Find Us On Social Media :

Carica, Pepaya Mini Asli Dieng yang Maunya Hanya Tumbuh di Lereng Bagian Atas

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 27 Agustus 2017 | 20:00 WIB

Intisari-Online.com – Di daerah asalnya, buah ini biasa dibuat manisan dan dijual sebagai buah tangan. Karena hanya dijual dalam bentuk manisan, tidak dalam bentuk segarnya, rupa buah ini misterius.

Lebih misterius lagi karena pohonnya hanya bisa tumbuh di lereng bagian atas Gunung Dieng. Bentuknya mirip pepaya tapi ukurannya mini. Aromanya superwangi.

Di Wonosobo, daerah asalnya, ia dikenal dengan tiga nama: kates, gandul (dengan bunyi "d" seperti pada dengkul), dan carica (baca: karika).

Sebagian orang membacanya dengan bunyi "c" seperti pada cerutu. Dalam bahasa Jawa, kates  dan gandul sama-sama berarti pepaya, Carica papaya.

Secara taksonomi, tanaman ini memang masih satu  keluarga dengan pepaya. Nama ilmiahnya Carica pubescens. Di Indonesia konon buah ini hanya bisa dijumpai di Gunung Dieng.

Di lereng gunung itu pun tidak semua tempat cocok ditumbuhi pohon ini. Semakin ke bawah, semakin sulit tumbuh.

Kalaupun bisa tumbuh, sulit berbuah. Ini salah satu keunikan pohon carica.

Di lereng Dieng carica seolah-olah tidak mau bertemu dengan saudaranya, pepaya. Di lereng gunung bagian bawah, pepaya gampang tumbuh, sedangkan carica tidak.

Sebaliknya, di lereng bagian atas pepaya sulit tumbuh, sementara carica gampang.

"Sepupu" pepaya ini tumbuh paling subur di kawasan puncak Dieng seperti di Desa Sikunang dan Sembungan.

Dua desa ini berada di wilayah tertinggi Dieng, di atas lokasi wisata Telaga Warna. Dieng sendiri merupakan gunung yang berpenghuni sampai di titik tertinggi, 2.565 m di atas permukaan laut.

Berbeda dengan kebanyakan gunung lain seperti Merapi yang hanya berpenghuni di lereng bagian bawah.

Dari arah Kota Wonosobo menuju Dieng, pohon carica sudah mulai banyak dijumpai sejak masuk wilayah Kecamatan Kejajar. Semakin ke atas, semakin banyak.

Umumnya, tumbuh di pekarangan rumah, di pinggir jalan, dan di pematang ladang.  Sebagian tumbuh liar, yang lainnya sengaja ditanam sebagai tanaman produktif.

Getahnya bikin gatal

Sekilas pohon ini tampak seperti pepaya yang kita kenal. Batangnya sama, daunnya tak beda, bunganya pun serupa. Jika tidak sedang berbuah, pohon ini sulit dibedakan dengan pepaya.

Pada sore hari, pohon ini semakin sulit dibedakan. Bukan karena pada sore hari carica mengalami perubahan bentuk, tapi karena biasanya puncak Dieng berkabut sehingga mengurangi jarak pandang. Ia  baru gampang dibedakan dari saudaranya jika sedang berbuah.

Bentuk buahnya imut-imut. Tidak bulat seperti pepaya tapi bersudut lima, mirip belimbing yang montok. Ukuran dan bentuknya hampir sama dengan buah cokelat.

Letaknya berdompol-dompol di batang bagian ujung. Satu dompol biasanya berisi belasan buah. Satu pohon bisa berbuah puluhan hingga ratusan.

Bobot satu buah carica biasanya hanya sekitar satu ons. Jauh lebih kecil daripada pepaya. Satu kilogram carica bisa berisi 10 - 15 buah.

"Jumlahnya tidak tentu," kata Mat Halim, warga Desa Sikunang. "Kalau buahnya kecil-kecil, satu kilo(gram) bisa berisi 15 buah," katanya dengan bahasa Indonesia tertegun-tegun sambil tertawa di setiap akhir kalimat. Kalau buahnya gede-gede, tiap kilo bisa berisi 10 buah.

Saat masih muda, warna buahnya hijau. Sedikit lebih gelap daripada hijau pepaya muda. Jika kulitnya dilukai, ia akan menghasilkan getah, sama seperti pepaya muda.

Rasa daging buahnya pun sama dengan pepaya muda.

Ketika mulai matang, warna kulit buahnya berubah menjadi kuning oranye. Masih sama seperti pepaya. Perbedaan paling mencolok adalah aromanya.

Betul-betul harum, jauh lebih harum daripada aroma pepaya matang. Lebih-lebih jika kulit buahnya dilukai lebih dulu.

Jika diletakkan di dalam satu ruangan berukuran 3 x 3 m, tiga buah carica matang bisa  membuat ruangan beraroma buah khas Dieng ini.

Kalau saja aroma bisa direproduksi lewat foto, maka halaman majalah ini pun bakal menjadi sedap semerbak.

Saking harumnya, buah carica bisa mengecoh. Mereka yang baru pertama mencium aromanya bakal tertipu dan menyangka daging buah ini pasti terasa manis menyegarkan. Nyatanya tidak.

Meski sudah matang, daging buah bagian luarya terasa hambar. Tidak seperti daging pepaya yang manis. Rasanya lebih mirip daging pepaya mentah.

Yang bisa dimakan dan terasa enak dari buah carica hanya daging bagian dalamnya. Manis, sangat harum, dan sedikit masam.

Tapi bagian ini tidak seberapa banyak. Apalagi saat dimakan, bijinya sulit dipisahkan dari dagingnya. Jika bijinya ikut tergigit, rasa manisnya akan terganggu oleh rasa getirnya.

Biji carica pahit seperti biji pepaya. Selagi masih mentah, bijinya berwarna merah. Begitu matang, bijinya menjadi hitam.

Rasa manis dan harum carica akan semakin terganggu jika saat makan, getah carica ikut terkena bibir. "Kalau kena tlutuh-nya, bibir bisa gatal," kata Pawit, petani Kejajar, mengingatkan.

Tlutuh itu bahasa Jawa dari getah. Jika sampai getahnya ikut termakan, buah carica akan punya dua rasa sekaligus: rasa manis dan rasa menyesal.

"Tapi enggak lama, paling-paling sehari sudah sembuh," kata Pawit enteng. Wah, bibir alergi selama sehari kok dibilang "paling-paling"!

Getahnya berasal dari kulit dan daging bagian luar saat carica belum matang betul atau baru dipetik dari pohon. Karena itu, kalau makan buah carica yang baru dipetik, mohon hati-hati.

Lebih baik buah itu disimpan dulu sebelum dimakan. Dua hari setelah dipetik, carica matang biasanya tidak lagi bergetah.

Penduduk setempat biasa makan carica di ladang saat mereka haus dan lapar. "Saya biasanya makan carica dengan bijinya sekalian," ucap Pawit. Udara yang keluar dari mulutnya langsung mengabut di depan wajahnya akibat dinginnya udara di puncak Dieng.

Karena ukurannya kecil, satu buah carica tidak sanggup bikin perut kenyang. Itu sebabnya Pawit biasanya makan beberapa.

Namun, jika terlalu banyak menelan biji, kata Pawit, ia biasanya mengalami kesulitan saat buang hajat.

Karena itu, ia biasanya juga makan daging buah bagian luar yang tidak terasa manis dan banyak mengandung serat itu. Yang dibuang hanya kulit bagian terluarnya.

Dengan cara itu, ia menghindari sembelit akibat terlalu banyak makan biji carica.

Aromanya hilang di manisan

Dalam riwayat hidup carica,saat  berumur dua tahun, ia mulai berbuah. Sejak itu ia bisa terus produktif menghasilkan buah. Umurnya panjang, sama panjang dengan umur manusia.

Kata Pawit, carica yang ia punyai saat ini sudah ada sejak ia masih kecil. Bapak yang menanam, anak yang memanen. "Carica itu tidak bisa mati," kata Mat Halim, lagi-lagi sambil tertawa.

Tentu saja ia tidak bermaksud bilang kalau hidup carica itu abadi, melainkan berumur panjang sampai ia tidak tahu kapan carica mati.

Sedikit berbeda dengan pepaya, batang pohon carica bisa bercabang banyak. Satu pohon bisa belasan cabang.

Makin banyak cabangnya, makin banyak buahnya sebab buah berdompol di cabang-cabang bagian ujung.

Jika cabangnya dipotong, tunas baru akan segera muncul di bagian yang terpotong itu. Diameter lingkar batangnya bisa dua kali lebih besar daripada batang pepaya.  Tinggi  pohon bisa menjulang sampai 7 m.

Petani biasanya memperbanyak carica dengan cara stek batang. Di tanah Dieng yang subur dan gembur, potongan batang pohon carica gampang tumbuh menjadi tanaman baru.

Tidak membutuhkan perawatan khusus. Tinggal tancap di tanah basah, ia akan mencari makanannya sendiri. Kadang carica juga berkembang biak secara alami dari biji.

Karena gampang ditanam, sebagian besar penduduk di puncak Dieng punya pohon carica.  Entah di pekarangan rumahnya atau di ladang.

Biasanya hanya sebagai tanaman sampingan. Tanaman utamanya kentang atau kubis.

Dibandingkan dengan kedua tanaman utama itu, carica kurang memiliki nilai ekonomis. Permintaan kubis dan kentang tak pernah berhenti.

Sementara permintaan carica hanya berasal dari industri kecil pembuat manisan di Kota Wonosobo. Penjualannya hanya mengandalkan produksi manisan.

Buah ini tidak dijual sebagai buah segar yang bisa langsung dihidangkan di meja seperti pepaya. Maklum saja, meskipun aromanya sangat menggoda, buah ini cukup merepotkan untuk dikonsumsi.

Terutama untuk menghindari getah serta memilih daging buahnya di antara bijinya yang sulit dipisahkan.

Harganya pun tergolong murah. Paling mahal hanya Rp 2.500,- per kg. Biasanya mahal pada saat kemarau, ketika produksi carica turun.

Jika sedang musim hujan, di mana produksi carica melimpah, harganya bisa anjlok hingga Rp 1.000,- per kg.

Jika harganya sedang anjlok, kadang buah carica dibiarkan begitu saja matang di pohon sampai jatuh berceceran di tanah. "Daripada tanahnya nganggur, enggak ada tanaman, ya ditanami carica saja," aku Pawit.

Buahnya juga tidak tahan lama. Setelah dipetik, jika dibiarkan begitu saja tergeletak di rumah, ia  bisa busuk mubadzir.

Satu-satunya jalan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya adalah dengan membuatnya menjadi manisan.

Daging luarnya yang hambar itu dipotong-potong lalu direbus dengan gula, bersama daging  bagian dalamnya yang manis dan harum.

Setelah dikemas dalam wadah beling atau plastik, manisan carica dijual di toko-toko penjual makanan khas Wonosobo, bersama keripik jamur dan kacang dieng.

Penjualannya tidak hanya di Wonosobo, tapi juga sampai di kota-kota besar macam Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

Sayangnya, proses perebusan itu menghilangkan sebagian besar aroma carica yang khas. Daging buahnya memang menjadi manis karena tambahan gula, tapi aroma manisan tidak seharum buahnya saat masih segar.

Meski demikian, manisan carica tetap terasa segar. Sesegar udara Dieng saat cuaca cerah. (M. Sholekhudin)

(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2007)