Find Us On Social Media :

Bagaimana Wabah Demam Kuning Mengubah New Orleans Menjadi ‘Kota Mayat’ dan Melanggengkan Perbudakan

By Intisari Online, Jumat, 2 November 2018 | 17:30 WIB

“Pada akhirnya, pasien akan mulai mengeluarkan darah melalui mata, hidung, telinga,” ujar Olivarius.

“Saya bahkan menemukan kasus pasien yang mengalami pendarahan via jari-jari,” sambungnya.

Kemudian, sesaat sebelum meninggal, pasien akan memuntahkan darah yang terkoagulasi secara parsial.

Baca Juga : Bagaimana Orang-orang Israel Mendominasi Perbudakan Sejak Zaman Kuno Hingga Era Modern?

Olivarius mengatakan, demam kuning adalah penyakit yang bisa membuat orang suci menjauh dari Tuhan.

“Saya punya banyak contoh kasus tentang para pendeta dan menteri yang berteriak sebelum meninggal,” ujarnya.

“Bahkan orang-orang saleh pun akan menjerit sekeras-kerasnya seolah akhir zaman menjemput.”

Saat ini, demam kuning sudah jarang ditemukan di Amerika Serikat. Tapi di beberapa wilayah di Afrika dan Amerika Selatan, demam kuning masih menjadi persoalan—meski sudah ada vaksin untuk pencegahan.

Dulu, satu-satunya cara untuk mengemnbangkan kekebalan tubuh adalah dengan bertahan hidup.

Akibatnya, Olivarius menjelaskan, hirarki sosial yang berkembang di New Orleans adalah “terbiasa” (yang bisa bertahan hidup dari demam kuning) dan “tidak terbiasa” (sebaliknya).

“Jika Anda tidak terbiasa, Anda akan berada di kelas sosial yang menyedihkan,” tulis Olivarius dalam sebuah buku tentang bagaimana demam kuning membentuk struktur kota tersebut.

“Bos tidak akan mempekerjakan juru tulis dan pemegang buku yang tidak terbiasa. Perempuan tidak akan menikah dengan pria yang tidak terbiasa. Anda tidak bisa tinggal di lingkungan tertentu, dan orang-orang tidak akan menyewa kamar kecuali Anda termasuk golongan ‘terbiasa’. Lingkungan akan mengucilkan Anda. Dan ini menciptakan hierarki sosial di mana Anda harus tinggal bersama mereka yang sakit.”