Penulis
Intisari-Online.com -Salah satu peristiwa pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia yang hingga saat ini menjadi seperti trauma sejarah adalah pemberontakan yang dilancarkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Pemberontakan ini terjadi pada 1958.
Trauma yang ditimbulkan dari perseteruan hancur-hancuran ini adalah hilangnya putera-putera terbaik bangsa yang seharusnya saling bahu-membahu membangun negara.
(Baca juga:Kisah Unik Seputar Biaya Kelebihan Bagasi: Memicu Ancaman Teroris hingga Pemberontakan)
Lebih lagi, penumpasan terhadap PRRI oleh Pemerintah Pusat RI sesungguhnya merupakan perang saudara karena yang berseteru adalah sesama warga negara Indonesia sehingga hasil dari perseteruan bersenjata itu hanya kerugian belaka.
Pemicu berdirinya PRRI di Sumatera adalah Mr Sjafrudin Prawiranegara yang sebenarnya merupakan tokoh yang sangat berjasa bagi Pemerintah RI waktu itu dan juga merupakan sosok yang dikenal baik oleh Presiden Soekarno.
Selama Perang Kemerdekaan (1948-1949), khususnya ketika berlangsung agresi Belanda yang kedua di Yogyakarta, setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap serta diasingkan ke Pulau Bangka, Sjafrudin diangkat menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI (1948).
Berkat usaha Pemerintah Darurat yang dipimpin Sjafruddin, Belanda yang semula mengedepankan kekuatan militer kemudian terpaksa berunding dengan Indonesia melalui Perjanjian Roem-Royen.
Hasil perundingan sangat menguntungkan RI karena Seokarno dan kawan-kawannya dibebaskan serta kembali lagi ke Yogyakrta.
Pemerintahan Darurat kemudian diserahkan lagi ke Soekarno-Hatta pada 14 Juli 1949 di Jakarta.
Setelah itu, Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan selanjutnya Menteri Keuangan serta Gubernur Bank Indonesia (1951).
Upaya pemisahan diri PRRI yang dimotori oleh Mr Sjafrudin jelas merupakan hal yang mengejutkan sekaligus menjadi ancaman serius bagi Pemerintahan Presiden Soekarno dan NKRI.
Presiden Soekarno yang menyadari betapa besar jasa Sjafruddin kepada RI berusaha keras menyelesaikan masalah secara damai tapi tidak berhasil.
Mr Sjafruddin bahkan berkali-kali menolak upaya damai itu jika Presiden Soekarno tidak segera bisa melepaskan diri dari pengaruh PKI.
(Baca juga:Jokowi: Kalau Ada PKI, Tunjukkan Kepada Saya, Saya Gebuk Detik Itu Juga!)
Pada tahun 1958, PKI yang saat itu menjadi salah satu kekuatan politik besar di Indonesia memiliki pengaruh yang kuat di kalangan pemerintahan dan militer.
Tidak hanya Mr Sjafruddin yang khawatir terhadap kondisi itu, Pemerintah AS yang sedang gencar menghambat pengaruh komunisme di Asia Tenggara juga memberikan perhatian khusus.
Apalagi Presiden Soekarno berkali-kali menegaskan bahwa dirinya anti-Amerika.
Secara diam-diam militer AS mulai membantu peralatan militer dan para penasihatnya kepada kelompok-kelompok perlawanan yang berkeinginan memisahkan diri dari Pemerintah RI seperti PRRI dan Pemerintah Revolusi Rakyat Semesta (Permesa) yang sedang bergolak di Wilayah Indonesia Timur.
Kekuatan gugus tempur Armada Ke-7 AS di Asia-Pasifik yang bermarkas di Okinawa, Jepang, pun telah menyiagakan kapal-kapal perang di perairan Indonesia, termasuk kapal induk.
Pemerintah RI bukannya tidak tahu terhadap campur tangan AS itu sehingga langkah tegas secara militer untuk menyelesaikan masalah PRRI harus dilakukan secara hati-hati.
Langkah tegas berupa operasi militer harus bisa menunjukkan kewibawaan pemerintah sekaligus bisa menghindari konflik dengan militer AS.
Tapi tindakan tegas yang harus diambil oleh pemerintah RI khususnya Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI/TNI) juga harus benar-benar terencana secara matang.
Pasalnya PRRI juga didukung oleh sejumlah unsur militer di Sumatera yang semula anggota APRI, sehingga memiliki kekuatan yang terlatih dan bersenjata lengkap.
Satuan-satuan militer yang mendukung APRI anatara lain Resimen IV/TT-I/Bukit Barisan di bawah komandan Letkol Achmad Husein, Tentara Territorium I di bawah komandan Kolonel Mauluddin Simbolon, Tentara Territorium II di bawah pimpinan Letkol Barlian, dan lainnya. Pada 22 Desember 1956 Panglima TT-I, Kolonel Simbolon di Medan bahkan telah terlebih dahulu memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan siap bertempur.
Dari sisi kemampuan tempurnya yang terlatih, jumlah total pasukan PRRI sekitar 10.000 orang.
(Baca juga:Kampung Prawirotaman, Balada Hotel Kampung)
Kolonel Simbolon bahkan merasa yakin bisa mengalahkan pasukan APRI berkat jaminan militer AS yang serius mendukungnya.
Selain memiliki pasukan yang terlatih pasukan PRRI juga mempunyai senjata-senjata modern yang kemudian diketahui sebagai bantuan dari AS (CIA).
Persenjataan yang terdeteksi oleh intelijen APRI pada 28 Februari 1958 dan dikirim melalui penerbangan gelap ke Sumatera itu antara lain 15 senjata mesin ringan, 125 pucuk senjata laras panjang, dan dua senapan mesin berat lengkap dengan pelurunya.
Senjata berat berupa meriam antiserangan juga diselundupkan AS ke wilayah PRRI termasuk ribuan seragam tempur dan senapan serbu M1-Garand yang digunakan untuk mempersenjatai para sukarelawan.
Militer AS bahkan memberikan skenario tempur kepada pasukan Kolonel Simbolon yang kemudian dipakai sebagai alasan intervensi militer AS ke Sumatera.
Caranya, ketika pasukan Kolonel Simbolon terpukul mundur oleh pasukan APRI, mereka diperintahkan meledakkan kilang-kilang minyak (Caltex) yang tersebar di Sumatera Utara sehingga para pekerja Caltex, khususnya warga AS menjadi terancam keselamatannya.
Dengan alasan warganya sedang terncam, pasukan AS pun akan leluasa menurunkan para marinirnya yang saat itu sudah bersiaga di kawasan Singapura.
Dengan memperhitungkan bahwa militer AS akan campur tangan dan kekuatan militer yang dimiliki PRRI sebelumnya merupakan pasukan reguler serta memiliki persenjataan yang digelar dalam kawasan luas, pasukan APRI kemudian menurunkan kekuatan secara maksimal.
Pasukan APRI di bawah komando KSAD Kolonel AH Nasution pun segera mengelar operasi gabungan.
Pengiriman pasukan tempur APRI menuju wilayah Sumatera tengah menggunakan kapal-lapal perang dan pesawat-pesawar transport AURI.
Untuk membereskan PRRI, kekuatan AURI bahkan dikerahkan secara all out dan tanpa menyisakan kekuatan cadangan.
Pesawat-pesawat yang dikerahkan AURI antara lain, P-51 Mustang dari Skadron Udara 3, B-25 Mitchell Skadron Udara 1, AT-16 Harvard dan C-47 Dakota dari Skadron Udara 2 dan dikumpulkan di Pangkalan Udara Kemayoran atas perintah KSAU saat itu, Laksamana Udara Suryadarma.
(Baca juga:Putri Jenderal Ahmad Yani: Negara Tidak Perlu Minta Maaf kepada PKI)
Semua pesawat kemudian diterbangkan menuju pangkalan aju yang masih dikuasi RI, Tanjung Pinang, Riau dan siap melaksanakan serbuan militer secara besar-besaran.
Aksi pemberontakan PRRI akhirnya bisa ditumpas oleh pasukan APRI kendati dari kedua belah pihak harus jatuh korban.
Korban yang seharusnya tidak perlu terjadi karena masalah kebangsaaan seharusnya bisa diselesaikan secara musyawarah.
Namun Presiden Soekarno kemudian memberi pengampunan (amesti dan abolisi) terhadap para tokoh PRRI khususnya Syafruddin Prawiranegara mengingat jasa-jasanya terhadap berdirinya NKRI.