Find Us On Social Media :

Beli Alutsista dari Uni Soviet dalam Jumlah Besar, Soekarno: Kalau Tidak Bisa Bayar, ya, Kemplang Saja

By Ade Sulaeman, Kamis, 17 Agustus 2017 | 15:30 WIB

Intisari-Online.com - Upaya Pemerintah RI ingin membeli 11 jet tempur Su-35 dengan imbal dagang bahan sembako seperti kopi, minyak sawit, dan lainnya sangat menarik mengingat anggaran dana berupa uang sangat terbatas.

Sebelum terbit PP RI Nomor 76 Tahun Nomor 76 Tahun 2014 Tentang Mekanisme Imbal Dagang Dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam), khususnya tentang kebijakan offset (imbal dagang) dan Transfer of Technology (ToT), sejarah pengadaan Alpalhankam di Indonesia ternyata sudah pernah melaksanakan kebijakan offset dalam beragam cara.

Di era tahun 1960-an ketika Pemerintah RI membeli persenjataan secara besaran-besaran dari Rusia khusus untuk mendukung Operasi Pembebasan Irian Barat (Papua), kebijakan offset yang diterapkan lebih karena faktor kepentingan politik.

Rusia yang merupakan motor negara-negara Blok Timur, ingin mempengaruhi RI untuk menjadi negara berideologi komunis dan mendukung konfrontasi terhadap penguasa Irian Barat saat itu (Belanda) yang juga merupakan sekutu AS (Blok Barat).

Sebaliknya, Pemerintah RI ingin secepatnya memiliki alusista dalam jumlah besar demi melancarkan Operasi Jaya Wijaya.

Didorong oleh kepentingan politik dan kebutuhan alutsista untuk mendukung operasi tempur, kebijakan offset yang diterapkan oleh Pemerintah RI merupakan kebijakan instan tanpa sempat memikirkan kepentingan atau peluang dalam jangka panjang.

Demi memenuhi Alpalhankam untuk peperangan saat itu pemenuhan kebutuhan alat pertahanan Indonesia lebih banyak memanfaatkan mekanisme kredit ekspor dan beli putus.

Dalam hal ini Indonesia hanya memanfaatkan peralatan pertahanan tersebut dan sangat tergantung dengan mekanik alat pertahanan dari negara produsen.

Sedikit sekali adanya mekanisme alih tekhnologi atau pengembangan bersama baik dengan industri pertahanan negara produsen maupun perusahaan strategis lainnya.

Namun, jika dilihat sejarahnya , Indonesia justru merupakan salah satu pelopor dari pemanfaatan mekanisme offset untuk pengadaan alat pertahanan.

(Baca juga: Banyak Kecelakaan, Panglima TNI Pertimbangkan Tak Lagi Terima Hibah Alutsista)

Karena telah melakukan modernisasi alat-alat pertahanan dari Uni Soviet untuk mengganti peralatan perang peninggalan Belanda dari era kolonialisme.

Misalnya, salah satu kebijakan offset yang dilaksanakan Indonesia terhadap Rusia adalah pengiriman SDM untuk pelatihan operasional menggunakan beragam alutsista di rusia, kebijakan pembayaran pembelian alutsista melalui kredit, dan lainnya.

Presiden Soekarno saat itu bahkan mengeluarkan kebijakan offset yang kontroversial terkait pembelian alutsista dari Rusia dalam jumlah besar melalui utang. “Kalau tidak bisa bayar, ya kemplang saja”.

Pada prinsipnya kebijakan offset demi pemenuhan kebutuhan alat pertahanan Indonesia pada era 1960-an lebih banyak memanfaatkan mekanisme kredit ekspor dan beli putus.

Dalam hal ini Indonesia hanya memanfaatkan peralatan pertahanan tersebut dan sangat tergantung dengan para mekanik alat pertahanan negara produsen.

(Baca juga: Berambisi Saingi Alutsista Turki dan Arab Saudi, Angkatan Udara Mesir Borong MiG-35 dari Rusia dan Heli Apache dari AS Sekaligus)

Meski secara realitas, alih tekhnologi yang diharapkan oleh Indonesia untuk membangun industri pertahanannya tidak sesuai harapan.

Mengingat Pemerintah RI di bawah pimpinan Soekarno berhenti dan diganti Orde Baru yang dalam pengadaaan Alpalhankam lebih memilih membeli alutsista dari negara negara Blok Barat.

Tapi dari sisi pembelajaran untuk menerapkan kebijakan offset, pengalaman Pemerintah RI makin diperkaya karena setelah mendalami kebijakan offset versi Blok Timur, Pemerintah juga bisa mendalami kebijakan offset versi negara negara Blok Barat.

Sejak Pemerintah Orde Baru berkuasa hingga tahun 2004, pemasok persenjataan bagi pemenuhan pertahanan sangat bervariasi, tercatat 173 jenis sistem persenjataan yang bersumber dari 17 negara produsen.

Kebijakan offset yang ditawarkan dari masing masing negara pun berbeda. Berdasar keragaman offest dari masing masing negara itu,pengalaman dan pengetahuan kebijakan serta mekanisme offset Pemerintah RI seharusnya makin matang.

Tapi karena alutsista yang dibeli dari luar negeri kebanyakan mengedepankan prinsip membeli putus, tanpa ada alih tekhnologi, sebagaimana yang ditegaskan dalam mekanisme offset di era terkini, upaya untuk mencapai kebijakan offest demi kemandirian alutsista masih belum optimal.

Adanya kesempatan bahwa Rusia mau menerima imbal beli berupa barter bahan pangan dari Indonesia untuk membayari Su-35 merupakan kesempatan sangat menarik.

Apalagi selain mau barter dengan bahan pangan, Rusia juga masih bersedia melakukan ToT SU-35 kepada Indonesia sehingga pihak Pemerintah RI bisa mendapatkan imbal dagang secara ganda.