Find Us On Social Media :

Pemberontakkan PRRI, Peperangan Berdarah yang Berakhir dengan Pengampunan Demi Utuhnya NKRI

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 13 Agustus 2017 | 17:30 WIB

Mr Sjafruddin bahkan berkali-kali menolak upaya damai itu jika Presiden Soekarno tidak segera bisa melepaskan diri dari pengaruh PKI.

(Baca juga: Jokowi: Kalau Ada PKI, Tunjukkan Kepada Saya, Saya Gebuk Detik Itu Juga!)

Pada tahun 1958, PKI yang saat itu menjadi salah satu kekuatan politik besar di Indonesia memiliki pengaruh yang kuat di kalangan pemerintahan dan militer.

Tidak hanya Mr Sjafruddin yang khawatir terhadap kondisi itu, Pemerintah AS yang  sedang gencar menghambat pengaruh komunisme di Asia Tenggara juga memberikan perhatian khusus.

Apalagi Presiden Soekarno berkali-kali menegaskan bahwa dirinya anti-Amerika.

Secara diam-diam militer AS mulai membantu peralatan militer dan para penasihatnya kepada kelompok-kelompok perlawanan yang berkeinginan memisahkan diri dari Pemerintah RI seperti PRRI dan Pemerintah Revolusi Rakyat Semesta (Permesa) yang sedang bergolak di Wilayah Indonesia Timur.

Kekuatan gugus tempur Armada Ke-7 AS di Asia-Pasifik yang bermarkas di Okinawa, Jepang, pun telah menyiagakan kapal-kapal perang di perairan Indonesia, termasuk kapal induk.

Pemerintah RI bukannya tidak tahu terhadap campur tangan AS itu sehingga langkah tegas secara militer untuk menyelesaikan masalah PRRI harus dilakukan secara hati-hati.

Langkah tegas berupa operasi militer harus bisa menunjukkan kewibawaan pemerintah sekaligus bisa menghindari konflik dengan militer AS.

Tapi tindakan tegas yang harus diambil oleh pemerintah RI khususnya Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI/TNI)  juga harus benar-benar terencana secara matang.

Pasalnya PRRI juga didukung oleh sejumlah unsur militer di Sumatera yang semula anggota APRI, sehingga memiliki kekuatan yang terlatih dan bersenjata lengkap.

Satuan-satuan militer yang mendukung APRI anatara lain Resimen IV/TT-I/Bukit Barisan di bawah komandan Letkol Achmad Husein, Tentara Territorium I di bawah komandan Kolonel Mauluddin Simbolon, Tentara Territorium II di bawah pimpinan Letkol Barlian, dan lainnya. Pada 22 Desember 1956 Panglima TT-I, Kolonel Simbolon di Medan bahkan telah terlebih dahulu memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan siap bertempur.