Find Us On Social Media :

Tan Malaka yang Berjuang dengan Berganti-ganti Nama Akhirnya Meninggal di Tangan Kawan Seperjuangannya

By K. Tatik Wardayati, Senin, 24 September 2018 | 22:00 WIB

Kedatangan kembali tentara Sekutu ke Indonesia pada akhir tahun 1945 ditanggapi secara beragam oleh kelompok-kelompok masyarakat. Rakyat curiga Sekutu memiliki misi memuluskan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.

Namun Perdana Menteri Sjahrir, didukung oleh sebagian besar politisi sipil seperti Soekarno dan Hatta, menghendaki jalan diplomasi.

Sebaliknya, Tan Malaka menghendaki agar mereka dihadapi dengan kekuatan rakyat. Tentara Belanda harus diusir dan Indonesia harus merdeka seratus persen! Konsepnya sejalan dengan haluan Jenderal Sudirman.

Baca Juga : Operasi Rahasia CIA Hancurkan Komunisme, Senyap Namun Korbankan Banyak Nyawa Tak Berdosa

Tan Malaka kemudian mengorganisasikan berbagai kelompok perjuangan di Indonesia dan membentuk Persatoean Perdjoeangan atau Volksfront (Front Rakyat), di Purwokerto tanggal 4 Januari 1946. Dalam pidato sambutannya yang tanpa catatan apa pun ia bilang,

"Orang toh tidak akan berunding dengan maling di dalam rumahnya .... Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap berlawan."

Jenderal Sudirman yang berpidato setelah itu menimpali, "Kedudukan dan kewajiban tentara yang saya pimpin ialah mempertahankan kemerdekaan seratus persen. Tentara timbul tenggelam dengan negara."

Pidatonya diakhiri dengan kalimat, "Lebih baik di-atoom sama sekali daripada merdeka ta' seratus persen." Kata-kata itu kontan menjadi tajuk berita koran-koran pada waktu itu.

Baca Juga : Tugu Tani di Menteng Merupakan Simbol Komunisme, Benarkah?

Persatoean Perdjoeangan dan Tan Malaka mengambil jalan oposisi terhadap pemerintah yang bersikukuh mengambil jalan diplomasi. Sikapnya ini dianggap menentang pemerintahan yang sah. Sjahrir merasa sangat kesulitan dengan agitasi di dalam negeri yang begitu hebat.

Atas saran orang-orang di sekelilingnya ia memutuskan agar Tan Malaka ditangkap. Sesudah Kongres Persatoean Perdjoeangan di Madiun pada bulan Maret 1946, Tan Malaka dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan Yogyakarta tanpa diadili.

Meninggal di tangan kawan seperjuangan

Takdir Tan Malaka tampaknya berjuang bagi Indonesia dari balik tabir. Begitu muncul ke permukaan, saat itu juga ia mengalami berbagai kesulitan. Bisa jadi karena ide-ide perjuangannya kelewat radikal melampaui zamannya.

Baca Juga : Paus Francis: Komunisme Itu Mencuri Gagasan Agama-agama

Bersamaan dengan meletusnya pemberontakan PKI di Madiun, Tan Malaka dibebaskan dari penjara Magelang. Beberapa hari kemudian ia bersama Soekarni mendirikan Partai Murba.

Tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Rl Yogyakarta diduduki tentara Belanda dalam Agresi Militer Kedua. Soekamo-Hatta dan beberapa pemimpin Republik ditawan oleh Belanda. Jenderal Sudirman beserta tentaranya memutuskan untuk melawan Belanda dengan cara bergerilya.

Jalan ini juga ditempuh oleh Tan Malaka. Bersama sepasukan kecil tentara ia bergerilya ke pedalaman Jawa Timur. Tapi sungguh naas, karena dituduh melakukan agitasi dan menghasut rakyat, Tan Malaka tewas ditembak oleh sekelompok tentara lain yang dipimpin oleh Soekotjo.

Sampai saat ini makamnya masih misterius. Menurut sejarawan yang bertahun-tahun meneliti kehidupan Tan Malaka, Harry A. Poeze, kemungkinan besar makamnya ada di Desa Selopanggung, di lereng Gunung Wilis, Kediri.

Baca Juga : Begini Cara Hidup Bebas dari Kaum Komunis Menurut Seorang Pengungsi Vietnam dalam Buku Hariannya