Find Us On Social Media :

Hari-hari Menjelang G30S PKI, Genjer-genjer Lagu yang Hits Ketika Itu

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 13 September 2018 | 05:15 WIB

Intisari-Online.com – Ternyata banyak juga orang yang sudah lupa pada keadaan waktu itu. Buktinya waktu kami tanyakan kepada beberapa orang berapa gaji mereka waktu itu, banyak yang tidak tahu.

Berikut ini tulisan Siswadhi, Hari-hari Sekitar Tanggal 30 September 15 Tahun  yang Lalu, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1980.

--

Sementara segelintir orang menikmati hiburan di tempat yang paling tinggi di Jakarta, kehidupan sehari-hari rakyat merana. Keadaan ekonomi makin bobrok. Keperluan hidup sehari-hari terus membubung karena inflasi merajalela. Bagi rakyat biasa kenyataannya ialah bahwa harga-harga selalii naik dari hari ke hari, minggu ke minggu.

Yang paling parah ialah orang yang harus hidup dari gaji. Beras dan minyak tanah sukar  didapat. Pemerintah membagikan kedua komoditi ini dengan harga resmi tetapi dalam jumlah kecil. Akibatnya di mana-mana terlihat rakyat antri beras atau minyak tanah.

Baca Juga : Seandainya Tokoh-tokoh PKI Lebih Cepat Bertindak, Entah Apa Jadinya Kota Yogyakarta

Tanggal 30 September 1965 sebuah surat kabar ibukota memuat catatan harga keperluan sehari-hari yang didapat, dari pasaran beberapa hari sebelumnya.

Bicara tentang harga-harga, menjarig kurang relevan kalau tidak dibandingkan dengan pendapatan orang. Seorang rekan yang waktu itu bekerja sebagai guru SD di Jakarta, di belakang Hotel Indonesia teringat bahwa gajinya Rp 5000.

Seorang doktorandus ekonomi yang bekerja di  bagian pembukuan sebuah perusahaan ekspor impor lebih mujur. Gajinya Rp150.000. Pesuruh dan tukang miasak di perusahaan yang sama mendapat Rp 20.000. Seorang wartawan sebuah majalah kecil mendapat Rp 35.000. Sedangkan wartawan bujangan di majalah lebih besar mendapat  Rp65.000.

Yang pasti tingkat gaji pada masa itu umumnya relatif lebih rendah dari sekarang. Bisa dibayangkan betapa mahalnya barang sepele seperti korek api yang harganya 75 perak dan sebatang sabun Rp 550. Namun menurut doktorandus tadi bedanya dulu orang bisa "ngobjek" yang sekarang sulit dilakukan.

Baca Juga : Pernah Berperang Melawan Pasukan Khusus Inggris, Kostrad Mudah Saja Menumpas Gerakan 30 September (G30S)

Menurut buku sejarah nasional Indonesia jilid VI inflasi tahun 1965 naik menjadi 600 persen. Tanggal 13 Desember 1965 mulai pukul 8 malam diberlakukan uang rupiah baru. Nilainya 1000 : 1 dengan uang lama.

Bertambah merosotnya perekonomian bukan saja sangat memusingkan ibu-ibu rumah tangga, tetapi seorang mahasiswa ekonomi pun tidak berdaya dibuatnya. Sampai-sampai ia putus asa dan mengirimkan surat kepada sebuah suratkabar yang terbit di Jakarta.

Antaranya ia menulis, agar "redaksi menulis atau memberi pemandangan tentang  perekonomian kita, dengan penjelasan-penjelasan kalau ada peraturan baru dan efeknya." Ia minta agar suratkabar itu "memberikan penjelasan mengapa harga-harga selalu meningkat saja".

Ia menambahkan: "bagi saya sebagai mahasiswa fakultas ekonomi saja tidak tahu, tentunya bagi rakyat banyak juga demikian". "Redaksi koran itu tidak memberikan komentar apa-apa.

Baca Juga : Jadi, di Manakah Soeharto saat Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) Terjadi?

Sementara itu golongan yang hendak "mematangkan situasi" memanfaatkan kekacauan ekonomi itu untuk kepentingannya sendiri. Demonstrasi demi demonstrasi dilancarkan dengan alasan menuntut penurunan harga, ganyang kapbir, (kapitalis birokrat) setan kota dan sebagainya.

Pada tanggal 30 September itu dimuat berita tentang demontrasi yang dilakukan oleh 100.000 orang yang menuntut pencoleng-pencoleng ekonomi. Berita itu terbaca, sebagai berikut :

"100.000 masa rakyat ibukota dengan dipelopori pemuda, pelajar dan mahasiswa yang.tergabung dalam Front Pemuda, PPMI dan MMI yang diikuti pula oleh golongan buruh, tani, wanita, sarjana, seniman dan wartawan hari Rebo siang (tanggal 29-9-1965) mengadakan aksi tunjuk  hidung terhadap setan kota, kapbir, pencoleng dan koruptor.'' mereka kemudian mengajukan daftar nama empat setan kota kepada Menteri/Jaksa Agung, Kastaf KOTRAR dan Menteri/Pangak.

Sementara itu dalam halaman yang sama Menperdag Brigjtn M.Yusuf (sekarang MenHankam) menyatakan bahwa masalah ekonomi tidak akan teratasi dengan tuduh menuduh atau mencari kambing hitam. la menjelaskan bahwa ekonomi merupakan masalah multikompleks yang hanya dapat diatasi dengan menaikkan produksi.

Baca Juga : Penumpasan Gerakan 30 September Menjadi Semakin Tak Terkontrol ketika Ormas Anti-PKI Ikut Terlibat

Genjer - genjer

Sementara itu Toko Serba Ada Sarinah (salah satu proyek prestis pemerintah Orde Lama) pada tanggal itu juga memasang iklan berbentuk sajak:

“Siapa bilang tanah kita kapur.Indonesia negri yang subur. Buktinya dari palawija Di Toko Pangan Serba Ada”

Agaknya maksudnya supaya didendangkan menurut irama lagu bersuka-ria "Siapa bilang Bapak dari Blitar, Bapak kita dari Prambanan" lagu yang menjadi 'top hit' tahun 1965. Siapa yang sering bertugas ke istana waktu itu tentunya tahu bahwa lagu itu sering mengiringi pesta-pesta lenso yang dihadiri menteri-menteri, diplomat-diplomat, bintang film, biduanita dan tokoh lain yang gemerlapan.

Memang meja-meja istana melimpah dengan segala macam hidangan yang enak-enak, sementara rakyat kekurangan bahan pangan dianjurkan untuk makan jagung. Sementara para pemimpin berpesta, tragedi nasional ada di ambang pintu.

Baca Juga : Soal Film Gerakan 30 September, Ini Permintaan Presiden Jokowi

Berbicara tentang lagu, yang sedang 'top' pada waktu itu, barangkali tidak ada yang menandingi lagi "Genjer-Genjer'. Semula lagu rakyat dari daerah Banyuwangi, kemudian diorbitkan oleh seorang anggota Lekra lalu menjadi semacam lagu kampanye golongan mereka.

Tetapi kenyataannya ialah bahwa lagu itu digemari oleh hampir segenap lapisan masyarakat. Tetapi jelas bahwa lagu ini tidak akan muncul dalam banjir kaset "Nostalgia" sekarang ini. Sebab konon lagu ini pernah memegang peranan dalam tragedi pembunuhan para pahlawan Revolusi di Lubang Buaya sehingga tak lama setelah peristiwa Gestapu dilarang.

Hiburan umum sangat terbatas. Hiburan yang paling mudah terjangkau adalah film, relatif masih murah, sebab belum ada mode gala premiere, gedung mewah pakai AC, midnight show dan sebagainya.

Tapi film Amerika diboikot. Yang diputar di bioskop umumnya film blok Timur, RRC dan jarang sekali film Barat. Dari iklan-iklan diketahui bahwa saat itu sedang diputar film "Kanal" di Carya, film Polandia. Megaria memutar film "Man against Man", tidak jelas dari negara mana.

Baca Juga : Mengenang Gerakan 30 September 1965: Saksi Bisu dari Ruang Forensik

Di bioskop Seno dipertunjukkan film "De Overval" (tidak jelas dari mana, hanya anehnya judulnya bahasa Belanda). Pada tanggal satu Oktober koran corong PKI Harian Rakyat memuat karikatur pada halaman pertama yang menggambarkan dua orang jenderal dicampakkan oleh seorang bertopi baja ke dalam lubang yang penuh dengan bambu runcing.

Judul film "De Overval" dicantumkan, tapi diganti menjadi "De Generaals Val" dan diberi terjemahan "Jatuhnya Jenderal-jenderal".

Dari beberapa puluh surat kabar yang terbit di Jakarta, koran-koran yang berafiliasi dengan PKI dan ormas-ormas pendukungnya dan berhaluan kiri lainnya jelas mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan pengkhianatan itu.

Setelah tanggal 1 Oktober semua suratkabar Ibukota dilarang terbit kecuali Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang langsung di bawah pengawasan Angkatan Bersenjata. Pada tanggal 6 Oktober, kecuali dua suratkabar tadi, 8 buah boleh muncul kembali, yakni Duta Masyarakat, Indonesian Herald, Jakarta Daily Mail, Kompas, Mercu Suar, Nusa Putera, Pelopor dan Suara Islam. Harian Sinar Harapan baru menyusul dua hari kemudian.

Baca Juga : Pertanyaan yang Tak Kunjung Terjawab: Siapa Sebenarnya Dalang Peristiwa 30 September 1965?

Yang terkena larangan terbit seterusnya karena mendukung G-30-S ialah Harian Rakyat, Bintang Timur, Suluh Indonesia,   Warta Bhakti, Ekonomi Nasional, Ibu Kota, Gelora Indonesia, dan  dua koran berbahasa Cina Chang Ching Pao dan Hua Chi Pao.

Untuk tulisan ini dipergunakan bahan dari harian Kompas dan Sinar Harapan. Tetapi kami tidak berhasil menemukan kembali harian-harian lain, terutama yang terlibat, padahal itu merupakan dokumen sejarah.

Beberapa instansi yang seharusnya menyimpannya, ternyata tidak mempunyainya. Yang jelas kalau ada sarjana peneliti yang memerlukan suratkabar-suratkabar masa itu yang lengkap harus mencarinya di Cornell University. Sebab di situ koleksinya pasti lengkap.

Seorang sarjana Amerika, Roger K. Paget, pernah menerbitkan daftar lengkap harian dan mingguan yang terbit di Jakarta antara 1965 sampai 1966 dalam majalah indonesia (Cornell) tahuri 1967.

Kemudian ia mengadakan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam tesis Doktornya. Semua koran-koran yang disebutkan dalam daftarnya ada di dalam koleksi Universitas Cornell. (Swd)

 Baca Juga : 50 Tahun Gerakan 30 September 1965: Luka Jenderal Sebagian Besar Disebabkan Tembakan dan Tusukan