan jagung tua  yang sudah dihilangkan kulit  arinya. Pada acara istimewa, mereka kadang menyantap nasi merah, sedangkan nasi beras hitam hanya dimakan pada saat-saat yang sangat istimewa, berkaitan dengan upacara adat.

Teman makan nasi adalah sayur dari daun ubi, daun pepaya, pepaya muda, paria, terung, labu- kuning, dan labu siam. Kadang-kadang ada sayur kacang hijau, kacang tolo, kacang panjang, kangkung, kubis atau sawi.

Ikan kering sangat sering menemani untuk lauk makan nasi. Telur sangat jarang dimakan. Ayam hanya dimakan jika ada tamu istimewa atau upacara adat.

Kambing, babi, dan kerbau dipotong jika ada pesta besar.

Tuak diminum pada saat ada pesta atau tamu penting. Biasanya diminum kaum lelaki. Wanita memberikan sirih pinang (cepa) pada tamu wanita.

Kadang-kadang ada yang dicampur dengan tembakau. Banyak lelaki merokok, dari tembakau panenan setempat yang diproses dan digulung sendiri dalam kertas rokok.

Kesenian di daerah Manggarai ini misalnya sanda, dimana di dalamnya ada beberapa lelaki dan wanita berbaris melingkar, membuat irama perlahan-lahan dengan entakan kaki sambil menyanyikan pantun.

Alat musik yang dipergunakan adalah gong. Jenis kesenian yang lain adalah mbata, di mana para lelaki duduk bersila memainkan kendang sambil menyanyi.

Ada juga gong yang dipukul secara ritmis. Permainan caci   dilakukan antdra dua orang laki-laki yang masing-masing  memegang cambuk dan tameng, sangat terkenal di daerah suku Manggarai ini.

Masing-masing berusaha melukai lawannya dengan cambuk berujung tajam. Bagian yang paling vital adalah kepala, yang apabila terkena berarti sudah kalah telak.

Cara penerimaan adat apabila ada orang baru yang masuk ke dalam suatu kampung, misalnya jika ada tamu istimewa, atau ada anggota masyarakat baru (seorang wanita yang dinikahi orang yang berasal dari kampung lain, kemudian masuk ke kampung tempat tinggal suaminya), pertama kali dia dijemput oleh para anggota masyarakat bersama tetua adat di mulut kampung dengan membawa ayam dan moke.

Setelah ayam dan moke diterimakan, tamu diajak menuju rumah gendang atau rumah tempat dilakukannya pertemuan-pertemuan para anggota masyarakat.

Setelah naik tangga kayu, masuk ke dalam rumah, mereka duduk bersila saling berhadapan antara tamu dan penerima tamu, kemudian tuan rumah melontarkan sapaan-sapaan dan menyatakan selamat datang.

Lalu wanita tuan rumah memberikan cepa kepada para tamu wanita. Ayam dipotong dan dimasak. Sementara menunggu makanan matang, mereka berbincang-bincang sambil minum moke, mengunyah sirih pinang, merokok, atau mengulum tembakau.

Belakangan kawasan ini sedang berbenah untuk meningkatkan kondisi jalan raya, memperlancar jalur wisata ke daerah yang berpotensi menarik wisatawan.

Salah satunya adalah jalan raya yang menuju ke Desa Robek, yang memiliki pantai indah. Selain itu masih ada lagi pantai yang menyimpan banyak bangkai kapal perang Jepang yang tenggelam sisa-sisa PD II, kemudian Pantai Jengkalang di Desa Wangkung, atau pantai tambak ikan di Nanga Panda.

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1993)