Find Us On Social Media :

Pencarian Korban Lion Air JT 610 Dilanjutkan: Keluarga Bahagia, Tim Pencari Semakin Berada dalam Kondisi Bahaya

By Intisari Online, Kamis, 8 November 2018 | 15:15 WIB

Intisari-Online.com - Upaya pencarian para korban jatuhnya Lion Air PK-LQP masih terus dilakukan hingga hari ini, Kamis (8/11/2018).

Terbaru, Tim DVI Polri menyatakan sudah menerima 1 kantong jenazah berisi bagian tubuh salah satu korban.

Dengan ini, berarti sudah ada 186 kantong jenazah yang diterima oleh RS Polri.

Sementara itu, Badan SAR Nasional (Basarnas) menegaskan akan melanjutkan pencarian korban selama tiga hari ke depan terhitung mulai Rabu (7/11/2018).

Baca Juga : Akhirnya Nomor Penerbangan JT 610 Dipensiunkan Lion Air

"Dengan beberapa masukan dari lapangan kami memutuskan untuk operasi evakuasi pencarian korban ini kami perpanjang tiga hari khusus untuk Tim Basarnas," kata Syaugi di Dermaga JICT 2 Pelabuhan Tanjung Priok, Rabu siang, seperti dilansir dari kompas.com.

Kabar ini tentunya menjadi kabar baik bagi para keluarga korban jatuhnya Lion Air PK-LQP.

Namun, bagi para tim pencari, kondisi ini bisa menjadi "ancaman" tersendiri bagi tubuh mereka.

Sebab, seperti diuraikan dalam artikel Kompas.com dengan judul "Perisai Diri Menghadapi Ancaman Penularan Penyakit dari Jenazah", ada risiko berbahaya bagi kesehatan para tim pencari yang disebabkan oleh tubuh jenazah yang telah lama berada di dalam air.

Baca Juga : Korban Lion Air JT 610 Sulit Dikenali, Ini 8 Bagian Tubuh yang Penting untuk Identifikasi Forensik

Mengingat telah sekian lama berada dalam laut, dipastikan kondisi jasad korban terus mengalami pembusukan.

Jika telah ditemukan, tim pencari dan penyelamat harus berurusan dengan kondisi jasad yang licin, rentan, dan menimbulkan aroma tak menyenangkan.

Lebih dari itu, keberadaan jenazah berisiko bagi kesehatan anggota tim pencari dan penyelamat di lapangan.

Jenazah yang tenggelam di laut cenderung membusuk sedikit lebih lambat dibandingkan jika berada di udara terbuka. Namun, proses pembusukan jasad jauh lebih cepat dibandingkan jika terkubur dalam tanah.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI) dokter Ferryal Basbeth, Senin (5/1), memberikan perbandingan 1 : 2 : 8 untuk udara terbuka, air, dan tanah.

Artinya, kondisi jenazah yang sudah dua hari di dalam laut masih seperti kondisi jasad di udara terbuka selama sehari, tetapi sudah seperti yang terkubur di tanah delapan hari.

Dokter Spesialis Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Oktavinda Safitry, menjelaskan, proses pembusukan awal terjadi karena di dalam tubuh terdapat bakteri-bakteri komensal, yakni yang bermanfaat bagi manusia semasa hidup. Ketika sudah meninggal, protein dalam tubuh didegradasi bakteri-bakteri tersebut.

Selanjutnya, proses pembusukan disempurnakan oleh bakteri dan kuman. Keberadaan bakteri atau kuman itu berasal dari lingkungan luar jasad, seperti udara, air, atau tanah.

Baca Juga : Menangis di Depan Keluarga Korban, Kabasarnas: Saya Tak Akan Menyerah dan Tetap Akan Evakuasi Seluruh Korban Lion Air JT 610

Jenazah yang tenggelam seperti pada kasus jatuhnya AirAsia QZ 8501 akan mengapung setelah tiga sampai empat hari karena keluarnya gas-gas pembusukan.

Jasad mengapung selama tiga-empat hari, kemudian tenggelam lagi karena gas-gas pembusukan sudah keluar dari tubuh dan jaringan kian hancur.

Dengan demikian, anggota tim SAR harus berurusan dengan berbagai kuman dan bakteri saat menemukan jenazah dan mengevakuasinya.

Salah satunya dengan Escherichia coli, yang bermanfaat untuk mengurai makanan di dalam usus besar manusia, tetapi bisa menyebabkan diare saat di luar.

Meski demikian, Oktavinda berpandangan, risiko kesehatan mereka yang terpapar dengan jenazah tak jauh berbeda dengan mereka yang tidak terpapar. Karena itu, risiko kesehatan tidak terkait dengan jenazah.

”Kuman penyakit dalam tubuh orang meninggal biasanya juga sudah mati karena kuman hidup dalam darah. Tidak usah ada jenazah tenggelam pun kuman memang banyak di air dan udara,” paparnya.

Baca Juga : Satu per Satu Bagian Pesawat Lion Air JT 610 yang Jatuh Ditemukan, Ada Roda Hingga Turbin Pesawat

Dari luar tubuh

Menurut Oktavinda, hal yang perlu diwaspadai tim SAR saat mengevakuasi jenazah adalah kuman serta bakteri yang berasal dari luar tubuh, terutama saat proses pembusukan berlanjut dengan campur tangan mikroorganisme dari lingkungan.

Apalagi jika jenazah sudah diangkat dari laut. Oleh karena bakteri dan kuman cenderung cocok dengan udara terbuka yang panas dan lembab.

Meski demikian, kewaspadaan terhadap berbagai penyakit dari infeksi harus ditegakkan karena kita tidak tahu yang bisa terjadi. Toh, memasang perisai untuk melindungi diri terhadap risiko kesehatan tidak merugikan.

Direktur Lembaga Eijkman Amin Soebandrio menganjurkan penggunaan alat pelindung diri yang lengkap bagi para petugas evakuasi jenazah. Alat pelindung diri itu minimal terdiri atas kacamata, masker, sarung tangan, dan apron (kain semacam yang digunakan koki pada bagian depan tubuh).

”Intinya, kita harus menganggap semua cairan tubuh manusia berpotensi infeksi. Apalagi, berhadapan dengan jenazah yang membusuk, tentu akan terpapar dengan bagian tubuh yang lebih dalam,” ucap Amin.

Memang, kemungkinan tertular penyakit infeksi yang berbahaya akibat mengevakuasi jasad korban bencana selama ini relatif kecil. Akan tetapi, jenazah bisa saja memiliki penyakit berbahaya semasa hidup.

Sebagai contoh, penyakit hepatitis. Petugas evakuasi bisa saja terciprat darah jenazah yang telah terinfeksi virus hepatitis sehingga harus terlindung dengan APD. Di Afrika, misalnya, sejumlah tenaga kesehatan yang menangani jenazah pasien tertular ebola akhirnya turut terpapar virus ebola.

Baca Juga : Perkembangan Baru Jatuhnya Lion Air JT 610, 105 Kantong Jenazah Korban Telah Diterima dan Roda Pesawat Ditemukan

Kendala identifikasi

Selain risiko penularan penyakit kepada petugas, kekhawatiran tertuju pada potensi kian sulitnya identifikasi jenazah seiring proses pembusukan.

Ferryal menjelaskan, tim Identifikasi Korban Bencana (Disaster Victim Identification/DVI) amat bergantung pada data primer, yakni sidik jari, asam deoksiribonukleat atau DNA, dan profil gigi, untuk hasil identifikasi yang sahih.

Menurut Ferryal, sidik jari dan DNA amat sulit diharapkan. Sebab, kulit jasad yang terus terkelupas membuat sidik jari pun ikut hilang dan DNA tubuh rusak akibat air laut.

Data primer yang bisa diandalkan adalah profil gigi, yakni segala data terkait 32 gigi jenazah, termasuk kapan dicabut, ditambal pada gigi mana saja, dan tindakan medis lain. hal itu lantaran gigi adalah bagian tubuh paling tahan terhadap pembusukan akibat air.

”Sayangnya, kurang dari 1 persen penduduk Indonesia yang memiliki dental record (data gigi),” kata Ferryal. Meski tim DVI mendapat data lengkap terkait profil gigi, identitas jenazah tak akan ditemukan jika data gigi semasa hidup tidak ada.

Ke depan, identifikasi masyarakat harus jadi prioritas di tengah kondisi Indonesia yang rawan bencana. (J Galuh Bimantara)

Baca Juga : Keluarga Deryl Fida Korban Lion Air JT 610, Alami Hal Janggal ini Saat Kirim Doa Untuknya